Minggu, 29 Juli 2012

Cita-Cita (yang ga) Penting: Backpacker (Toronto II)

Masa-masa kuliah kadang menyenangkan, kadang tidak. Alasan kenapa tidak menyenangkan salah satunya bisa karena dosen berhalangan hadir lalu mahasiswa (seperti saya) merasa sia-sia datang ke kampus. Mending kalau mata kuliahnya minimal empat sehari. Kadang mata kuliah sehari cuma satu atau dua. Parahnya, mata kuliah awal pada jam 8 atau 9 pagi, dan yang kedua siang atau sore nanti. Buang-buang waktu macam itu membuat badan pegal, karena sudah dengan semangat seadanya untuk bangun di pagi hari, buru-buru ke kampus, dan mendapatkan berita peng-cancel-an jadwal. Tapi sebenarnya serba salah juga. Kadang dosennya ada, mahasiswanya menggerutu, dosen tidak masuk, mahasiswa juga menggerutu. Yah, itulah manusia. Bikin bingung.

Salah satu hiburan pembunuh waktu selain ngobrol ngalor ngidul dengan teman, atau tidur di masjid adalah memelototi computer yang terhubung dengan internet. Padahal ga ada yang penting juga. Yah, adalah beberapa hal yang penting yang perlu ditanyakan ke Mbah, tapi biasanya cuma googling sebentar, copied ke word, saved dan that’s it. Baca hasil googling urusan belakangan, toh ga ada tanggal kadaluarsanya itu copyan. Yang paling paling paling sering dibuka mahasiswa paling-paling fesbuk.

Sewaktu masih di bangku kuliah saya membuat account fb, tapi dibukanya hanya sekali dua kali dalam beberapa bulan. Tidak ada alasan lain membuat account tersebut selain karena penasaran. Jadilah account tersebut di nonaktifkan. Saya jarang buat status, status terakhir dengan account yang lama adalah: I feel like I wanna exile myself.

Deactivated.

Sedikit terdengar lebay, tapi memang saat itu, itulah yang benar-benar dirasakan. Mau pergi kemana gitu, cari tempat buat mengasingkan diri dari hingar bingar dunia gemerlap (hello… siapa kamu???). Itulah saat pertama berpikir ingin menjadi seorang backpacker.

Saat itu sadar belum mampu untuk menjadi backpacker. Banyak hal, antara lain karena kuliah sekalian kerja juga belum tahu komunitasnya. Berpergian sendiri alamat ga mungkin, karena saya sadari dari awal, kemampuan spatial saya ala kadarnya. Sempat juga membicarakan hal ini dengan seorang kawan yang saya panggil Uni Desy. Dia pun merasakan hal yang sama, ada saatnya ingin keluar dari rutinitas dan menjalani hal yang benar-benar baru. Tapi kendala yang dia punya lebih besar dari yang saya hadapi, karena dia sudah menjadi seorang ibu. Sulit dibayangkan seorang ibu menjadi backpacker sementara anaknya menghadapi buku pelajaran dan Iqro hampir setiap harinya :)

Mimpi itu tersimpan di alam bawah sadar, tersimpan di angan-angan paling tinggi, dan yang tertinggi adalah, tersimpan dalam catatan-Nya. Entah itu terkabul atau tidak, yang pasti Dia berjanji akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.

Kawan saya yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri itu pasti mendapatkan hal yang lebih baik daripada menjadi seorang backpacker. Well, mungkin belum sekarang, tapi Dia pasti menuntun hamba-hamba-Nya untuk mendapatkan hal yang terbaik. Selalu. Sementara saya? Belum menjadi real backpacker, tapi setidaknya pernah merasakan. Walaupun tidak 100% ala backpacker.

Mas Wikipedia menjelaskan backpacker sebagai orang yang berpergian di dalam maupun ke luar negeri hanya dengan membawa ransel, pakaian secukupnya, dan barang lain yang dianggap perlu. Menginap pun tidak di hotel, paling ke motel atau hostel. Liburan prihatin.

Ketika memutuskan untuk pergi ke Toronto, motel jadi sasaran awal saya. Cek ricek di Mbah, biaya permalam berkisar antara 45an sampai 100. Banyak yang menawarkan dikisaran harga 50an. Saya menimbang-nimbang sebentar, lalu mencari lagi yang lebih murah, jadilah hostel. Harganya sekitar 15-40an permalam. Fasilitasnya kalau yang paling murah disebutkan tidak mendapat linen (terus?? Maksudnya suruh bawa sendiri?). Satu tempat tidur bisa berdua, atau satu kamar bisa isinya berempat dan kamar mandi berbagi dengan penghuni lain. Internet rata-rata tersedia, walaupun dibeberapa review orang yang pernah memakai hostel, internetnya lambat. Yah, apa mau dikata. Kalau mau yang asoy, ya ke hotel yang pasti jauh lebih mahal. Untuk harga tertinggi di hostel, bisa mendapat kamar sendiri dan kamar mandi di dalam. Nyaris seperti motel, tapi dengan harga yang lebih rendah.

Sempat membidik beberapa hostel, walaupun ternyata jadinya nebeng di tempat teman untuk dua malam. Imbalannya hanya sekotak anggur dan bertukar cerita tentang banyak hal, salah satunya tentang makanan dan menu orang Indonesia yang didominasi oleh nasi. Sarapan: nasi. Makan siang: nasi. Makan malam: nasi. Dia berujar, “gosh… I will not marry Indonesian.” Saya hanya nyengir melihat roti yang dihidangankan di depan saya. Sarapan: roti. Makan siang: roti. Makan malam: roti. Saya berujar, dalam hati tentunya, “kami pun akan sedih bila makan roti terus menerus.”

Pakaian yang saya bawa pun seadanya. Yang pasti, celana jeans saya pakai selama dua malam tiga hari itu. Ga ganti, ga masalah. Hati toh tetap gembira dan puas, selain karena menjelajah daerah baru (plus nyasarnya) kesampain juga menjadi seorang backpacker selama sekian jam. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir tujuan selanjutnya.

Montreal.

Sukses untuk semua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar