Sabtu, 08 September 2012

Malaikat-Malaikat Kecil Tanpa Sayap

Anak-anak diumpamakan selembar kertas putih yang siap ditulisi. Apa yang mereka lihat dan dengar, kemungkinan besar akan diimitasi oleh mereka. Teringat adik bungsu saya ketika kecil meneriakkan kata ‘monyet’ kepada seorang tua tetangga kami, berakibat geramnya orang tua tersebut hingga sekarang, walaupun kejadian itu nyaris 20 tahun lebih berlalu.
Usut punya usut, tingkah laku itu didapat dari teman- teman kecilnya. Diusut lagi, mereka tumbuh dari keluarga yang hobby mengobral makian, diusut lagi, anak-anak itu masih kerabat laki-laki tersebut. Bukan menyalahkan orang lain, hanya sedikit flash back pengalaman tentang polosnya anak kecil yang menyerap dan tanpa daya menyaring informasi dari lingkungannya. Yah, mereka memang ibarat selembar kertas putih, dan kertas itu pastilah sangat besar mungkin lebih besar dari spanduk kampanye calon anggota legislatif.

Saat itu, demi memutus memori makian tersebut sehingga tidak mengendap menjadi kebiasaan, orang tua saya mengajak adik bungsu ke Kebun Binatang Ragunan yang memang dekat dengan tempat tinggal kami. Orang tua mengajak adik ke kandang monyet, ditunjukkannya apa itu monyet dan membuat perbandingan sederhana dengan manusia. Cukup berhasil. Setidaknya adik saya tidak menggunakan kata itu lagi ketika masih kecil, entahlah kalau sudah besar, dimana dia (seharusnya) bisa menempatkan makian pada tempatnya.

Sebagian besar kerja saya berhubungan dengan anak-anak. Walaupun hanya sebagai pengajar bahasa, yang kontak dengan mereka paling lama 90 menit sekali pertemuan, demi mentransfer informasi yang saya dapat dari bangku kuliah. Namun ketika pertama kali bersinggungan dengan anak-anak, saya tidak terlalu fokus terhadap perkembangan kepribadian anak-anak tersebut. Kalau mau dibuat alasan, kami para pengajar dikejar target bagaimana mentransfer informasi, mereka mengejar target yang sudah ditargetkan (bingung?) – anak-anak yang kami handle saat itu sebagian besar sekolah di sekolah Nasional Plus, memegang buku kurikulum Singapura. Kelas tiga SD, sudah terjadwal – dan ditargetkan mengerti – tentang Present Perfect. Perfecto!!!

Sempat juga satu tahun menjadi pengajar di sebuah taman kanak-kanak di dekat rumah. Pengalaman yang sangat berharga saya dapat mengingat tidak pernah terlintas untuk bekerja bersama anak-anak kecil tersebut. Dalam pikiran saya, mereka pasti susah diatur, cengeng, dan kondisinya hectic. Parno muncul lebih dulu. Tapi ternyata saya sangat salah. Kalau mau dibuat score, nilai saya pasti NOL besar.

Banyak moment yang berharga. Bukan saya yang mengajari mereka, tapi justru merekalah guru-guru kecil saya. Seorang anak yang sangat spesial bahkan saya buat surat tersendiri untuknya. Tidak saya berikan langsung, tentu saja, tapi saya ungkapkan rasa sayang saya dengan menulis disalah satu blog saya. Anak itu, Cleo.

Cleo, berpostur tegap, berambut lurus indah dan jejak oriental terlihat dari mata dan kulitnya yang kuning typical Asia Timur. Anak yang penuh percaya diri meski awalnya agak sulit untuk saya memahami pengucapannya. Demi kontak nyaris tiap hari selama tiga jam, lambat laun pahamlah saya cara pengucapannya.

Secara akademik, maksudnya membaca dan berhitung, sedikit tertatih namun semangatnya mengalahkan yang lain. Sekali lagi, bicara tentang target, anak-anak itu sudah ‘ditargetkan’ mampu membaca dan berhitung demi mengurangi ‘beban’ ketika sekolah dasar nanti. Ditambah lagi, taman kanak-kanak tersebut bilingual, mereka diharapkan mampu membaca kalimat sederhana, paham kalimat sederhana plus berhitung dalam Bahasa Inggris. Lengkaplah sudah.

Sekolah itu menerapkan metode Montessori dan Active Learning pada saat bersamaan. Info yang saya dapat dari teman yang berlatar belakang pendidikan Montessori, metode itu berlawanan. Entah apa yang ada dalam benak si pemilik sekolah. Ingin membuat inovasi atau memang teori yang dia punya berbeda dengan teori yang kawan saya miliki. Saya sendiri tidak berlatar belakang pendidikan Montessori. Saya hanyalah seorang pengajar bahasa biasa.

Pertama kali mengajar kelas tersebut, mereka belajar membaca satu suku kata dalam bahasa Inggris, seperti ‘cat’, ‘dog’, ‘bib’, ‘run’, dan lain-lain. Teknik pengenalan huruf pun melalui sound, dinyanyikan agar lebih mudah ditangkap. Tidak butuh waktu lama menyadari bahwa Cleo hafal lagunya, tapi tidak mengenali hurufnya.

Demi mengejar ketinggalan dari teman-temannya, plus ditambah suara saya yang sangat ‘yahud’ ketika bernyanyi, dengan senang hari saya singkirkan metode nyanyi bernyanyi. Jadilah alphabet A sampai Z berwarna-warni saya ketik lalu print dan mulai satu persatu bermain menebak huruf konsonan lalu vokal. Selanjutnya konsonan dan vokal disatukan hingga membentuk bunyi ‘la’ atau ‘ma’ dan sebagainya. Sekitar empat bulan perkembangan terlihat. Terharu oleh usaha keras Cleo, saya ajak partner kerja untuk melihat Cleo membaca. Dia pun memuji usaha Cleo. Empat bulan terlihat cukup lama, namun setahun sebelumnya Cleo sudah mempunyai guru privat membaca, tidak heran dia hafal alphabet song.

Ada satu kalimat sederhana yang sering saya ucapkan ketika menghadapi anak-anak yang menyerah walau belum melangkah. Misal, ketika baru dibagikan worksheet, belum apa-apa beberapa dari mereka merengek, “miss… ga bisa…” Tanggapan saya biasanya singkat, “kalau ga dicoba, kamu ga akan tahu.” Mereka mencoba, dan, sesuai prediksi, mereka bisa. Rewardnya? “tuh…..bisa kan? Makanya, dicoba dulu.”

Entah berapa kali saya ucapkan itu dalam setahun mengajar disana. Yang pasti, ketika kami melakukan music and movement; jumping with one leg, seorang gadis kecil, Najwa, merengek mengatakan, “miss…. Ga bisa….” Baru mulai mengatur napas untuk bicara, terdengar suara lantang sedikit cadel, “kalo ga dicoba dulu, ga akan tahu, tau?!” Cleo! Saya hanya tersenyum dan mengiyakan. Entah dia mengerti maknanya atau tidak, tapi pasti mereka mengerti arti “coba dulu.”

Moment itu membuat saya lebih hati-hati berlaku dan berucap di depan anak-anak.

Kadang kala hal-hal yang coba kita hindari justru mendekat dan merapat. Setidaknya begitulah yang saya rasakan dalam hidup saya. Pernah merasa belum apa-apa sudah parno menghadapi anak-anak, justru mendapat kesempatan bekerja di sebuah TK, dan beberapa bulan lalu kesempatan mengasuh anak perempuan berusia empat tahun datang dan merapat. Disinilah saya sekarang.

Berpindah tempat tinggal, identitas tetap melekat. Hal-hal yang pokok Insha Allah tidak akan saya lepaskan. Di rumah, melapor pada Yang Maha Kuasa berjalan, disini pun sama. Sang anak, yang belum pernah terpapar dengan kegiatan tersebut, meski kami memiliki keyakinan yang sama, bertanya apa yang akan saya lakukan, saya katakan, “Im gonna pray” dan memberi penjelasan sedikit bahwa saya hanya sebentar. Lalu mempersiapkan diri dan mulai shalat. Selang beberapa detik, anak tersebut memanggil-manggil, “Sarah…. Sarah…” suara tersebut makin lama makin terdengar panic. Mulailah gangguan untuk menarik perhatian seperti sajadah yang diacak-acak dan mukena ditarik sesukanya yang membuat saya membatalkan shalat saya. Menjelaskan sedikit dan kembali shalat.

Hal tersebut terjadi berulang-ulang. W Questions berulang-ulang. What are you gonna do? What is that? Why you pray? Why … what …. Why lagi…..What lagi…. Ketika dia mulai lelah, dan saya pun mulai keki, dia menatap saya sebentar lalu bertanya, “do you have cookie?”

Jawaban saya selalu singkat: “Iam gonna pray.” “This is my stuff for praying. Please, try not to step on my sajadah.” “It is a must.” “It takes only a little time, then we can play again.” “Yes, I have cookie, one cookie one day.” Berulang-ulang. Tapi satu hal, saya memang tidak pernah mengajaknya untuk melakukan hal yang sama. Tanya kenapa? Karena mereka, termasuk gadis kecil ini, malaikat-malaikat kecil tanpa sayap itu, mempunyai rasa penasaran yang tinggi dan merupakan imitator ulung. Itu kelemahan sekaligus kekuatan mereka. Plus, mereka bagaikan selembar kertas yang siap ditulisi. Yah, ada alasan lain sih sebenarnya dan ini menyangkut kebiasaan di rumah ini: wong orang tuanya saja tidak mengajak, jadilah saya ikuti aturan tidak tertulis itu, namun jujur, tidak tega membiarkan masa emasnya berlalu tanpa kenal pencipta-Nya.

Salah satu hal yang saya rindukan disini adalah suara adzan yang bersahut-sahutan. Di rumah, biasanya laporan pada Sang Penguasa Alam saya tunda, entah karena alasan tanggung sedang menonton infotaiment, kerja atau dalam pewe alias posisi weanakkk di sofa. Disini, demi mengetahui waktu shalat, Mbah Google jadi rujukan. Software azdan dari islamicfinder.com diinstal sehingga bila computer dalam keadaan menyala, adzan pasti terdengar. Tak lama setelah Adzan terdengar, saya beranjak, dan mencoba tidak menunda shalat seperti saat di rumah dulu.

Hampir tiap Ashar, kadang Magrib juga, gadis kecil itu masih bersama saya, jadilah dia terpapar dan makin familiar dengan suara Adzan dan paham bila suara Adzan terdengar, pasti waktunya shalat. Waktu berlalu, dia mulai mengimitasi gerakan sholat, walau terlihat sesukanya. Begitu pun wudhu, tanpa diajari, tapi melihat, diimitasilah gerakan wudhu. Hal yang menyenangkan.

Banyak hal yang membuat saya menganga. Betapa tidak, hal-hal kecil yang luput dari perhatian saya, ditirunya dan kadang dia katakan, “I wanna do …. Like Sarah,” kepada orang tuanya. Kebiasaan seperti memuji Pencipta sebelum makan, minum, atau melakukan sesuatu ditirunya. Kebiasaan tidak bicara saat mulut penuh pun dikopi. Kebiasaan meletakkan piring dalam mesin pencuci piring pun tak luput. Kebiasaan buruk seperti mengkonsumsi keripik kentang dan cookies pun diamini, kebiasaan melempar sampah ke pojok kamar daripada meletakkan sampah pada tempatnya, serta beberapa kebiasaan negative yang saya anggap biasa terkopi olehnya.

Awalnya saya merasa dia seperti bayangan yang mengikuti, sekarang justru sebaliknya, dia seperti cermin, yang memantulkan dan menggambarkan dengan jelas kebiasaan negative yang sudah seharusnya dibuang. Dia, gadis kecil ini, tanpa sadar membuka mata saya, dan saya harusnya berterima kasih. Bertambah lagi guru kecil saya, selain Cleo dan teman-teman sekelasnya.

Ada satu kejadian unik dan menggelikan tentang usaha anak ini untuk mengimitasi yang dia lihat.

Karena telah sering mendengar Azdan, dan tampaknya dia suka sekali akan kata itu, beberapa kali dia mengingatkan saya, “Sarah, where is Adzan?” atau, “Sarah, I wanna listen Adzan,” atau kadang tidak nyambung, “Sarah, where is your friend, Adzan?” Lha?!

Suatu ketika, setelah kami selesai shalat bersama, seperti biasa saya bertasbih. Gadis kecil itu, karena rasa penasaran yang tinggi, bertanya, “Sarah, what are you singing?” Jawab saya, “Iam not singing.” Saya lambatkan pengucapan beberapa saat agar dia bisa mengikuti. Sesaat dia mengucapkan hal yang nyaris sama, namun di tengah jalan, entah karena pusing atau sebab lain, alih-alih mengucap tasbih, dia justru berucap, “adzan adzan adzan adzan…” belasan kali yang membuat saya tersedak lalu tertawa tanpa ampun.

Semoga harinya menyenangkan :)

Me Time

Bagian tersulit dalam melakukan sesuatu bagi banyak orang adalah mulai atau bagian awal. Setelah itu, biasanya dan Insha Allah, lancar, yah, kalau ga lancar, minimal rasa hati lebih santai atau tekanan darah turun setidaknya 10 mmHg – systole dan diastole.

Begitupun saya ketika menulis ini, dan beberapa tulisan yang “sangat” berbobot di page ini, kadang sulit untuk memulai. Kesulitan yang nyata adalah mood dan tidak tahu harus berbunyi apa sebagai awal tulisan. Ingat ketika seorang teman bertanya pada saya, “Sar, gua mau nulis surat ke si Anu nih, bunyinya gimana ya?” Saya yang kadang suka malas berpikir, hanya menoleh acuh tak acuh sekilas sambil berpikir heran, “mau nulis aja ga tau bunyi awalnya gimana.” Lalu tanpa perasaan, saya jawablah dengan setengah malas.

“Bunyinya? DUTTTT…”

Sontak teman saya tertawa. Masalah dia jadi menulis surat, itu bukan urusan saya.

Bolehlah saya pinjam kata-kata dari judul kumpulan cerita Leo Tolstoy (1828-1910), salah satu novelis besar asal Rusia: Tuhan Maha Tahu, Tapi Menunggu. Sekarang hal itu bagai boomerang, ternyata menulis itu awalnya memang sulit, dan pasti bunyi awalnya bukan “dutttt….”

Ada sebuah hal yang ingin saya tuliskan sekarang dan terasa berjejal di kepala, tapi menemukan kalimat awal yang tidak kaku bukan perkara Daus Mini, alias bukan perkara kecil.

Awalnya mau menulis ini sebagai pembuka:
“Manusia adalah makhluk individu dan makhluk social. Makhluk individu maksudnya manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya. Manusia sebagai makhluk social maksudnya adalah kita makhluk bermasyarakat, hidup bersama dengan orang lain, dan mempunyai dorongan untuk berinteraksi dengan yang lain.”

Tapi kok terdengar seperti Bab Pertama skripsi ya?

Lupakan kalimat serba formal itu. Yang mau saya tuliskan sebenarnya tentang betapa bahagianya memiliki Me Time. Me time contekan dari beberapa blog, termasuk blog kompas, bisa diartikan usaha penghiburan diri atau waktu khusus buat diri sendiri yang dilakukan dimana saja bukan pada saat kesibukan berlangsung, bisa beragam hal yang dapat dilakukan agar me time terasa menyenangkan dan dapat memanjakan diri sendiri untuk mengusir kejenuhan juga rasa bete alias bad mood.

Ceritanya hari Sabtu lalu adalah long weekend di negara ini. Libur mulai hari Sabtu, Ahad dan Senin, karena Hari Buruh. Libur saya tidak termasuk Sabtu, jadi Ahad tabrak Senin, libur, asoy. Hari Sabtu keluarga ini mengatakan akan menginap di resort dan kembali hari Senin. Saya asik-asik saja walaupun sempat berpikir, si kepala keluarga mungkin ambil cuti pada hari Senin. Tidak tahu tentang long weekend.

Seorang kenalan yang ‘open minded’ menelepon dan menanyakan apa kegiatan saya selama long weekend ini. Saya malah balik bertanya, “are you sure it is long weekend?” Dia berkali-kali meyakinkan lalu mengatakan bisa-bisanya saya tidak tahu. Tidak mau kalah, saya jawab, “people here don’t have calendar like in my country.” Dia tertawa lepas. Setelah itu, melalui fesbuk, saya tanya satu orang kawan asal Indonesia. Ternyata benar.

Selama dua malam tiga hari itu saya benar-benar merasa bebas. Finally, I got my real me time, pikir saya. Salah seorang teman yang berada di Asia Barat sana menanyakan mengapa saya begitu senang, tidakkah saya sayang terhadap anak asuh saya? Saya katakan, “of course I love them, but I really need me time. Even parents need their time, away from their children for some times.”

Dia menjawab, “yea, you are right. Parents also need time to do ‘private thing’.”

“I was thinking about parents needing their time to do their job or hobby, but you were thinking about ‘private thing.’ It seems that your brain connection is faster when you talk about ‘private thing’,” smash saya. Bisa dipastikan mukanya merah di seberang sana walaupun dia terlihat tertawa terbahak di skype.

Apapun itu, yang pasti saat itu adalah surga. Selain bebas dari kicauan gadis kecil berbaterai energizer itu, saya bisa duduk seharian di deck, membaca sambil menikmati sinar matahari yang menembus dedaunan yang mulai menguning menyambut musim gugur, juga memasak masakan Indonesia seperti sambal, nasi goreng, bakso ayam, pastel, risol, ayam kecap, dan peyek kacang. Walaupun hasilnya tidak sempurna semuanya, nilai 6,5 bisa lah saya capai dalam hampir semua masakan kecuali pastel. Kenalan internet yang tinggal di Asia Barat itu saya kirimi foto pastel gagal tersebut dan sedihnya disalahgunakan. Dia post foto tersebut di fesbuknya dan di tag dibeberapa teman. Responnya beragam dan yang paling yahud adalah tanggapan seorang kawan di Orleans yang mengira itu adalah pisang goreng. Saya tidak setuju, tapi makin saya lihat, memang makin mirip pisang goreng.

Sempat berharap saya bisa menikmati real me time saya lebih lama. Tapi pasti tidak mungkin. Karena kalau semua keinginan kita terkabul, seseorang pasti akan naik ke atas bukit dan meniup sangkakala. Berakhirlah kehidupan. Kalimat ketiga dan keempat saya ambil dari novel Andrea Hirata – kalau bukan Padang Bulan, ya Cinta Dalam Gelas. Tapi kemungkinan besar Padang Bulan. intinya adalah bersyukur bisa mempunyai me time cukup lama saat itu. Karena banyak manfaatnya pula. Mau tau? Kasih tahu gak ya……. Kasih tahu dong… cekidot! – di kopi dari femalekompas.com.

1. Isi Ulang
Bukan hanya pulsa atau galon minum Anda yang perlu secara rutin diisi ulang. Anda pun perlu memberi waktu pada diri buat memulihkan stres. Berada di sekitar orang lain bisa memicu stres, lho. Ada banyak yang perlu Anda lakukan buat teman, keluarga, suami bahkan pacar. Mendengarkan keluh kesah mereka, menolong mereka mengerjakan sesuatu, hingga menyiapkan kebutuhan mereka. Semua itu, belum lagi ditambah tuntutan pekerjaan. Pernahkah terbesit dalam pikiran Anda bahwa selama ini Anda hanya berbuat untuk orang di sekitar tanpa memikirkan diri sendiri? Tidak ada yang salah dengan hal itu, sama sekali tidak, tapi sebagai manusia ada batas toleransi yang bisa meledak. Momen sendirian memberi Anda waktu untuk memulihkan diri dari stres.

Ilmuwan YouBeauty David Sbarra Ph.D., yang merupakan ahli tentang realtionship mengatakan "Menghabiskan waktu sendirian dapat memberikan setiap orang kesempatan memulihkan energi yang tersedot keluar darinya disebabkan tuntutan kehidupan sehari-hari."

Kalau penjelasan itu belum cukup bagi Anda, sebuah studi yang dilakukan oleh Reed Larson dan Meery Lee di University of Illinois menemukan bahwa orang dengan nyaman sendirian umumnya memiliki tingkat depresi, penyakit fisik lebih sedikit dari yang tidak. Selain itu mereka lebih puas dengan kehidupan secara keseluruhan.

2. Membangun motivasi
"Kemampuan kita untuk melawan godaan, membuat pilihan yang bijak dan mengendalikan perilaku seperti otot," kata Sbarra. "Harus terus dilatih berulang kali agar kuat atau akan terus melemah."
Jika Anda selalu gagal dalam mengatur pola makan yang benar, menahan godaan untuk mengemil, berbelanja, mungkin saja semua itu disebabkan pertahanan diri yang telah menyusut.

Contoh, setelah seharian yang melelahkan dan menguras tenaga serta emosi Anda, akan dengan mudah Anda tergoda buat menikmati sekotak es krim atau berbelanja sebagai terapi. Ini yang dinamakan pertahanan diri yang menyusut.

Frustasi, teman atau pacar yang menyebalkan, kelelahan oleh tuntutan kerja semua itu menipiskan pertahanan diri kita pada godaan. Dengan menghabiskan waktu sendirian Anda bisa melatih kembali motivasi diri dan membangun pertahanan diri yang kuat.

3. Mengakhiri kecemasan
Jika Anda tak ingin sendirian untuk menghindari menghadapi pikiran atau memori tertentu yang bisa saja terlintas, Sbarra mengatakan berarti Anda memperpanjang umur perasaan menjengkelkan dalam diri. "Semakin sering lari dari kecemasan, semakin Anda sulit untuk keluar dari masalah tersebut."

"Penelitian menunjukkan bahwa hal terbaik untuk mengatasi keadaan ini adalah untuk mengalami emosi, merasakan semua perasaan tak enak tersebut kemudian melepaskannya, membiarkannya berlalu" saran Sbarra.

4. Alasan bagus buat bermalasan
Sesekali tak ada yang salah dengan berkata kepada diri sendiri, "Saya merasa benar-benar tidak ingin membersihkan rumah atau memasak, saat ini."
Tapi bila Anda memang tipe yang rajin dan tak bisa diam, lakukan saja kegiatan yang menyenangkan, seperti melukis, bermain alat musik, berkaraoke di rumah atau merapikan koleksi cat kuku Anda.

5. Belajar mengendalikan keinginan mengudap
Saat sedang sendirian dan santai Anda bisa mengatur ulang tingkat kelaparan diri. Misalnya saat Anda mengidamkan jenis makanan tertentu, sebelum berlari membeli atau mengambilnya dari kulkas coba luangkan waktu sejenak bertanya pada diri sendiri: apakah saya benar-benar lapar, atau hanya berharap makanan akan mengantikan perasaan tidak nyaman Anda seperti bosan, kesepian dan sebagainya yang tidak ingin Anda hadapi? Berlatih duduk dengan perasaan Anda akan memberi tekad yang Anda butuhkan untuk melawan keinginan mengunyah tanpa berpikir.

Jadi…. Selamat menikmati the real me time.

Semoga harinya menyenangkan dan sukses selalu.

Minggu, 29 Juli 2012

Enjoy Aja!!!

Kalau ditanya makanan apa yang dikangenin saat puasa, banyak yang bilang kolak, kurma, es buah atau makanan lain yang ‘somse’ alias muncul pas moment tertentu macam puasa. Jujur saya tidak tahu banyak tentang makanan di Indonesia, selain karena banyak macamnya juga karena hidup saya sebagian besar berputar di Jakarta dan sekitarnya.

Info sekilas Dari Mbah Google tentang beberapa makanan khas nusantara yang muncul setahun sekali, pas Ramadhan:

1. Kicak
Kicak merupakan makanan khas Ramadhan didaerah Kauman, yogyakarta. Makanan yang terbuat dari ketan ini hanya bisa dijumpai di bulan Ramadhan saja. Rasa kicak yang manis dan gurih terasa nikmat saat disantap ketika berbuka puasa.

2. Pakat
Pakat merupakan makanan khas Ramadhan masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Makanan yang berasal dari potongan bagian dalam rotan muda yang dibakar. Untuk menambah kelezatnnya, rotan muda ini kemudian ditaburi dengan santan kelapa serundeng. Pakat sudah menjadi makanan khas untuk berbuka puasa sejak lama, makanan ini juga sudah menjadi tradisi terutama bagi warga Tapanuli Selatan.

3. Es Kopi Luwak
Jika anda berkunjung ke Lampung barat, kita akan menjumpai minuman spesial untuk berbuka puasa, yakni Es Kopi Luwak. Es kopi dengan rasa yang nikmat ini diyakini bisa mengembalikan stamina yang sedikit turun setelah seharian berpuasa. Kopi luwak biasa disajikan seperti layaknya kopi hanya sedikit ditambah es batu yang dihaluskan dan madu.

4. Gulai Siput
Gulai siput ini merupakan makanan khas Tanjungpinang, Kepuluan Riau, makanan ini hanya bisa dijumpai di bulan Ramadhan. Menu yang dihidangkan sebagai lauk saat berbuka puasa ini banyak digemari oleh masyarakat setempat karena rasanya yang gurih dan lezat.

5. Sotong Pangkong
Selama Ramadhan, warga Pontianak, Kalimantan Barat selalu menyediakan Sotong Pangkong sebagai salah satu menu untuk berbuka puasa. Sotong Pangkong adalah menu olahan cumi kering yang dibakar. Uniknya lagi, setelah dibakar cumi atau sotong tadi dipukul-pukul dengan palu. Sotong Pangkong sendiri memiliki rasa yang gurih.

6. Ketan Bintul
Ketan bintul merupakan makanan khas Ramadhan dari Kota Serang, Banten. Ketan bintul ini berbahan baku nasi ketan yang dihaluskan, yang disajikan bersama sepotong daging sapi berikut gulainya. Konon, kehadiran ketan bintul sebagai menu Ramadhan ini sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, dan dahulu kentan bintul ini menjadi makanan kesukaan para raja Banten.

7. Sate Susu
Kota Denpasar, Bali juga memiliki makanan khas di bulan Ramadhan, yaitu sate susu. Sate susu ini memang terdengar agak nyeleneh, tapi sesungguhnya sate susu yang terbuat dari payudara sapi ini dipercaya memiliki khasiat untuk menambah stamina, seperti minum susu. Untuk menambah kenikmatannya, sate susu akan dihidangkan bersama sambal plecing.

Banyak lagi sebenarnya. Ketika diketik 'Makanan Khas untuk Berbuka Puasa', maka dalam 0.34 detik muncul nyaris 700.000 hasil tentang itu. Indonesia negara kaya. No doubt.

Terdampar disini dan melalui puasa single fighter tetap asik-asik saja walau tanpa makanan khas tersebut. Berpikir untuk membuat masakan Indonesia yang biasanya disantap di rumah. Tapi setelah flash back sekian detik, ternyata baru sadar bahwa di rumah pun jarang menyediakan makanan khas Ramadhan, hanya nasi dan teman-temannya, namun makanan sehari-hari tersebut terasa special justru karena dikonsumsi di waktu yang special. Pola pikir menjadi berubah. Bukan sekeliling kita yang special, tapi kitalah yang membuat itu terasa special.

Jujur sih agak heboh juga menjelang puasa. Seminggu sebelum puasa sudah berpikir makanan apa saja yang akan dibuat saat sahur pertama dan cemilan yang akan dimakan setelah berbuka dan sholat mabgrib, atau sebelum tarawih. Sudah menjadi kebiasaan di rumah makan setelah sholat magrib, lalu leha-leha sambil menunggu Isya yang jaraknya hanya sekitar satu jam. Setelah sholat isya dan tawarih, biasanya lapar lagi lalu makan lagi, entah beli bakso, mie ayam, atau menghabiskan makanan sisa buka puasa, atau sekedar ngemil bakwan. Beberapa jam kemudian tidur. Itu ritme saya dan mungkin banyak dari kita mempunyai ritme yang sama selama Ramadhan. Tidak heran yang berniat menurunkan berat badan kurang berhasil selama puasa, ya bisa jadi karena itu.

Itulah alasan saya menyediakan beberapa cemilan sehari sebelum puasa. Ritme yang dulu masih saya ingat. Jadilah keripik kentang, coklat chip, beberapa mie ala Jepang saya beli. Just in case saya lapar dan malas membuat makanan berat bila saya lapar setelah isya.

Awal puasa disini pada tanggal 20 Juli, lebaran 18 Agustus. Tidak penting mengikuti organisasi apapun. Selebaran jadwal puasa dari toko yang menjual makanan halal tertulis puasa di Ottawa mulai tanggal sekian sampai sekian. Titik.

Awalnya saya pikir akan berat, karena ada bonus tiga jam dibanding Jakarta, namun ternyata saya salah. Semuanya asik-asik saja. Walaupun sempat mengerinyitkan dahi heran ketika keluarga ini mengatakan bahwa puasa sepanjang itu tidak bagus karena bisa menimbulkan dehidrasi. Saya berpikir geli, “ini bukan di gurun kan?” Tidaklah mungkin Yang Maha Kuasa menyuruh hamba-Nya melakukan sesuatu yang akan berakibat buruk terhadap hidup hamba-Nya. Tapi memang itu sudah sifat manusia: suka menawar dan berdalih. Saya pun kadang begitu.

Magrib hari pertama pada jam 08.44 PM. Seperti kebiasaan dulu, saya selalu membuat teh hangat dalam gelas besar, sholat, tadarus, lalu makan berat. Disini pun seperti itu.

Puasa hari pertama Alhamdulillah lancar. Insha Allah hari-hari selanjutnya juga. Nasib kurang baik menimpa cemilan-cemilan yang sudah saya siapkan. Isya pukul 10.31, setelah tarawih, paling cepat bisa tidur jam 11.30 PM. Saat itu dipikiran hanya bantal dan kasur. Cemilan otomatis terlupakan. Hanya keripik kentang yang tandas pada puasa hari ketiga. Pelajaran baru: tempat baru, ritme pasti berubah.

Oh iya, soal makanan memang tidak ada habisnya. Hari ketiga puasa saya berniat membuat bubur kacang hijau. Jadilah info tentang toko yang menjual bahan makanan asia saya kumpulkan dari seorang teman saat saya menginap ditempatnya. Saya mengunjungi China Town pada hari ketiga tersebut. Manphong, itu nama tokonya. Bahan-bahan makanan yang saya inginkan ada disana. Saya membeli kecap ABC botol yang nantinya saya buat nasi goreng, kerupuk udang yang diproduksi di Sidoarjo, kerupuk yang tepinya warna-warni, bumbu soto instan, gula merah, dan beberapa bungkus Indomie saya beli. Ada beberapa mie ala Jepang yang telah saya beli sebelumnya, tapi label halal dalam kemasan mie dari Indonesia tersebut membuat saya nyaman.

Banyak bahan makanan yang diproduksi di Indonesia dan bahan makanan yang familiar ada disana. Berbagai macam bumbu instan makanan nusantara, saos Indofood, bakso, durian, bumbu dapur, nata de coco, agar-agar, tempe, bahkan sampai kepuruk putih pun ada.

Mudah. Dipermudah oleh-nya.

Memasuki hari ketujuh, keluarga ini menanyakan tentang puasa saya. Saya katakan, “everything is fine. I feel Ramadhan is so fast this year.” And I mean it.

Dia mengangguk dan tidak penting berasumsi tentang arti anggukan tersebut. Yang penting saya menikmati tiap harinya karena bulan ini sudah special walau tanpa embel-embelnya.

Selamat berpuasa.

Kurindu Suara Itu

Sebuah artikel menarik saya baca baru-baru ini, yaitu tentang Ramadhan. Sebagai orang yang terlahir dari keluarga Muslim, saya, dan mungkin banyak juga yang lain cenderung untuk take it for granted ajaran yang ada, tanpa mau bersusah payah mencari alasan dan manfaat dibalik semua itu. Contoh kecil, berhubung bulan ini bulan suci Ramadhan, beberapa tahun lalu saya puasa ya karena itu salah satu dari lima Rukun Islam, selain mengucap dua kalimat Syahadat, sholat lima waktu, melaksanakan zakat dan pergi haji bagi yang mampu.

Nyatanya hikmah di balik puasa itu banyak dan sudah dibuktikan dengan kajian ilmiah dari peneliti Muslim maupun non Muslim. Salah satunya adalah kajian dari Dr Oz. Tahu Dr. Oz kan? Itu tuh, si dokter ahli bedah jantung yang caem dan pandai yang suka muncul di Oprah Show yang juga merupakan salah satu dari 500 tokoh muslim yang menginspirasi dunia.

Dr. Mehmet Cengis Oz menyampaikan bahwa puasa adalah salah satu bentuk diet sehat. Puasa, menurutnya, adalah salah satu bentuk detoksifikasi racun-racun yang ada di tubuh. Puasa juga salah satu bentuk detoksifikasi paling alami dan natural yang dapat dilakukan, daripada melakukan diet tertentu. Menurutnya, puasa dapat mengkondisikan tubuh untuk mengeluarkan racun, karena sebenarnya tubuh manusia telah memiliki sistem detoksifikasi secara alami. Dengan pola makan teratur di bulan puasa, tubuh kita dapat terkondisikan untuk melakukan detoksifikasi secara alami. Organ-organ metabolisme detoks, yakni hati, usus besar dan ginjal secara sistematis mengolah dan memilah makanan beserta racun yang mungkin terkandung di dalamnya. Puasa akan mengoptimalkan kerja organ metabolisme detoks tersebut sehingga hasil detoksifikasinya lebih lancar dan natural.

Itu salah satu dari banyak kajian, banyak pula yang lain, dari segi psikologis, stamina, dan lain-lain (bisa dibaca tentang pesepak bola dunia yang tetap berpuasa selama Ramadhan, didapatkan kondisi psikologis mereka lebih bagus). Nah, karena hal-hal yang masuk akal itulah yang memacu semangat menyambut Ramadhan, dan bukan lagi menganggap Ramadhan adalah gerbang untuk angpao saat lebaran, bukan pula pakaian baru, atau sekedar gaji dobel karena THR. Hal-hal kecil tersebut tidak sebanding dengan makna bulan suci ini. Apalagi disebutkan bahwa ”Penghulu segala bulan ialah bulan Ramadhan dan penghulu hari adalah hari Jumat.” (HR. Al-Bazzar). Penjelasan dari hadist tersebut, seperti termuat di Republika Online: Sunnatullah yang berjalan di alam ini menetapkan bahwa diantara segala sesuatu, ada sesuatu yang diunggulkan karena keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya. Diantara rumah misalnya, ada rumah yang unggul, yaitu Ka'bah sebagai Baitullah 'rumah Allah'. Di kalangan manusia juga ada manusia yang unggul, yaitu Rasulullah SAW. Diantara air, air zamzam adalah air unggulan. Di antara hari ada hari istimewa, yaitu hari Jumat. Dan, diantara dua belas bulan ada bulan unggulan, dialah bulan Ramadhan. No doubt.

Ketika pertama kali menginstal software adzan dari Islamic Finder, saya langsung melotot tak percaya melihat waktu subuh dengan magrib yang berjarak kurang lebih 17 jam. Saya bandingkan dengan di Jakarta yang sekitar 13 atau 14 jam. Saya pikir, “haduh, berat banget ya kalau pas puasa?” jadilah saya berulang kali menghitung ulang, saya pikir mungkin jadwalnya salah, belakangan saya sadar, bahwa sayalah yang tukang nawar.

Seperti tahun sebelumnya, Ramadhan disambut dengan semangat, walaupun orang lain melihat saya datar-datar saja, tapi sebenarnya saya suka senyum-senyum sendiri ketika mendekati Ramadhan, Tanya Kenapa? Saya tidak tahu. Begitupun ketika disini, walaupun mencoba ‘menjajah’ perasaan excited tersebut dengan berulang kali mengucap, “17 jam bo! 17 jam!” tetap saja euphoria itu muncul.

Beberapa hari sebelum Ramadhan, keluarga ini menanyakan apakah saya akan berpuasa. Saya katakan, “insha Allah.” Saya tanyakan apakah mereka berpuasa, mereka katakan, mereka memilih membayar fidyah, karena lamanya waktu puasa dan ancaman dehidrasi menakutkan mereka. Saya mengangguk-angguk saja. Bukan mengiyakan, tapi sekedar menghormati pendapat mereka.

Sesuai jadwal puasa dari toko yang menjual makanan halal yang saya dapatkan, awal puasa di kota ini tanggal 20 Juli. Saya ikut. Sehari sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan gelas yang menampung 900 cc demi menghindari ‘dehidrasi’, mie instan kalau malas sahur terlalu lama, dan printilan lain yang kalau dilihat-lihat ‘sangat tidak penting dan ngawur’, seperti potato chip dan coklat chip.

Bangun sahur pukul 03.00 pagi, imsak pukul 03.39. Otomatis saya hanya punya waktu 39 menit. Mie instan ala Jepang produksi US jadi pembuka. Cukup masukkan air dan taruh di microwave selama 4 menit, begitu petunjuknya. Saya ikut. Karbohidrat tersedia, protein siap, vitamin dari sayur dan buah dan vitamin sintetik jadi pelengkap. Sahur ngebut. Kebiasaan yang memperlambat waktu makan sulit dihilangakan. Jadilah selama sahur mepet itu, tetap mata saya membaca. Apa saja. Kebetulan saat itu saya menyimpan selebaran yang dibagikan di lingkungan ini. Selebaran dari supermarket-supermarket. Selebaran paling atas saya lihat dan saya baca. Terdapat gambar berbagai macam biscuit dengan bentuk tulang yang terlihat sangat anggun berada digigitan seekor anjing. Selebaran dari supermarket yang menjual makanan binatang peliharaan.

Mie habis lima menit sebelum imsak, menurut jam dalam ponsel yang saya lirik sekilas. Jadilah buah sebagai hidangan terakhir saya lahap dengan cepat. Dalam hati saya bertanya, sepertinya ada yang hilang. Saya tertegun sejenak. Saya menyadari segera bahwa suara-suara bacaan ayat suci dan suara merbot yang mengingatkan bahwa imsak sebentar lagi dari TOA mussala yang bersahut-sahutan tidak ada. Sepi dan dingin pada sahur pertama dan pasti sepanjang Ramadhan ini. Saya rindu suara itu.

Selamat berpuasa...

Dari Menara (yang pernah menjadi) Tertinggi di Dunia

Terletak di area downtown Toronto dan pernah menjadi tower tertinggi di dunia selama tiga decade, Canadian National Tower atau CN Tower dibuka untuk umum pada 26 Juni 1976. Sekarang menara yang tertinggi terletak di Dubai, namanya Burj Khalifa, tingginya 800 meter atau sekitar enam kali lipat tingginya monas. Menara tertinggi kedua ada di China, namanya Canton Tower yang tingginya sekitar 600 meter. CN Tower muncul dinomor tiga dengan ketinggian 553.3 meter. Dari 76 daftar mas Wiki tentang menara tertinggi di dunia, Indonesia belum masuk daftar. Kalaupun masuk daftar, bukan kategori menara yang tertinggi, tapi menara dengan tinggi antara 200-250 meter, ada Indonesia didalamnya, yaitu menara TVRI yang dibangun pada tahun 1994 di Jakarta, dengan tinggi sekitar 239 meter. Lumayan.

Saat memutuskan mau ke Toronto, terus terang hanya mau keliling downtown, cari suasana baru, cari pengetahuan baru. Tapi beberapa hari sebelum hari H, keluarga ini menyarankan untuk mengunjungi CN Tower dan menceritakan dengan heboh tentang menara tersebut. Bagaimana saya bisa melihat pemandangan dari tempat tinggi, bagaimana menyeramkannya berdiri di glass floor, dan lain sebagainya. Saya tertarik karena melihat betapa berapi-apinya dia bercerita tentang tempat tersebut.

Pukul 9 pagi saya meninggalkan rumah kenalan saya dan sampai di tempat pukul 11. Itupun entah berapa orang yang saya tanyai. Yang pasti orang pertama adalah Pak Polisi yang sedang berjaga di lingkungan tempat kenalan saya tersebut, lalu kenalan asal Indonesia yang tinggal di Toronto sana juga menelpon dan membantu saya mencari jalan yang baik dan benar. Tapi karena nama-nama yang diberikan asing, maka tak lama setelah telepon ditutup saya kembali bingung. “Ha? Dia bilang apa tadi?” Alhasil, bis yang lewat saya naiki dan tanya pada pak supir.

Ada beberapa paket tur yang ditawarkan. Saya sengaja ambil paket komplit karena terpengaruh dengan ocehan host fam ini dan semakin bersemangat karena dalam brosur yang diberikan, terdapat gambar dua orang yang bergantung di dinding hanya dengan seutas tali. Wow,Saya mau itu!!!

Ada lima kegiatan atau atraksi yang ditawarkan, antara lain: look out, glass floor, sky pod, Himalamazon, dan Legends of Flight. Tidak harus mengambil semua, bisa saja hanya mengambil LookOut + Glass Floor + Choice of SkyPod, Film or Motion Theatre Ride atau hanya LookOut + Glass Floor. Tentu saja harga tiket akan disesuaikan. Kalau paket combo alias komplit, tiketnya seharga 35.99 belum pajak. Setelah pajak jadinya 40an. Kalau hanya empat atraksi harga tiketnya 29.99, dan hanya dua atraksi seharga 23.99. Itu harga dewasa. Untuk anak-anak dan sepuh beda lagi, yang pasti lebih murah.

Saya sengaja ambil paket komplit, karena mengharapkan atraksi menggantung di dinding seperti dalam gambar di buku Guest Guide. Semangat sekali.

Banyak orang yang berkunjung pada hari itu, bisa jadi karena long weekend. Sabtu lalu Minggu bablas Senin, libur karena 1 Juli merupakan Canada Day. Sebenarnya 1 Juli jatuh pada hari Minggu, tapi Senin diliburkan juga. Public Holiday kalau jatuh pada hari Minggu kurang terasa, karena itu Senin diliburkan. Asoy.

Rata-rata yang datang kesana berpasangan atau dengan teman. Diantrian yang saya lihat, banyak anak-anak ABG datang segerombolan, juga yang sedang kasmaran (uhuy!!!), keluarga juga banyak. Di belakang saya ada seorang ayah dengan anak perempuannya yang masih kecil. Saya berpikir, “kemana tuh emaknya?” Usil sekali kadang-kadang.

Masuk ke sana melewati pemeriksaan dan juga masuk ruangan dan disemprot, entah dengan cairan apa. Yang pasti saya kaget karena si Mbak hanya meminta saya masuk. Ternyata bukan saya saja yang kaget, tapi seorang laki-laki yang sebelumnya masuk juga kaget ketika kena semprot.

Antrian mengular dan berisik karena kawanan ABG tersebut. Saya belum mampu menangkap apa yang mereka ucapkan, jujur. Para ABG perempuan berpakaian nyaris sama yaitu tank top dipadu dengan hot pants. Yang laki-laki T- shirt dan celana dombrong, beberapa memakai topi yang entah sengaja dimiringkan atau memang miring secara natural mengikuti pikirannya.

Lift yang difungsikan untuk pengunjung saat itu hanya satu. Lumayan memakan waktu walaupun kecapatan lift tersebut 22 km/ jam dan hanya perlu kurang dari satu menit mencapai ketinggian 346 meter tidak lain dan tidak bukan karena banyaknya pengunjung yang datang, sementara kapasitas lift kurang lebih 15 orang. Liftnya unik, karena berdiding kaca, jadi sepanjang nyaris satu menit itu, penghuni lift bisa melihat dunia lain di bawah sana. Maksudnya area downtown. Yang takut ketinggian pasti melengos tanpa ampun.

Selama menunggu, para pengunjung ditawari berfoto. Yang berombongan, yaaa difoto bersama rombongannya, yang datang bersama keluarga, berfoto bersama keluarga, saling berhimpitan. Saya? Lega… berfoto sendiri. Saya angkat tiket dan brosur tempat itu. Hanya beberapa detik, lalu diberikan kertas sebesar kartu nama untuk mengambil foto itu nantinya. Entah dimana, tapi pasti masih dalam tower ini.

Area yang pertama dikunjungi adalah Look Out. Saya hanya tahu artinya literally. Tapi berhubung teringat akan cerita host fam tentang tempat tersebut, jadi yang ada di pikiran saya adalah sebuah tempat yang bisa memacu adrenalin.

Sang gadis muda guide berbaju merah menjelaskan tentang area yang dituju dan tentang kecepatan lift diantara riuh rendahnya ocehan para ABG. Sang guide tidak peduli didengar atau tidak oleh para ABG, senyum riangnya tetap terpampang. Terlihat jelas dia sangat menikmati pekerjaannya.

Keluar dari lift, saya menengok kiri kanan seperti orang mau menyebrang jalan, lalu mengikuti rombongan yang satu lift dengan saya tadi. Mereka semua melihat keluar jendela berkaca lalu membentuk ekspresi kagum. Saya ikutan melihat keluar jendela. Di bawah sana terdapat pemandangan Toronto. Oh, ini toh. Ternyata Look Out yaaaa look out. Saya baru nyambung, harapan saya tentang ‘memacu adrenalin’ meluncur turun secepat lift tadi. Tapi toh tetap saya foto pemandangan dari atas untuk mengisi page ini.

Masih ada empat kegiatan lain, pikir saya. Pasti ada yang bikin deg degan. Tanpa buang waktu, saya ikuti antrian yang mengular di depan saya. Entah kemana, saya ikut saja.

Antrian tersebut ternyata mengarah ke Sky Pod. Apapula ini. Setelah mengantri nyaris 10 menit, sampailah pada tempat tersebut. Sky Pod dan Look Out intinya sama: sama-sama melihat pemandangan kota dari ketinggian. Bedanya di Sky Pod, bukan lagi diketinggian 346 meter, tapi 447 meter. Saya, yang lemah dalam kalkulasi dan kurang sensitive terhadap perubahan pemandangan dari ketinggian yang berbeda tersebut, hanya melongok sebentar keluar jendela kaca, memutari tempat kecil tersebut, lalu chao.

Antri lift lagi, karena hanya ada satu lift. Tak lama, mungkin sekitar lima enam menit. Tujuannya? Hanya ikut-ikutan orang. Ternyata lift tersebut membawa saya ke Glass Floor. Glass Floor, sesuai namanya, ya lantai yang terbuat dari kaca. Jadi selama berdiri di atas lantai tersebut, kita bisa melihat pemandangan di bawah sana. Banyak pengunjung hanya berlutut di pinggir Glass Floor dan melongok ke bawah. Banyak juga yang mencoba jalan diatasnya dan minta difoto oleh koleganya. Seorang anak perempuan kecil dengan santai berjalan menyusuri lantai tersebut. Saya, setelah berusaha sedikit mencari celah untuk berjalan diatasnya, merekam pemandangan dari tempat tersebut. Tak sampai sepuluh menit disana, tetap berharap sesuatu yang ‘memacu adrenalin’, saya chao.

Sambil berjalan menuju lift untuk turun, saya melihat tiket yang saya pegang. Tersisa Himalamazon dan Legends of Flight.
Lift membawa kami turun ke toko yang menjual souvenir tempat tersebut. Banyak barang, seperti bendera, tas, mug, gantungan kunci, kaos, topi, dan lain-lain. Sempat menyentuh benda-benda seperti mug, botol minuman, dan benda-benda kecil lain yang tertera gambar bendera Kanada dan atau CN Tower. Saya bolak balik dan menemukan kesamannya dari benda-benda tersebut: Made in China.

Saya bertanya pada guide yang saya temui di lift pertama tentang Himalamazon. Dia katakan, silahkan lihat-lihat souvenir dulu. Saya berlalu dan mencari sendiri lokasinya.

Keluar dari toko souvenir, saya mendekati security dan menanyakan tentang lokasi Himalamazon. Sang bapak menujuk sebuah pintu di sebelahnya. Langsung saya masuki.

Ruangan tersebut seperti bioskop mini. Hanya ada beberapa bangku panjang dan layar kecil. Tak lama film diputar, dibuka oleh seorang professor animasi yang bercerita intinya tentang alam. Kurang lebih 10 menit, lalu pengunjung pindah ke ruang sebelah. Disana pengunjung diajak merasakan menjadi sebongkah kayu yang dipotong lalu dihanyutkan di sungai yang banyak buayanya. Seperti de javu. Pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Mungkin di Dufan beberapa tahun yang lalu. Tapi yang ini, benar-benar kena semprot air, walau sedikit, ketika sang kayu terkena kecipak air dari buaya ketika hanyut di sungai. Kebetulan saya duduk di paling depan dan paling ujung. Bukan keinginan saya duduk disana, tapi karena saya paling akhir masuk, itu satu-satunya posisi yang kosong.

Pertunjukkan pamungkas adalah Legend of Flight. Energy nyaris abis. Tas canglong yang isinya netbook dan chargernya, dan sekotak anggur untuk orang satu orang kawan asal Indonesia yang berkerja di Toronto terasa lebih berat, ditambah rasa lapar dan makin berat karena berkhayal tentang Rumah Makan Padang. Khayalan tingkat tinggi.

Legend of Flight. Pintu masuknya Maple Leaf Cinema. Nonton film tentang legend of flight di Canada, sesuai namanya. Bedanya pengunjung memakai kacamata 3D, jadi film terasa real. Pesawat dan orang-orang yang ada di dalam film terasa dekat, seakan bisa disentuh. Film kurang lebih 20 menit. Saya menguap lebar.

Sedikit terhuyung ketika meninggalkan cinema tersebut karena ngantuk. Seperti biasa, keluar pintu saya tengok kiri kanan, kali ini tujuannya mencari toilet. Sambil menuju toilet, saya menandai Exit. Itu pasti artinya keluar.

Saya teringat kertas kecil pengambilan foto. Kebetulan melewati tempat tersebut. Jadilah saya ikutan antri (entah berapa kali saya hanya ikut-ikutan). Orang di depan saya yang berparas Asia Selatan, sepertinya dari Pakistan, saya tanyai tentang foto tersebut, apakah free atau tidak. Pertanyaan bodoh sebenarnya. Mana ada yang free?

Pasangan itu menjawab tidak tahu lalu menyarankan saya untuk memberikan kertas kecil tadi pada petugas. Kartu dilihat dan saya diminta menunggu sebentar. Saya tanyakan berapa harganya. Dijawab, kalau hanya satu foto, seharga 23 dollar, kalau paket, 30 dollar. Dia tunjukkan contohnya. Belum sempat menimbang, seorang laki-laki di sebelah saya bertanya pada petugas.

“So, what will happen with my picture if I don’t wanna take it? You will throw it into garbage?”

Sang petugas hanya tersenyum.

Lalu sang laki-laki berkata, “I don’t wanna pay 30 for these.” Dia pun berlalu.

Fotonya kemungkinan besar memang masuk tempat sampah. Tapi saya salut, dia punya sikap. Sementara saya? Saya ambil foto tersebut dan membayar untuk satu paket. Sebenarnya cuma foto sebesar 4R, kurang lebih, tapi diberi map dengan gambar CN Tower dan bendera Kanada dengan tulisan "Happy Canada Day" serta dua foto kecil dalam sebuah pigura imut yang hanya berumur tiga hari. Anak yang saya asuh ‘tak sengaja’ mematahkan kakinya ketika dia melihat-lihat foto tersebut. Saya protes kecil.

“Hey, you broke my picture.” Protes saya.

Dia menjawab ringan sambil mengangkat bahu dan alis matanya, gayanya seperti orang dewasa, “It’s okay.”

“It’s okay for you, not for me!” jawab saya gusar sambil mengambil foto tersebut dan berjanji akan menjauhkan barang-barang penting saya dari jangkauannya. Seharusnya saya ingat tragedy beberapa hari sebelum saya berangkat ke Toronto, saat itu habis kacamata saya dilumuri body lotion.

Meninggalkan tower tersebut sekitar pukul tiga sore. Matahari terik. Udara di Toronto lebih panas daripada di Ottawa. Yah, pemicu adrenalin tak ada. Tapi paling tidak, penasaran akan tower itu hilang. Bisa jadi itu kunjungan yang pertama dan terakhir, kecuali bila saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mencoba Edge Walk di CN Tower. Namanya baru saya dapatkan ketika saya menulis ini sambil membuka-buka buku Guest Guide tower tersebut. Sedikit kecewa, tapi tetap bersykur. Yah, teringat salah satu ajaran dalam agama: Bersyukurlah, maka akan Ku tambah nikmatmu.

Alhamdulillah

Sukses untuk semua….

Cita-Cita (yang ga) Penting: Backpacker (Toronto II)

Masa-masa kuliah kadang menyenangkan, kadang tidak. Alasan kenapa tidak menyenangkan salah satunya bisa karena dosen berhalangan hadir lalu mahasiswa (seperti saya) merasa sia-sia datang ke kampus. Mending kalau mata kuliahnya minimal empat sehari. Kadang mata kuliah sehari cuma satu atau dua. Parahnya, mata kuliah awal pada jam 8 atau 9 pagi, dan yang kedua siang atau sore nanti. Buang-buang waktu macam itu membuat badan pegal, karena sudah dengan semangat seadanya untuk bangun di pagi hari, buru-buru ke kampus, dan mendapatkan berita peng-cancel-an jadwal. Tapi sebenarnya serba salah juga. Kadang dosennya ada, mahasiswanya menggerutu, dosen tidak masuk, mahasiswa juga menggerutu. Yah, itulah manusia. Bikin bingung.

Salah satu hiburan pembunuh waktu selain ngobrol ngalor ngidul dengan teman, atau tidur di masjid adalah memelototi computer yang terhubung dengan internet. Padahal ga ada yang penting juga. Yah, adalah beberapa hal yang penting yang perlu ditanyakan ke Mbah, tapi biasanya cuma googling sebentar, copied ke word, saved dan that’s it. Baca hasil googling urusan belakangan, toh ga ada tanggal kadaluarsanya itu copyan. Yang paling paling paling sering dibuka mahasiswa paling-paling fesbuk.

Sewaktu masih di bangku kuliah saya membuat account fb, tapi dibukanya hanya sekali dua kali dalam beberapa bulan. Tidak ada alasan lain membuat account tersebut selain karena penasaran. Jadilah account tersebut di nonaktifkan. Saya jarang buat status, status terakhir dengan account yang lama adalah: I feel like I wanna exile myself.

Deactivated.

Sedikit terdengar lebay, tapi memang saat itu, itulah yang benar-benar dirasakan. Mau pergi kemana gitu, cari tempat buat mengasingkan diri dari hingar bingar dunia gemerlap (hello… siapa kamu???). Itulah saat pertama berpikir ingin menjadi seorang backpacker.

Saat itu sadar belum mampu untuk menjadi backpacker. Banyak hal, antara lain karena kuliah sekalian kerja juga belum tahu komunitasnya. Berpergian sendiri alamat ga mungkin, karena saya sadari dari awal, kemampuan spatial saya ala kadarnya. Sempat juga membicarakan hal ini dengan seorang kawan yang saya panggil Uni Desy. Dia pun merasakan hal yang sama, ada saatnya ingin keluar dari rutinitas dan menjalani hal yang benar-benar baru. Tapi kendala yang dia punya lebih besar dari yang saya hadapi, karena dia sudah menjadi seorang ibu. Sulit dibayangkan seorang ibu menjadi backpacker sementara anaknya menghadapi buku pelajaran dan Iqro hampir setiap harinya :)

Mimpi itu tersimpan di alam bawah sadar, tersimpan di angan-angan paling tinggi, dan yang tertinggi adalah, tersimpan dalam catatan-Nya. Entah itu terkabul atau tidak, yang pasti Dia berjanji akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.

Kawan saya yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri itu pasti mendapatkan hal yang lebih baik daripada menjadi seorang backpacker. Well, mungkin belum sekarang, tapi Dia pasti menuntun hamba-hamba-Nya untuk mendapatkan hal yang terbaik. Selalu. Sementara saya? Belum menjadi real backpacker, tapi setidaknya pernah merasakan. Walaupun tidak 100% ala backpacker.

Mas Wikipedia menjelaskan backpacker sebagai orang yang berpergian di dalam maupun ke luar negeri hanya dengan membawa ransel, pakaian secukupnya, dan barang lain yang dianggap perlu. Menginap pun tidak di hotel, paling ke motel atau hostel. Liburan prihatin.

Ketika memutuskan untuk pergi ke Toronto, motel jadi sasaran awal saya. Cek ricek di Mbah, biaya permalam berkisar antara 45an sampai 100. Banyak yang menawarkan dikisaran harga 50an. Saya menimbang-nimbang sebentar, lalu mencari lagi yang lebih murah, jadilah hostel. Harganya sekitar 15-40an permalam. Fasilitasnya kalau yang paling murah disebutkan tidak mendapat linen (terus?? Maksudnya suruh bawa sendiri?). Satu tempat tidur bisa berdua, atau satu kamar bisa isinya berempat dan kamar mandi berbagi dengan penghuni lain. Internet rata-rata tersedia, walaupun dibeberapa review orang yang pernah memakai hostel, internetnya lambat. Yah, apa mau dikata. Kalau mau yang asoy, ya ke hotel yang pasti jauh lebih mahal. Untuk harga tertinggi di hostel, bisa mendapat kamar sendiri dan kamar mandi di dalam. Nyaris seperti motel, tapi dengan harga yang lebih rendah.

Sempat membidik beberapa hostel, walaupun ternyata jadinya nebeng di tempat teman untuk dua malam. Imbalannya hanya sekotak anggur dan bertukar cerita tentang banyak hal, salah satunya tentang makanan dan menu orang Indonesia yang didominasi oleh nasi. Sarapan: nasi. Makan siang: nasi. Makan malam: nasi. Dia berujar, “gosh… I will not marry Indonesian.” Saya hanya nyengir melihat roti yang dihidangankan di depan saya. Sarapan: roti. Makan siang: roti. Makan malam: roti. Saya berujar, dalam hati tentunya, “kami pun akan sedih bila makan roti terus menerus.”

Pakaian yang saya bawa pun seadanya. Yang pasti, celana jeans saya pakai selama dua malam tiga hari itu. Ga ganti, ga masalah. Hati toh tetap gembira dan puas, selain karena menjelajah daerah baru (plus nyasarnya) kesampain juga menjadi seorang backpacker selama sekian jam. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir tujuan selanjutnya.

Montreal.

Sukses untuk semua

Serba Nyaris (Toronto I)


Hari libur. Hari bebas untuk membuka mata lebih lebar dan memperkaya wawasan tentang sekitar. Libur satu hari setiap minggunya sudah cukup ditunggu-tunggu, apalagi long weekend seperti ini. Minggu dan Senin. Pikiran saya jauh-jauh hari sudah membidik Toronto. Walaupun jaraknya cukup jauh, sekitar 5 jam, kalau memakai takaran Google Maps, toh tak menghalangi niat saya tersebut. Jauh-jauh hari pula saya katakan niat saya pada keluarga ini. Mereka mengizinkan, dan mengecek informasi tentang bis tujuan Toronto, biayanya 70 dollar. Saya menimbang-nimbang sejenak. Nyaris saya masukkan ide tersebut di dalam kantong, karena terbentur akomodasi yang lumayan untuk saya.

Malamnya kebetulan seorang kenalan dari internet yang sudah cukup lama menjadi penduduk sini on line. Sedikit berbasa-basi awalnya, dia menanyakan rencana long weekend saya. Saya katakan rencana ke Toronto, tapi kemungkinan kecil, karena ongkos bisnya cukup besar. Dia menyarankan saya menggunakan rideshare yang bisa ditemui di situs bernama kijiji. Jari saya langsung mengetik beberapa tombol dan dalam waktu singkat sudah didapatkan informasinya.

Rideshare, dari namanya sudah bisa ditebak, intinya, yang punya mobil dan menuju ke Toronto atau terserah yang punya mobil, mau memberi tumpangan, sekalian jalan, seperti itu. Tapi ada juga yang memang dikelola seperti bisnis. Kalau ke Toronto biaya yang dikenakan 30 dollar sekali jalan, lebih murah dari bis. Tentu saja saya memilih rideshare. Api semangat untuk mengeksplor Toronto kembali dinyalakan. Siap!

Sesuai nasihat teman saya tersebut, saya dianjurkan memasang iklan dua minggu sebelumnya. Terlalu jauh, pikir saya, jadilah satu minggu sebelumnya saya pasang iklan saya tentang butuh rideshare pada hari sekian dan tanggal sekian. Setiap hari saya cek email saya, tapi tidak ada yang tertarik. Atau bisa jadi belum ada yang merencanakan kemana dan kapan menuju Toronto. Mulailah saya nothing to lose. Jadi syukur… ga jadi, ya kecewa juga sih.

Selain ingin merasakan sebagai Dora the Explorer, saya juga berniat bertemu dua orang Indonesia yang tinggal disana. Dua-duanya saya temui lewat situs pertemanan.

Keluarga ini menyarankan saya untuk pergi hari minggu pagi, jadi sampai sekitar minggu siang. Berpikir sejenak, saya putuskan untuk berbicara dengan keluarga ini mengenai waktu bebas saya setengah hari pada hari Sabtu. Sedikit alot, tapi toh saya dapatkan juga. Saya katakan saya kerjakan pekerjaan saya, kewajiban saya, saya tidak akan melanggar aturan rumah dan kontrak saya, dan yang saya gunakan adalah hari bebas saya setengah hari pada hari Sabtu. Jadilah saya meluncur pada Sabtu sore menuju Toronto.

Dua hari menjelang hari Sabtu, nyaris saya batalkan, karena tidak adanya rideshare yang bisa sesuai dengan waktu bebas saya. Yang saya cari adalah rideshare pada pukul 4 atau 5 sore di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat ini, dan kalau bisa, menjemput saya disini, walaupun saya harus membayar lebih untuk itu. Bukan manja, tapi memang ada beberapa yang menawarkan untuk jemput di tempat dengan biaya lebih tinggi 5 atau 10 dollar. Saya pikir tak apa, toh biaya day pass pun 7 dollar, beda tipis.

Sempat membatalkan dan mencari aktivitas lain untuk mengisi libur. Tapi ada sedikit keyakinan saya, bahwa saya bisa mengunjungi Toronto. Entah keyakinan, entah sok yakin, karena saya sedikit kepala batu. Tapi yang pasti, rideshare masih saya buru.

Akhirnya saya menemukan iklan rideshare yang meninggalkan Ottawa pada pukul 5 sore. Tempat pemberangkatannya di Greenboro, sekitar satu jam dari sini. Jadwalnya hari Sabtu ada yang jam 10 dan jam 5. Saya memilih jam 5. Tapi di hari Jumat, hari dimana saya di minta untuk konfirmasi ulang, ternyata jadwal pada jam tersebut tidak ada, karena ‘shortgage.’ Entah apa maksudnya, tapi saya pikir mungkin penumpang sedikit. Terbayang itu adalah van yang cukup besar yang dikelola memang untuk bisnis rideshare. Saya kecewa dan menyerah.

Iseng mengecek email setelah bekerja, ada sebuah email yang menjawab email saya sebelumnya. Saya baru ingat saat membaca itu, saya pernah mengirim sebuah email ke orang yang menawarkan rideshare pada hari Sabtu, pukul 5 sore. Pengirimnya bernama Anam Ahmed. Saya menelponnya, ternyata seorang perempuan beraksen India. Singkat cerita, jadilah saya ikut rideshare Anam.

Tempat pertemuan di Billings Bridge, sebuah mall yang besar. Hanya dua kali bis dari sini. Saya tiba di mall tersebut pukul 4.30 sore. Masih lama, pikir saya. Jadilah saya masuk mall, bukan untuk melihat-lihat atau berbelanja, tapi mencari toilet.

Memasuki mall tersebut, pengunjung melewati terowongan yang hanya beberapa meter. Baru menginjak muka tunel, saya dihadang oleh seorang perempuan beraksen Filipina yang memberikan brosur untuk saya baca, isinya tentang lembaga kemanusiaan yang butuh sumbangan. Halah! Kebelet, dihadang ini pula. Tak mau repot, terlebih lagi langkah saya terhadang si Mbak tersebut, saya pilih mengikuti apa yang diminta. Masalah ikhlas ga ikhlas, yang penting ketemu toilet segera.

Keluar dari mall dengan perasaan lega, saya menelpon Anam, memberi tahu posisi saya. Dikatakan dia akan telat sekitar 15 menit. Pasrah.

Duduk manis melihat pemandangan orang yang lewat silih berganti di pemberhentian bis tak terlalu mengecewakan. Ada banyak yang bisa dilihat. Banyak perempuan yang memakai jilbab, terutama yang berparas timur tengah dan Afrika. Melintas santai di depan saya seorang perempuan Afrika tinggi langsing, memakai sepatu hak tinggi pula. Saya pikir saya pasti akan terlihat aneh sekali bila berjalan bersisian dengan dia. Jomplang.

20 menit berlalu, saya mulai lapar. Teringat McDonald di pintu masuk mall setelah tunel. Saya pun memasuki mal untuk kedua kalinya. Antri, tapi telepon berbunyi, Anam mengabarkan bahwa dia sudah ada di parkir mall, segera saya keluar dan menuju parkiran. Dia melambai dari sedan civic berwarna biru. Mengucap terima kasih, saya pun masuk kemobilnya.

Di sebelah Anam, si supir, ada ibunya. Di sebelah saya seorang perempuan berparas Afrika. Saya nyengir sambil menyapa.

“I thought I saw you at the bus stop.” Saya membuka percakapan.

“Oh, yes, yes, I saw you too.” Jawabnya ramah.

Dia adalah perempuan Afrika tinggi bersepatu hak tinggi itu. Harapan saya untuk tidak berjalan di sebelah perempuan tinggi ini terhempas jauh karena ketika Anam berhenti untuk membeli makan malam setelah sekitar 3 jam berkendara, saya dan perempuan muda tersebut, yang selanjutnya saya tahu bernama Ayan dan berasal dari Somalia, berjalan bersisian untuk membeli makanan di KFC lalu berjalan bersama ke parkiran. Momen yang indah….

Mbah Google mengatakan untuk mencapai Toronto waktu yang digunakan sekitar 4 jam. Tapi tidak disebutkan dalam kecepatan berapa km/jam. Dan saya tidak tertarik mencari tahu. Saya terima beres.

Yang pasti, GPS di depan supir menunjukkan waktu sampai tujuan sekitar pukul 10 malam. Beberapa kali melirik speedometer, jarum nyaris statis diangka 120 Km/ jam, lalu lintas surga alias kosong. Tancap neng….

Seorang teman yang sudah tinggal di Toronto sekitar 5 tahun sudah menunggu di sekitar Victoria Park and Highway. Saya berterima kasih berkali-kali. Besok saya akan mengekspor Downtown, pikir saya, with or without company.

Kepala batu.