Minggu, 29 Juli 2012

Arti Kehadiran Teman I

Saya, dan saya yakin banyak dari kita, terikat dengan internet. Tidak mengecek situs pertemanan seperti twitter, tagged, myspace, tumblr, facebook, dan lainnya dalam sehari sepertinya ada yang ganjil. Bukan Cuma situs pertemanan, tapi juga mengecek email atau membaca berita on line. Padahal dulu, sebelum internet mulai booming diawal tahun 90-an, hidup asik-asik saja. Tapi memang zaman berubah. Dulu sebelum ponsel booming, kemana-mana, yang penting bawa doku dan KTP, aman, sekarang ketinggalan KTP lebih baik daripada ketinggalan ponsel.

Dulu ponsel Nokia 8201 sudah cukup, bentuk sudah cukup oke, walaupun sekarang harganya hampir sama dengan harga BB, sekarang, BB menjamur. Dari anak TK sampai oma opa, familiar dengan benda yang disebut telepon pintar. Saya pun cukup familiar dengan itu, walaupun tidak menggunakannya dan tidak tertarik menggunakannya.

Semua berawal dari niat, begitu salah satu ajaran di agama. Semuanya. Termasuk penggunaan internet. Saya pribadi menggunakan internet awalnya untuk membantu meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris saya, dengan cara mengobrol dengan kawan-kawan dari negara luar, entah itu dari Asia, Amerika, Afrika, maupun Eropa. Alhasil, sewaktu masih menjadi mahasiswa, nilai menulis saya selalu jadi andalan untuk mendongkrak IPK yang bisa jadi miring karena nilai lain, seperti statistic, yang anjlok tak karuan.

Kalau fungsi lain internet, yah, seperti yang lain, mencari informasi, mencari pekerjaan, melamar pekerjaan, ataupun belajar membuat blog. Intinya, memanfaatkan semaksimal mungkin untuk pengembangan diri. Situs pertemanan pasti saya buat juga, tapi jujur lebih karena penasaran, walaupun ujung-ujungnya digunakan sebagai alat komunikasi kedua setelah ponsel. Pak Pos sudah sangat jarang digunakan, apalagi merpati pos.

Dulu seringnya saya hanya menggunakan yahoo messanger, lalu iseng mengikuti Evan bergabung di situs pertemanan yang akhirnya paling sering saya gunakan, yaitu tagged, karena dengan mudah saya bisa mendapatkan teman asing. Belakangan ini saya cukup sering menggunakan facebook karena menjadi sarana komunikasi ketiga dengan teman dan keluarga setelah telepon dan sms, malah kadang lebih sering menggunakan sarana ini untuk menyapa teman.

Namanya saja situs pertemanan, biasanya dengan mudah kita mendapatkan teman. Begitu pula dengan saya. Tidak masalah menjawab pertanyaan “apa kabar?” atau “rumahnya dimana?” berkali-kali. Jawaban saya pun hanya “baik”, dan “di Jakarta”, kalaupun berkembang lebih jauh, seperti “Jakartanya dimana?”, tanpa dosa saya pasti menjawab, “Jakarta Selatan.” Biasanya, berkembang “iya tau, tepatnya dimana?” Pasti tidak saya jawab. Apalagi pertanyaan tentang telepon atau PIN BB. Pasti tidak saya jawab. Yang pertama karena saya lebih percaya teman yang bisa saya jumpai secara langsung, dan bukan bertemu ala kopi darat, yang kedua adalah karena saya bukan pengguna BB.

Tapi bukan berarti saya tidak pernah member nomor telepon. Beberapa kali saya memberikan nomor ponsel saya, dengan satu syarat: orang itu bukan berada di Indonesia. Terdengar sombong? Bisa ya, bisa tidak. Tapi saya punya alasannya. Selain karena menjaga keamanan diri, dalam hal ini saya agak was was bila bertemu dengan seorang yang saya temui pertama kali lewat internet, karena bisa jadi itu profil palsu (walaupun saya yakin banyak orang yang menggunakan profil asli), yang kedua adalah karena niat awal saya memang bukan mencari teman, tapi meningkatkan kemapuan bahasa Inggris saya. Semua tergantung niat.

Alasan selanjutnya kenapa saya cenderung hanya memberi nomor ponsel pada kenalan di luar Indonesia adalah karena kemungkinan mereka menelpon dan mengirim sms kecil. Memang ada beberapa yang berkirim sms atau telepon, tapi itupun tidak terlalu sering, akan jauh berbeda bila teman di Indonesia. Seorang teman yang gemar memberikan nomornya bercerita bahwa dia sering mendapat sms perhatian seperti “sedang apa?”, “sudah makan belum?”, “selamat pagi”, “jangan lupa makan ya” atau sms ‘basa-basi’ – menurut saya lohhh – walaupun bisa jadi mungkin salah satu dari pengirim sms itu adalah pelabuhan terakhirnya. Kita tidak pernah tahu. Tapi saya belum berniat mencoba.

Itu dulu, ketika saya masih di Jakarta. Maaf, bukan jual mahal, sekali lagi karena kewaspadaan saya keterlaluan hingga menimbulkan rasa parno tersendiri. Tapi ceritanya lain sekarang. Saya di negeri orang dimana orang-orangnya terlihat begitu sibuk. Saya suka menyendiri tapi saya tidak terbiasa sendiri. Saya butuh teman. Urgent!

Kalau ada survey tentang seberapa cepat mendapatkan teman, saya bisa jadi keluar sebagai orang yang terlama. Bukan hal yang mudah untuk saya merasa nyaman pada orang yang baru saya temui. Dulu keadaan ini sangat menyiksa, tapi sekarang terbiasa. Mungkin dengan butuh waktu lebih panjang, saya bisa punya waktu lebih banyak untuk mengobservasi karakter seseorang dan merasa nyaman. Semua ada sisi positif maupun negativnya. Dunia ini seimbang.

Dari 41 orang teman di SMA, hanya 2-3 orang yang benar-benar dekat dan sampai sekarang kami masih berhubungan meski hanya lewat situs pertemanan. Kadang kontak terjadi agak lama, tapi bila ada teman yang sakit atau mengalami musibah, kami pasti bergerak, walaupun hanya sekedar mengirim pesan berduka ataupun datang mengunjungi. Ada juga teman dari tempat kerja sebelumnya. Insha Allah silaturahim tetap terjaga. Tapi kalau ditotal, jumlahnya tak lebih dari ‘a handful’ kata orang bule, alias ga lebih dari sepuluh.

Itu cerita dulu, waktu masih di Jakarta yang dengan mudah kita temui orang bergerombol. Tapi sekarang saya di negeri orang, dimana kondisinya sangat berbeda.

Ketika pertama kali merasakan pagi disini, pandapat yang keluar dari mulut saya adalah, “sepi sekali.” Host family hanya tertawa dan mengatakan, “itu juga hal pertama yang istri saya katakana waktu pertama kali disini.”

Di depan rumahnya terdapat jalan yang cukup besar untuk dua mobil, bisa jadi lebih. Kiri kanannya rumah yang tipenya sama, tidak berpagar seperti di banyak kota besar di Indonesia, tapi yang lewat berjalan kaki bisa di hitung dengan jari. Selain karena anginnya yang dingin menusuk, juga karena sibuknya orang-orang bekerja untuk mempersiapkan masa depannya. Tidak ada orang kongkow-kongkow. Kalaupun ada sesekali orang lewat, mereka terlihat seperti berolahraga, karena berpakaian olah raga lengkap dan langkah kaki agak cepat.

Bersambung….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar