Masa-masa kuliah kadang menyenangkan, kadang tidak. Alasan kenapa tidak
menyenangkan salah satunya bisa karena dosen berhalangan hadir lalu
mahasiswa (seperti saya) merasa sia-sia datang ke kampus. Mending kalau
mata kuliahnya minimal empat sehari. Kadang mata kuliah sehari cuma satu
atau dua. Parahnya, mata kuliah awal pada jam 8 atau
9 pagi, dan yang kedua siang atau sore nanti. Buang-buang waktu macam
itu membuat badan pegal, karena sudah dengan semangat seadanya untuk
bangun di pagi hari, buru-buru ke kampus, dan mendapatkan berita
peng-cancel-an jadwal. Tapi sebenarnya serba salah juga. Kadang dosennya
ada, mahasiswanya menggerutu, dosen tidak masuk, mahasiswa juga
menggerutu. Yah, itulah manusia. Bikin bingung.
Salah satu
hiburan pembunuh waktu selain ngobrol ngalor ngidul dengan teman, atau
tidur di masjid adalah memelototi computer yang terhubung dengan
internet. Padahal ga ada yang penting juga. Yah, adalah beberapa hal
yang penting yang perlu ditanyakan ke Mbah, tapi biasanya cuma googling
sebentar, copied ke word, saved dan that’s it. Baca hasil googling
urusan belakangan, toh ga ada tanggal kadaluarsanya itu copyan. Yang
paling paling paling sering dibuka mahasiswa paling-paling fesbuk.
Sewaktu masih di bangku kuliah saya membuat account fb, tapi dibukanya
hanya sekali dua kali dalam beberapa bulan. Tidak ada alasan lain
membuat account tersebut selain karena penasaran. Jadilah account
tersebut di nonaktifkan. Saya jarang buat status, status terakhir dengan
account yang lama adalah: I feel like I wanna exile myself.
Deactivated.
Sedikit terdengar lebay, tapi memang saat itu, itulah yang benar-benar
dirasakan. Mau pergi kemana gitu, cari tempat buat mengasingkan diri
dari hingar bingar dunia gemerlap (hello… siapa kamu???). Itulah saat
pertama berpikir ingin menjadi seorang backpacker.
Saat itu
sadar belum mampu untuk menjadi backpacker. Banyak hal, antara lain
karena kuliah sekalian kerja juga belum tahu komunitasnya. Berpergian
sendiri alamat ga mungkin, karena saya sadari dari awal, kemampuan
spatial saya ala kadarnya. Sempat juga membicarakan hal ini dengan
seorang kawan yang saya panggil Uni Desy. Dia pun merasakan hal yang
sama, ada saatnya ingin keluar dari rutinitas dan menjalani hal yang
benar-benar baru. Tapi kendala yang dia punya lebih besar dari yang saya
hadapi, karena dia sudah menjadi seorang ibu. Sulit dibayangkan seorang
ibu menjadi backpacker sementara anaknya menghadapi buku pelajaran dan
Iqro hampir setiap harinya :)
Mimpi itu tersimpan di alam
bawah sadar, tersimpan di angan-angan paling tinggi, dan yang tertinggi
adalah, tersimpan dalam catatan-Nya. Entah itu terkabul atau tidak, yang
pasti Dia berjanji akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.
Kawan saya yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri itu pasti
mendapatkan hal yang lebih baik daripada menjadi seorang backpacker.
Well, mungkin belum sekarang, tapi Dia pasti menuntun hamba-hamba-Nya
untuk mendapatkan hal yang terbaik. Selalu. Sementara saya? Belum
menjadi real backpacker, tapi setidaknya pernah merasakan. Walaupun
tidak 100% ala backpacker.
Mas Wikipedia menjelaskan backpacker
sebagai orang yang berpergian di dalam maupun ke luar negeri hanya
dengan membawa ransel, pakaian secukupnya, dan barang lain yang dianggap
perlu. Menginap pun tidak di hotel, paling ke motel atau hostel.
Liburan prihatin.
Ketika memutuskan untuk pergi ke Toronto,
motel jadi sasaran awal saya. Cek ricek di Mbah, biaya permalam berkisar
antara 45an sampai 100. Banyak yang menawarkan dikisaran harga 50an.
Saya menimbang-nimbang sebentar, lalu mencari lagi yang lebih murah,
jadilah hostel. Harganya sekitar 15-40an permalam. Fasilitasnya kalau
yang paling murah disebutkan tidak mendapat linen (terus?? Maksudnya
suruh bawa sendiri?). Satu tempat tidur bisa berdua, atau satu kamar
bisa isinya berempat dan kamar mandi berbagi dengan penghuni lain.
Internet rata-rata tersedia, walaupun dibeberapa review orang yang
pernah memakai hostel, internetnya lambat. Yah, apa mau dikata. Kalau
mau yang asoy, ya ke hotel yang pasti jauh lebih mahal. Untuk harga
tertinggi di hostel, bisa mendapat kamar sendiri dan kamar mandi di
dalam. Nyaris seperti motel, tapi dengan harga yang lebih rendah.
Sempat membidik beberapa hostel, walaupun ternyata jadinya nebeng di
tempat teman untuk dua malam. Imbalannya hanya sekotak anggur dan
bertukar cerita tentang banyak hal, salah satunya tentang makanan dan
menu orang Indonesia yang didominasi oleh nasi. Sarapan: nasi. Makan
siang: nasi. Makan malam: nasi. Dia berujar, “gosh… I will not marry
Indonesian.” Saya hanya nyengir melihat roti yang dihidangankan di depan
saya. Sarapan: roti. Makan siang: roti. Makan malam: roti. Saya
berujar, dalam hati tentunya, “kami pun akan sedih bila makan roti terus
menerus.”
Pakaian yang saya bawa pun seadanya. Yang pasti,
celana jeans saya pakai selama dua malam tiga hari itu. Ga ganti, ga
masalah. Hati toh tetap gembira dan puas, selain karena menjelajah
daerah baru (plus nyasarnya) kesampain juga menjadi seorang backpacker
selama sekian jam. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir tujuan
selanjutnya.
Montreal.
Sukses untuk semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar