Saya, dan saya yakin banyak dari kita, terikat dengan internet. Tidak
mengecek situs pertemanan seperti twitter, tagged, myspace, tumblr,
facebook, dan lainnya dalam sehari sepertinya ada yang ganjil. Bukan
Cuma situs pertemanan, tapi juga mengecek email atau membaca berita on
line. Padahal dulu, sebelum internet mulai booming diawal tahun 90-an,
hidup asik-asik saja. Tapi memang zaman
berubah. Dulu sebelum ponsel booming, kemana-mana, yang penting bawa
doku dan KTP, aman, sekarang ketinggalan KTP lebih baik daripada
ketinggalan ponsel.
Dulu ponsel Nokia 8201 sudah cukup, bentuk
sudah cukup oke, walaupun sekarang harganya hampir sama dengan harga
BB, sekarang, BB menjamur. Dari anak TK sampai oma opa, familiar dengan
benda yang disebut telepon pintar. Saya pun cukup familiar dengan itu,
walaupun tidak menggunakannya dan tidak tertarik menggunakannya.
Semua berawal dari niat, begitu salah satu ajaran di agama. Semuanya.
Termasuk penggunaan internet. Saya pribadi menggunakan internet awalnya
untuk membantu meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris saya, dengan cara
mengobrol dengan kawan-kawan dari negara luar, entah itu dari Asia,
Amerika, Afrika, maupun Eropa. Alhasil, sewaktu masih menjadi mahasiswa,
nilai menulis saya selalu jadi andalan untuk mendongkrak IPK yang bisa
jadi miring karena nilai lain, seperti statistic, yang anjlok tak
karuan.
Kalau fungsi lain internet, yah, seperti yang lain,
mencari informasi, mencari pekerjaan, melamar pekerjaan, ataupun
belajar membuat blog. Intinya, memanfaatkan semaksimal mungkin untuk
pengembangan diri. Situs pertemanan pasti saya buat juga, tapi jujur
lebih karena penasaran, walaupun ujung-ujungnya digunakan sebagai alat
komunikasi kedua setelah ponsel. Pak Pos sudah sangat jarang digunakan,
apalagi merpati pos.
Dulu seringnya saya hanya menggunakan
yahoo messanger, lalu iseng mengikuti Evan bergabung di situs pertemanan
yang akhirnya paling sering saya gunakan, yaitu tagged, karena dengan
mudah saya bisa mendapatkan teman asing. Belakangan ini saya cukup
sering menggunakan facebook karena menjadi sarana komunikasi ketiga
dengan teman dan keluarga setelah telepon dan sms, malah kadang lebih
sering menggunakan sarana ini untuk menyapa teman.
Namanya saja
situs pertemanan, biasanya dengan mudah kita mendapatkan teman. Begitu
pula dengan saya. Tidak masalah menjawab pertanyaan “apa kabar?” atau
“rumahnya dimana?” berkali-kali. Jawaban saya pun hanya “baik”, dan “di
Jakarta”, kalaupun berkembang lebih jauh, seperti “Jakartanya dimana?”,
tanpa dosa saya pasti menjawab, “Jakarta Selatan.” Biasanya, berkembang
“iya tau, tepatnya dimana?” Pasti tidak saya jawab. Apalagi pertanyaan
tentang telepon atau PIN BB. Pasti tidak saya jawab. Yang pertama karena
saya lebih percaya teman yang bisa saya jumpai secara langsung, dan
bukan bertemu ala kopi darat, yang kedua adalah karena saya bukan
pengguna BB.
Tapi bukan berarti saya tidak pernah member nomor
telepon. Beberapa kali saya memberikan nomor ponsel saya, dengan satu
syarat: orang itu bukan berada di Indonesia. Terdengar sombong? Bisa ya,
bisa tidak. Tapi saya punya alasannya. Selain karena menjaga keamanan
diri, dalam hal ini saya agak was was bila bertemu dengan seorang yang
saya temui pertama kali lewat internet, karena bisa jadi itu profil
palsu (walaupun saya yakin banyak orang yang menggunakan profil asli),
yang kedua adalah karena niat awal saya memang bukan mencari teman, tapi
meningkatkan kemapuan bahasa Inggris saya. Semua tergantung niat.
Alasan selanjutnya kenapa saya cenderung hanya memberi nomor ponsel
pada kenalan di luar Indonesia adalah karena kemungkinan mereka menelpon
dan mengirim sms kecil. Memang ada beberapa yang berkirim sms atau
telepon, tapi itupun tidak terlalu sering, akan jauh berbeda bila teman
di Indonesia. Seorang teman yang gemar memberikan nomornya bercerita
bahwa dia sering mendapat sms perhatian seperti “sedang apa?”, “sudah
makan belum?”, “selamat pagi”, “jangan lupa makan ya” atau sms
‘basa-basi’ – menurut saya lohhh – walaupun bisa jadi mungkin salah satu
dari pengirim sms itu adalah pelabuhan terakhirnya. Kita tidak pernah
tahu. Tapi saya belum berniat mencoba.
Itu dulu, ketika saya
masih di Jakarta. Maaf, bukan jual mahal, sekali lagi karena kewaspadaan
saya keterlaluan hingga menimbulkan rasa parno tersendiri. Tapi
ceritanya lain sekarang. Saya di negeri orang dimana orang-orangnya
terlihat begitu sibuk. Saya suka menyendiri tapi saya tidak terbiasa
sendiri. Saya butuh teman. Urgent!
Kalau ada survey tentang
seberapa cepat mendapatkan teman, saya bisa jadi keluar sebagai orang
yang terlama. Bukan hal yang mudah untuk saya merasa nyaman pada orang
yang baru saya temui. Dulu keadaan ini sangat menyiksa, tapi sekarang
terbiasa. Mungkin dengan butuh waktu lebih panjang, saya bisa punya
waktu lebih banyak untuk mengobservasi karakter seseorang dan merasa
nyaman. Semua ada sisi positif maupun negativnya. Dunia ini seimbang.
Dari 41 orang teman di SMA, hanya 2-3 orang yang benar-benar dekat dan
sampai sekarang kami masih berhubungan meski hanya lewat situs
pertemanan. Kadang kontak terjadi agak lama, tapi bila ada teman yang
sakit atau mengalami musibah, kami pasti bergerak, walaupun hanya
sekedar mengirim pesan berduka ataupun datang mengunjungi. Ada juga
teman dari tempat kerja sebelumnya. Insha Allah silaturahim tetap
terjaga. Tapi kalau ditotal, jumlahnya tak lebih dari ‘a handful’ kata
orang bule, alias ga lebih dari sepuluh.
Itu cerita dulu, waktu
masih di Jakarta yang dengan mudah kita temui orang bergerombol. Tapi
sekarang saya di negeri orang, dimana kondisinya sangat berbeda.
Ketika pertama kali merasakan pagi disini, pandapat yang keluar dari
mulut saya adalah, “sepi sekali.” Host family hanya tertawa dan
mengatakan, “itu juga hal pertama yang istri saya katakana waktu pertama
kali disini.”
Di depan rumahnya terdapat jalan yang cukup
besar untuk dua mobil, bisa jadi lebih. Kiri kanannya rumah yang
tipenya sama, tidak berpagar seperti di banyak kota besar di Indonesia,
tapi yang lewat berjalan kaki bisa di hitung dengan jari. Selain karena
anginnya yang dingin menusuk, juga karena sibuknya orang-orang bekerja
untuk mempersiapkan masa depannya. Tidak ada orang kongkow-kongkow.
Kalaupun ada sesekali orang lewat, mereka terlihat seperti berolahraga,
karena berpakaian olah raga lengkap dan langkah kaki agak cepat.
Bersambung….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar