Real friends stab you from in front of – kalimat yang entah saya baca
dimana. Bisa jadi di jalan atau status salah satu teman. Tapi saya
setuju. Seorang teman – yang benar-benar teman – akan mengingatkan kita
ketika kita berjalan di jalur yang salah. Tidak peduli seberapa pahit
hal yang harus dikatakan, atau sebesar apa konsekuensi yang nantinya
akan dihadapi, seorang ‘real friend’
akan mengambil langkah itu walaupun berat. Hal yang muncul di benak saya
adalah: saya belum menjadi ‘a real friend’ untuk teman-teman saya. Saya
cenderung menghindar ketika harus mengatakan hal berat, walaupun
niatnya baik. Saya cenderung mengambil jalan aman, dengan mengatakan:
terserah, itu hidupmu, kamu sudah cukup besar. Cuma itu. Kasarnya: Itu
bukan urusan saya. Atau bisa juga artinya: saya tidak mau mencampuri
hidupmu. Saya siap mendengarkan. Hanya mendengarkan. Bila kamu meminta,
saya akan memberikan pendapat saya. Tidak lebih dari itu. Tommy Page
bilang “a shoulder to cry on.” Saya cenderung memakai alasan yang
terakhir ini.
Mencari teman sejati itu susah susah gampang.
Kalau nasib baik, dengan mudah kita dapatkan, kalau sebaliknya, yah,
pasrah. Jalani hidup tanpa bersandar pada orang lain sebenarnya tidak
ada salahnya, selama masih punya ‘The Real Guiding Star’, tapi tentu
hidup bisa lebih ringan bila kita mempunyai kawan-kawan tempat berbagi
suka apalagi duka. Bukankah kita adalah makhluk sosial dan tidak bisa
hidup sendiri? Tidakkah segelas es teh di malam hari yang dinikmati di
puncak gunung Rinjani terasa hangat bila kita membaginya bersama seorang
karib?
Kalau di flash back, entah berapa kali saya mengalami
konflik dengan teman. Ada yang kembali dan menjadi lebih dekat dari
sebelumnya, ada justru yang tadinya dekat, malah menjauh karena konflik
tersebut. Bukan perkara mudah mengelola konflik. Yah, sebenarnya mudah
saja, asal ada kemauan, meskipun sedikit. Kemauan apa? Kemauan untuk
mengakui kesalahan, kemauan untuk belajar menerima kritik, kemauan untuk
menerima kelemahan teman dan kemauan bertoleransi.
Well,
secara teori terlihat mudah. Prakteknya sangat berat. Sepertinya lebih
ringan mengangkut beras 10 kilo ke lantai dua daripada berbesar hari
mengakui kesalahan dan meminta maaf. Dan karena hidup ini adalah ‘school
of life’, pasti banyak pengalaman yang bisa dipetik dari setiap momen
yang kita, terutama saya, hadapi. Salah satu hal yang saya pelajari
adalah bagaimana mulai berteman dan mempertahankan teman.
Cheers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar