Minggu, 29 Juli 2012

Berawal Tanpa Sengaja

Jalan-jalan atau berkunjung ke negeri orang atau bekerja ke negeri orang mungkin keinginan banyak orang, saya salah satunya, dan alhamdulillah keinginan saya terwujud beberapa hari menjelang ulang tahun ke- 30.

Ceritanya dulu, sebelum lulus dari akademi, pernah iseng bilang ke mama, "ma, iye mau kerja di luar negeri." Kejadian itu terjadi ketika saya berumur awal 20-an. Waktu itu ga terpikir bekerja dalam bidang apa, hanya tertarik untuk menjelajah negeri orang sambil bekerja.

Tiap hal yang kita inginkan pasti didengar oleh- Nya, entah disimpan untuk dikabulkan kemudian atau diberikan hal lain yang lebih baik. Hak prerogativ- Nya.

Nah, kembali ke laptop.
Lepas dari akademi, saya tidak tertarik untuk bekerja dalam bidang yang sesuai dengan background saya. Tanya kenapa? Yah, alasan klise: karena jurusan itu adalah keinginan orang tua. Saya tidak menyesali (dulu iya sih, sebenarnya).

Bekerja sekitar 2 tahun dengan mengandalkan ijazah tersebut - walaupun berulang kali ganti tempat kerja (paling lama sembilan bulan di satu tempat kerja), akhirnya, ketika bekerja di sebuah hotel di bilangan Sudirman, saya memutuskan mengambil kuliah jurusan Bahasa Inggris - itu niat awalnya sebenarnya karena banyaknya tamu asing yang mengharuskan saya berkomunikasi dengan bahasa Inggris - bahasa terumum, akhirnya justru saya sangat menikmati belajar bahasa Inggris. Tadinya hanya niat mengambil D1, tapi karena suka, ya lanjut S1 Sastra Inggris.

Semester ke-4, saya chao lagi dari hotel ketika masa kerja saya baru menginjak sembilan bulan, selain karena alasan pulangnya selalu tengah malam - ini karena saya mengambil shift sore, jam kerjanya pukul 15.00 - 23.00, karena paginya saya kuliah, juga karena suasana di hotel sudah ga kondusif lagi, gesekan antar partner jadi alasan kedua terbesar. Saya mundur.

Mundur dari hotel, padahal saya harus membayar kuliah sendiri yang saat itu baru masuk semester ke-4, saya iseng menjawab tantangan teman untuk bekerja di sebuah lembaga kursus besar di Sunter, Jakarta Utara. Tes tulis, aman. Psikotes, lewat. Micro teaching? haaaa..... ini butuh dikasihani biar bisa lulus. Serius!

Nah, ceritanya itu, Sang Manager HRD, Bp. Marion memberitahu saya bahwa micro teaching saya anjlok sekitar 3 kilo dibawah laut. Setuju! Lha, wong bahasa Inggris saya saat itu hanya oke, ehm, ralat, LUMAYAN oke, di atas kertas. Di percakapan? super memalukan. Nah, sang koordinator guru, Ko Jekvent, meminta saya menjelaskan pelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris. Setelah menelan ludah dan garuk-garuk kepala yang ga gatal, saya mulai lah show memalukan itu. Responnya? Kerenyit dahi. Bisa ditebak artinya apa: dia ga ngerti sama sekali hal yang saya katakan. Lalu, dengan nada putus asa dia bilang, "pake bahasa Indonesia aja deh."

Saya diminta menjelaskan present tense dan past tense dalam satu waktu. Itu papan tulis putih, habis saya tulisi. Isinya? hoah... saya sendiri ga paham apa yang saya tulis.

Nah, sekarang semoga jelas apa yang saya maksud dengan "lulus dengan belas kasihan."

Yah, sebenarnya sih ga separah itu - membela diri - Pak Marion dengan bijak mengatakan, "Sarah nilai micro teachingnya ga memuaskan, tapi kami tidak menilai seseorang hanya dengan satu aspek. Nilai tes tulis Sarah cukup bagus, jadi Saya mengambil keputusan untuk menerima Sarah. Training akan disediakan oleh Mr. Jekvent 30 menit sebelum atau sesudah mengajar tiap harinya. Kita bisa tes lagi micro teachingnya tiga bulan ke depan." Saya belajar dari hal ini: mencoba menilai seseorang secara utuh dan berkompromi untuk hasil yang, insha Allah, baik untuk kedepannya.

Akhirnya, setelah sekitar sebulan jadi pengangguran, saya bekerja kembali, kali ini dengan hal yang sangat berbeda. Tapi ada satu hal yang sama: saya tetap pulang malam, nyaris tengah malam. Pagi hari saya kuliah, dari tempat kuliah di Jatinegara, saya langsung chao ke Sunter, untuk mengajar mulai pukul 13.30-21.00. Kediaman orang tua saya di lenteng agung. Nah, dari ujung ke ujung kan? Tapi saya jalani. Enjoy aja, kalau kata iklan.

Orang tua, terutama bapak, akhirnya mengambil keputusan untuk memindahkan kuliah saya ke FKIP B. Inggris - tanggung, katanya, kalau mau jadi guru, kudu punya sertifikat ngajar alias Akta 4 (sampai sekarang saya ga tau kenapa disebut Akta 4, apa yang terjadi kalau diganti jadi Akta 10, misalnya?) Nah, angkat koper deh dari jatinegara ke Ahmad Dahlan. Sistem konversi, lulus dua tahun kemudian.

Pindah kuliah, otomatis pindah tempat kerja. Akhirnya, setelah sembilan bulan kerja di Sunter, dengan berat hati saya mengajukan pengunduran diri. Banyak alasan, selain karena destinasi makkkiiinnnnn dari ujung ke ujung, yang mengambil sistem konversi biasanya punya jadwal yang acak kadul. Bukan karena kita not well-managed, tapi karena dosen yang harus kita kejar. Kadang kalau dosen ga bisa masuk sesuai jadwal, mereka kadang minta waktu lain. Sesuai kesepakatan. Entah kesepakatan siapa, tapi ada jokes yang mengatakan kalau atau ada 2 Pasal yang ga bisa dilanggar di kampus:
Pasal I: Dosen selalu benar.
Pasal II: Kalau ada hal-hal yang terjadi, kembali ke pasal I.
Amin.

Kesepakatan "bersama".

Ketika bekerja di sSunter itu ga boleh freelance, kudu permanent, nah, sebenarnya Pak Marion membuat pengecualian untuk saya, saya boleh jadi freelance, tapi setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk jarak, kesehatan, keuangan, akhirnya dengan berat hati, saya mundur.

Tadinya saya pikir dengan kuliah setiap hari, otomatis saya bisa lancar berbahasa yang diklaim digunakan oleh sekitar satu milyar orang, tapi saya salah besssaaaarrrrrrr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar