Minggu, 29 Juli 2012

Being Open Minded? Why not? But...

Setelah beberapa lama searching di Internet orang-orang berwajah dan bernama asia tenggara di sekitar Ottawa, akhirnya saya putuskan untuk mengirim pesan kepada mereka. Perempuan dan laki-laki, saya tidak peduli. Surat singkat saya hanya, “hello, Im Iyek, Indonesian. May I know where are you from? Thank you, have a nice day.” banyak dari mereka menjawab, tapi lebih banyak laki-laki. Yang perempuan hanya dua orang. Yang pertama ternyata orang Iran, yang kedua ada, yang menjawab dengan menggunakan Bahasa Indonesia, berada di Bahrain. Kening saya berkerut membaca balasan surat dari perempuan itu, “kenapa di profilnya ditulis lokasinya ada di Ottawa kalau ternyata dia ada di tempat lain?” tapi itulah internet. Suka-suka kita saja mau menulis apa.

Akhirnya saya dapatkan juga seorang teman sesama Indonesia, orang Surabaya tepatnya, berada di Toronto, sekitar 1 jam dari sini bila menggunakan pesawat, harga tiketnya 200 CAD sekali jalan atau sekitar 1,8 juta dengan kurs 9.000. Kalau jalan darat sekitar 4,4 jam. Kalau booking tiket jauh-jauh hari, tiket bolak-baliknya seharga 125 CAD. On the spot harganya 70 CAD, atau sekitar enam ratus ribuan sekali jalan.

Senang. Itu yang saya rasakan ketika akhirnya mendapat teman baru. setelah nomor teleponnya ada di tangan, segera saya kontak teman saya tersebut. Dia katakan bahwa dia sudah sekitar empat tahun di sini tapi tiap musim dingin, dia pasti minta pulang ke kampungnya di Surabaya karena, “saya benci salju,” katanya.

Ketika saya menceritakan hal itu pada host fam saya, mereka katakan, “all of us hate snow!” saya hanya tertawa. Well, saya kemungkinan besar akan masuk ke klub pembenci salju, karena cuaca 14 derajat saja bisa membuat saya mengutuki dingin yang membuat gigi saya bergemeretak, apalagi mereka katakan ketika salju cuacanya bisa minus 10 derajat. Kalau terlalu dingin, tempat pelarian saya adalah kamar mandi, gunakan heater, dan biarkan air hangat melelehkan emosi, walau kalau sudah keluar dari pancuran terasa lebih dingin. Yah, minimal merasakan kehangatan dunia walau sebentar.

Kenalan dari kawan saya yang seorang Caucasian mengatakan bahwa dia juga tidak suka salju, tapi membayangkan Natal tanpa salju, pasti ada yang hilang, katanya. Yah, saya setuju lah. Mungkin sama seperti kita yang merayakan Lebaran tanpa ketupat sayur.

Hanya satu orang teman asal Indonesia yang saya dapat. Dan saya sudah sangat bersyukur karena saya dapat informasi banyak darinya tentang kehidupan di sini. Kenalan lain lebih banyak yang dari asia selatan dan asia barat. Aturan yang saya buat ketika di Jakarta tentang “JANGAN pernah memberikan nomor telepon kepada orang yang di dapat dari internet” saya langgar. Urgent! Saya butuh teman. Akhirnya, lima nomor telepon kenalan baru yang bukan berasal dari Indonesia saya dapatkan. Empat orang sama-sama di Ottawa, satu orang di Toronto, tempat yang sama dengan teman sesama Indonesia.

Minggu pagi jam 7 saya sudah meninggalkan rumah host fam untuk bertemu kenalan baru saya di downtown, sasaran saya, karena downtown banyak orang dan saya merasa aman bila bertemu di tempat umum karena bagaimana pun ini bukan negara saya dan dia pun bukan sebangsa saya yang sudah saya kenal kurang lebih sifat-sifatnya. Waspadalah!!! pesan dari Bang Napi.

Saya hanya beberapa kali berkirim pesan dan hanya dua kali bertemu. Mungkin ga nyambung, jadi dia hilang begitu saja, dan saya pun tidak begitu peduli, walau sedikit heran. Apa saya melakukan hal yang salah? Pikir saya saat itu.

Kenalan yang kedua berasal dari asia selatan juga. Kami bertemu sekali, itupun saya bohong pada host fam saya. Saya katakan saya hendak membeli cabe segar di supermarket dekat sana. Keluarga itu tahu kalau saya makan roti bakar ataupun nasi pasti dengan cabe. Jawaban saya ketika mereka tanyakan hal tersebut adalah, “chilli is my appetizer.’

Kenapa saya bohong? Karena kalau saya jujur, pasti saya tidak diizinkan. Saya mengerti alasannya. Mereka bertanggung jawab penuh terhadap hidup dan keselamatan saya di sini. Apalagi kalau mereka tahu kenalan itu saya kenal dari internet, pasti NO besar akan saya dapatkan. Tapi memang dasar kepala batu, akhirnya saya berbohong karena toh saya bertemu di tempat umum, di sebuah mall besar, bukan di kuburan atau toilet umum dan lagi, kemungkinan orang itu baik atau jahat masih 50-50. Kalau baik, tetap berteman, kalau jahat, ya cukup sekali bertemu. Titik.

Sampai sekarang kami tetap berkomunikasi, walau hanya sekadar menyapa lewat profil masing-masing atau via messanger. Dan walaupun orang itu 15 tahun lebih tua dari saya, it’s okay, kita bisa berteman dengan siapa saja, apalagi saya baru di sini dan butuh orang yang mengenal daerah sini agar bisa mengantar saya dan menjelaskan hal-hal yang ada di sekitar sini (tetep, asas manfaat!)

Kenalan lain bernama Mark, katanya orang asli sini, berada di Toronto. Rajin menyapa lewat sms, seperti “good morning” atau kalau sudah sore “how was your day?” tapi jarang saya balas, karena harga pulsa di sini mahal (ngirit adalah hal nomor dua yang di pikiran saya selain asas manfaat). Tapi bukan berarti saya tidak pernah menelepon kenalan-kenalan saya. Kalau telepon, saya tidak masalah. Kok bisa? Yang bisa dong, kan kalo telepon gratis, tapi telepon via internet, karena dibuatkan account di internet oleh keluarga disini (aturan ketiga: usahakan cari yang gratisan).

Saya katakan pada Mark bahwa kemungkinan bila saya ke Toronto untuk bertemu teman sesama Indonesia, pasti saya memberitahu dia dan bisa bertemu, bersama kawan saya sesama Indonesia, tentu saja. Sekali lagi: WASPADA!

Kenalan lain, saya hanya tau lewat telepon. Sekali dia menelepon dan kami mengobrol cukup lama, dia katakan bahwa saya bisa menghubungi dia ketika saya butuh sesuatu. “Thanks a lot,” hanya itu yang bisa saya katakan. “No problem,” jawabnya. Ok, saya simpan nomornya. Tidak saya buang seperti kenalan pertama saya. Kemungkinan dia 50% baik. Kita tidak akan pernah tahu bila kita tidak mencobanya, pikir saya selalu, tapi waspada juga tetap jalan.

Beberapa hari lalu, ada sebuah nomor panggilan tak terjawab, dan sebuah sms berbunyi “hi Sarah :)” hanya itu. Tanpa nama pengirim. Tidak saya balas. Esoknya saya menerima pesan lewat profil saya “hey, why you didn’t answer my phone call?” Jawab saya, “oh, that’s you? I am sorry, I was working.”

Sebenarnya saya tidak sedang bekerja, tapi telepon yang saat itu berada tepat di sebelah saya, hanya berdering kurang dari lima detik, lalu mati. Itu artinya orang tersebut hanya berniat miscall. Demi menjaga perasaan kenalan yang belum saya kenal tersebut, saya katakan white lie.

Setelah intens mengirim sms selama beberapa hari, orang tersebut mengajak bertemu. Saya tidak bermasalah. Asalkan di tempat umum. Dan disepakati, di downtown (tetep!). Belakangan saya tahu kalau dia pernah tinggal di Malaysia selama tujuh tahun, jadilah saya lebih banyak bercakap dalam bahasa Indonesia bila dia menelepon ketika saya masih di dalam rumah, tapi ketika di luar rumah, dimana saya yakin tidak ada yang mendengar, barulah saya menggunakan bahasa Inggris, karena jujur, sulit saya memahami bahasa Melayu yang dikatakannya. Serumpun bahasa tapi tak sama, Jek!

Setelah waktu dan tempat pertemuan fixed, sms selanjutnya adalah, “im an open minded person. Are you?” Jawab saya, “I don’t know. I will let my friends asses me.” Pesan text dia selanjutnya, “ok then, we can go to downtown after you come to my place.” Saya menatap ponsel saya heran, saya putuskan untuk menelponnya.

Saya katakan saya tidak berkeberatan ketempatnya asalkan dia atau saya membawa seorang teman lagi. Penolakan yang saya dapat. Tidak masalah. Tidak jadi bertemu pun tidak masalah bagi saya, putus saya. Demi menghindari salah paham, saya coba jelaskan bahwa saya tidak akan merasa nyaman berdua dengan dia dalam satu tempat walaupun dia mencoba meyakinkan saya bahwa dia adalah orang yang “open minded.”

Saya mengolah sebentar istilah tersebut sebelum saya menjawab, “Yea, I am open minded, I can mingle and accept other people that come from different cultures, without losing my identity.” Tapi sekali lagi, demi menghindari salah paham, saya putuskan meminta penjelasan. “What do you mean by open minded?” dan jawabannya jauh dari definisi yang saya pahami.

“Open minded means we work together, we eat together, and we sleep together,” jawabnya. GUBRAK!!!!!

Itu adalah komunikasi terakhir dengan kenalan saya tersebut. Saya selalu tertawa tiap kali mengingat 'kesalahpahaman' itu. Hari itu saya mendapat pelajaran hidup yang berharga lagi dan pertanyaan kenapa kenalan pertama saya memutuskan komunikasi terjawab sudah oleh definisi tersebut: saya tidak “open minded”.

Semoga harinya menyenangkan yaa... sukses untuk semua...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar