Minggu, 29 Juli 2012

Arti Kehadiran Teman III

Kopi darat. Istilah ini awalnya dipakai oleh pemakai radio amatir. Maksudnya ya bertemu dengan orang yang awalnya cuma didengar suaranya melalui radio. Kalau zaman internet sekarang, kopi darat lebih sering berarti bertemu dengan seseorang yang kita temui di dunia maya. Kebanyakan yang ditemui melalui situs pertemanan atau chatting.

Sekali saya kopi darat, tapi setelah itu tidak lagi. Itupun iseng. Lebih sering menemani teman yang kopi darat karena pasti ditraktir makan. Saya asik makan, teman saya asik ngobrol atau malah asik bingung cari topik yang tepat untuk dibicarakan. Tapi kalau lihat dari pengalaman teman saya tersebut sih, dia lebih banyak bingungnya. Saya? Kenyang…..

Entah berapa kali saya menemani teman saya tersebut untuk kopi darat. Mungkin nyaris sepuluh kali. Sepuluh-sepuluhnya meleset alias tidak berlanjut menjadi hubungan serius seperti yang dia harapkan. Jangankan hubungan serius, berteman pun tidak. Alasannya banyak. Tapi secara umum karena apa yang digambarkan melalui dunia maya jauh berbeda dengan aslinya (saya bukan membicarakan tentang performa fisik).

Ketika mengobrol di dunia maya, semua terasa lancar, seolah-olah sudah kenal baik, atau begitu perhatian. Tapi ketika ditemui? Ada saja komplain dari teman saya, entah orangnya terlalu pendiam, atau terlalu possesif, atau ga nyambung ketika diajak bicara. Itu hak dia. Saya angkat tangan. Lah gimana saya bisa mengiyakan atau memberi penilaian, kan saya asik makan? Tapi ada saat saya memberi komentar. Cuma sekali, itupun karena perbedaannya terlihat sekali.

Sekali itu teman saya dengan heboh mengatakan akan bertemu dengan seorang laki-laki yang begitu baik dan berumur hanya tiga tahun lebih tua darinya. Namun ketika ditemui? Ternyata seorang laki-laki yang jauh lebih dewasa daripada teman saya dan berstatus single parent. Ha??? Untuk umur pun dia menipu, siapa yang bisa menjamin kalau dia benar-benar single?

Itulah dunia maya. Serba abstrak. Kabur. Kadang ngaco. Kadang lebay. Kadang meleset. Kadang tepat. Untung-untungan. Nah, itulah mengapa saya tidak tertarik memberikan, minimal nomor telepon kepada orang-orang yang saya temui di dunia maya. Karena serba unpredictable. Kudu siap dengan kejutan yang timbul. Saya bermain aman. Berteman dengan orang yang bisa diajak bertatap muka langsung. Tapi itu dulu. Waktu masih di Jakarta, dimana orang dengan mudah ditemui. Tapi saya di kampung orang sekarang yang kondisinya jauh berbeda. Dimana saya tidak mempunyai teman yang bisa mengenalkan saya ketemannya yang lain, yang bisa membantu saya memperluas pergaulan.

Hari kerja saya hampir sama dengan orang yang bekerja kantoran. Hari Sabtu bekerja setengah hari. Hari minggu libur. Dua minggu sebelumnya saya mengunjungi seorang teman asal Indonesia yang tinggal sekitar tiga jam dari tempat host family saya. Minggu setelahnya saya sibuk memutar otak mencari cara untuk keluar seharian, mencari tempat yang bisa dituju. Di kepala saya terbayang mall yang dikunjungi sebelumnya, dimana saya melihat orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Itu tujuan awal saya. Tapi saya urungkan. Akhirnya saya hanya mengunjungi walmart yang tidak jauh dari sini, membeli oreo, keripik kentang, dan….. kuaci!!!! Mereka akan jadi teman baik saya sebelum saya menemukan teman yang benar-benar bisa diajak berbicara. Seorang teman chatting berkomentar bahwa saya akan gemuk bila mengkonsumsi itu. Saya hanya memutar bola mata saya. Untung dia tidak melihat dan merasakan frustasinya saya membaca komentarnya.

Perbedaan dulu dengan sekarang.
Dulu:
- Ketika ditanya “rumahnya dimana?” paling jauh saya katakan, “dekat Ragunan.” Titik. Tidak akan ada alamat terperinci.
- Ketika diminta nomor telepon, pasti saya diamkan. Dibilang sombong pun tidak peduli. Jujur, saya terlalu waspada (baca: takut).
- Ketika ditanya PIN BB pasti saya jawab, “kere, ga pake bebe.” Amin.
- Ketika ditanya, “boleh kenalan ga?” Jawaban saya lurus, “boleh.” Orang tersebut langsung ilfil. Pasti.

Itu dulu, ketika saya dikelilingi teman-teman

Tapi sekarang apapun saya lakukan untuk mendapatkan teman. Saya suka menyendiri, tapi tidak terbiasa sendiri. Hal pertama yang saya lakukan adalah googling mencari komunitas orang Indonesia disini. Tidak ditemukan.

Sebelum kesini, seorang teman mengingatkan untuk tidak terlalu bergabung dengan komunitas Indonesia demi meningkatkan kemampuan bahasa asing. Saya harus katakan tidak terhadap ide itu sekarang.

Komunitas tidak terdeteksi. Tidak hilang akal, saya bergabung di dating sites! Mencari satu persatu orang-orang dengan wajah atau nama asia tenggara yang tinggal di negara ini, syukur-syukur di kota yang sama. Laki-laki dan perempuan. Tabrak semua. Hasilnya? dari sekitar 10 orang yang saya kirimi surat, yang benar-benar tinggal disini hanya dua orang: satu orang Indonesia di Toronto, sekitar empat jam jalan darat, satu jam bila naik pesawat. Dengan cuek saya katakan pada teman baru saya yang di Toronto kalau saya baru tinggal disini dan butuh teman, saya pun dengan santai mengirim sms, “mau ya jadi teman saya?” Duh, kasihan ga sih???

Yang kedua adalah seorang teman yang belakangan saya tahu berasal dari Afghanistan. Dalam profilnya ditulis bahwa dia baru di Ottawa. Idem. Akhirnya…. Pikir saya, ada juga. Ditulis juga dia butuh teman. Bernapas lebih lega. Saya juga butuh!!! Akhirnya, dengan senang hati, saya tulis bahwa saya juga baru di kota ini dan saya pun butuh teman. Dengan memelas saya katakan, “would you be my friend?” gayung bersambut. Dia bertanya nomor telepon saya. Tidak perlu berpikir dua kali atau mempertahankan rasa parno, nomor telepon langsung saya berikan, dan ditelepon hari itu juga.

Satu kelegaan tersendiri ketika kita merasa kita tidak sendiri. Sampai sini saya mendapat pelajaran baru: lebih menyayangi teman-teman yang ada di depan mata dan buka kesempatan berteman.

I love you full, my friends…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar