Kopi darat. Istilah ini awalnya dipakai oleh pemakai radio amatir.
Maksudnya ya bertemu dengan orang yang awalnya cuma didengar suaranya
melalui radio. Kalau zaman internet sekarang, kopi darat lebih sering
berarti bertemu dengan seseorang yang kita temui di dunia maya.
Kebanyakan yang ditemui melalui situs pertemanan atau chatting.
Sekali saya kopi darat, tapi
setelah itu tidak lagi. Itupun iseng. Lebih sering menemani teman yang
kopi darat karena pasti ditraktir makan. Saya asik makan, teman saya
asik ngobrol atau malah asik bingung cari topik yang tepat untuk
dibicarakan. Tapi kalau lihat dari pengalaman teman saya tersebut sih,
dia lebih banyak bingungnya. Saya? Kenyang…..
Entah berapa kali
saya menemani teman saya tersebut untuk kopi darat. Mungkin nyaris
sepuluh kali. Sepuluh-sepuluhnya meleset alias tidak berlanjut menjadi
hubungan serius seperti yang dia harapkan. Jangankan hubungan serius,
berteman pun tidak. Alasannya banyak. Tapi secara umum karena apa yang
digambarkan melalui dunia maya jauh berbeda dengan aslinya (saya bukan
membicarakan tentang performa fisik).
Ketika mengobrol di
dunia maya, semua terasa lancar, seolah-olah sudah kenal baik, atau
begitu perhatian. Tapi ketika ditemui? Ada saja komplain dari teman
saya, entah orangnya terlalu pendiam, atau terlalu possesif, atau ga
nyambung ketika diajak bicara. Itu hak dia. Saya angkat tangan. Lah
gimana saya bisa mengiyakan atau memberi penilaian, kan saya asik makan?
Tapi ada saat saya memberi komentar. Cuma sekali, itupun karena
perbedaannya terlihat sekali.
Sekali itu teman saya dengan
heboh mengatakan akan bertemu dengan seorang laki-laki yang begitu baik
dan berumur hanya tiga tahun lebih tua darinya. Namun ketika ditemui?
Ternyata seorang laki-laki yang jauh lebih dewasa daripada teman saya
dan berstatus single parent. Ha??? Untuk umur pun dia menipu, siapa yang
bisa menjamin kalau dia benar-benar single?
Itulah dunia
maya. Serba abstrak. Kabur. Kadang ngaco. Kadang lebay. Kadang meleset.
Kadang tepat. Untung-untungan. Nah, itulah mengapa saya tidak tertarik
memberikan, minimal nomor telepon kepada orang-orang yang saya temui di
dunia maya. Karena serba unpredictable. Kudu siap dengan kejutan yang
timbul. Saya bermain aman. Berteman dengan orang yang bisa diajak
bertatap muka langsung. Tapi itu dulu. Waktu masih di Jakarta, dimana
orang dengan mudah ditemui. Tapi saya di kampung orang sekarang yang
kondisinya jauh berbeda. Dimana saya tidak mempunyai teman yang bisa
mengenalkan saya ketemannya yang lain, yang bisa membantu saya
memperluas pergaulan.
Hari kerja saya hampir sama dengan orang
yang bekerja kantoran. Hari Sabtu bekerja setengah hari. Hari minggu
libur. Dua minggu sebelumnya saya mengunjungi seorang teman asal
Indonesia yang tinggal sekitar tiga jam dari tempat host family saya.
Minggu setelahnya saya sibuk memutar otak mencari cara untuk keluar
seharian, mencari tempat yang bisa dituju. Di kepala saya terbayang mall
yang dikunjungi sebelumnya, dimana saya melihat orang-orang dari latar
belakang yang berbeda. Itu tujuan awal saya. Tapi saya urungkan.
Akhirnya saya hanya mengunjungi walmart yang tidak jauh dari sini,
membeli oreo, keripik kentang, dan….. kuaci!!!! Mereka akan jadi teman
baik saya sebelum saya menemukan teman yang benar-benar bisa diajak
berbicara. Seorang teman chatting berkomentar bahwa saya akan gemuk bila
mengkonsumsi itu. Saya hanya memutar bola mata saya. Untung dia tidak
melihat dan merasakan frustasinya saya membaca komentarnya.
Perbedaan dulu dengan sekarang.
Dulu:
- Ketika ditanya “rumahnya dimana?” paling jauh saya katakan, “dekat Ragunan.” Titik. Tidak akan ada alamat terperinci.
- Ketika diminta nomor telepon, pasti saya diamkan. Dibilang sombong
pun tidak peduli. Jujur, saya terlalu waspada (baca: takut).
- Ketika ditanya PIN BB pasti saya jawab, “kere, ga pake bebe.” Amin.
- Ketika ditanya, “boleh kenalan ga?” Jawaban saya lurus, “boleh.” Orang tersebut langsung ilfil. Pasti.
Itu dulu, ketika saya dikelilingi teman-teman
Tapi sekarang apapun saya lakukan untuk mendapatkan teman. Saya suka
menyendiri, tapi tidak terbiasa sendiri. Hal pertama yang saya lakukan
adalah googling mencari komunitas orang Indonesia disini. Tidak
ditemukan.
Sebelum kesini, seorang teman mengingatkan untuk
tidak terlalu bergabung dengan komunitas Indonesia demi meningkatkan
kemampuan bahasa asing. Saya harus katakan tidak terhadap ide itu
sekarang.
Komunitas tidak terdeteksi. Tidak hilang akal, saya
bergabung di dating sites! Mencari satu persatu orang-orang dengan wajah
atau nama asia tenggara yang tinggal di negara ini, syukur-syukur di
kota yang sama. Laki-laki dan perempuan. Tabrak semua. Hasilnya? dari
sekitar 10 orang yang saya kirimi surat, yang benar-benar tinggal disini
hanya dua orang: satu orang Indonesia di Toronto, sekitar empat jam
jalan darat, satu jam bila naik pesawat. Dengan cuek saya katakan pada
teman baru saya yang di Toronto kalau saya baru tinggal disini dan butuh
teman, saya pun dengan santai mengirim sms, “mau ya jadi teman saya?”
Duh, kasihan ga sih???
Yang kedua adalah seorang teman yang
belakangan saya tahu berasal dari Afghanistan. Dalam profilnya ditulis
bahwa dia baru di Ottawa. Idem. Akhirnya…. Pikir saya, ada juga. Ditulis
juga dia butuh teman. Bernapas lebih lega. Saya juga butuh!!! Akhirnya,
dengan senang hati, saya tulis bahwa saya juga baru di kota ini dan
saya pun butuh teman. Dengan memelas saya katakan, “would you be my
friend?” gayung bersambut. Dia bertanya nomor telepon saya. Tidak perlu
berpikir dua kali atau mempertahankan rasa parno, nomor telepon langsung
saya berikan, dan ditelepon hari itu juga.
Satu kelegaan
tersendiri ketika kita merasa kita tidak sendiri. Sampai sini saya
mendapat pelajaran baru: lebih menyayangi teman-teman yang ada di depan
mata dan buka kesempatan berteman.
I love you full, my friends…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar