Minggu, 29 Juli 2012

Arti Kehadiran Teman II

Real friends stab you from in front of – kalimat yang entah saya baca dimana. Bisa jadi di jalan atau status salah satu teman. Tapi saya setuju. Seorang teman – yang benar-benar teman – akan mengingatkan kita ketika kita berjalan di jalur yang salah. Tidak peduli seberapa pahit hal yang harus dikatakan, atau sebesar apa konsekuensi yang nantinya akan dihadapi, seorang ‘real friend’ akan mengambil langkah itu walaupun berat. Hal yang muncul di benak saya adalah: saya belum menjadi ‘a real friend’ untuk teman-teman saya. Saya cenderung menghindar ketika harus mengatakan hal berat, walaupun niatnya baik. Saya cenderung mengambil jalan aman, dengan mengatakan: terserah, itu hidupmu, kamu sudah cukup besar. Cuma itu. Kasarnya: Itu bukan urusan saya. Atau bisa juga artinya: saya tidak mau mencampuri hidupmu. Saya siap mendengarkan. Hanya mendengarkan. Bila kamu meminta, saya akan memberikan pendapat saya. Tidak lebih dari itu. Tommy Page bilang “a shoulder to cry on.” Saya cenderung memakai alasan yang terakhir ini.

Mencari teman sejati itu susah susah gampang. Kalau nasib baik, dengan mudah kita dapatkan, kalau sebaliknya, yah, pasrah. Jalani hidup tanpa bersandar pada orang lain sebenarnya tidak ada salahnya, selama masih punya ‘The Real Guiding Star’, tapi tentu hidup bisa lebih ringan bila kita mempunyai kawan-kawan tempat berbagi suka apalagi duka. Bukankah kita adalah makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri? Tidakkah segelas es teh di malam hari yang dinikmati di puncak gunung Rinjani terasa hangat bila kita membaginya bersama seorang karib?

Kalau di flash back, entah berapa kali saya mengalami konflik dengan teman. Ada yang kembali dan menjadi lebih dekat dari sebelumnya, ada justru yang tadinya dekat, malah menjauh karena konflik tersebut. Bukan perkara mudah mengelola konflik. Yah, sebenarnya mudah saja, asal ada kemauan, meskipun sedikit. Kemauan apa? Kemauan untuk mengakui kesalahan, kemauan untuk belajar menerima kritik, kemauan untuk menerima kelemahan teman dan kemauan bertoleransi.

Well, secara teori terlihat mudah. Prakteknya sangat berat. Sepertinya lebih ringan mengangkut beras 10 kilo ke lantai dua daripada berbesar hari mengakui kesalahan dan meminta maaf. Dan karena hidup ini adalah ‘school of life’, pasti banyak pengalaman yang bisa dipetik dari setiap momen yang kita, terutama saya, hadapi. Salah satu hal yang saya pelajari adalah bagaimana mulai berteman dan mempertahankan teman.

Cheers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar