Minggu, 29 Juli 2012

Cultural Shock a.k.a Gegar Budaya*

Salah satu mata kuliah favorit saya ketika masih di bangku FKIP adalah CCU atau Cross Culture Understanding. Selain dosennya merupakan dosen favorit saya, Bp. Bahrul Hasibuan, juga karena mata kuliah ini mempelajari tentang budaya di negeri Paman Sam. Namun budaya yang dibahas lebih kepada pergaulan sehari-hari dan system pendidikan di sana. Sangat menarik apalagi ditambah dengan pengetahuan Bp. Bahrul tentang negara sana dan beberapa negara di Eropa, karena memang beliau pernah mendapat beasiswa di Inggris untuk S2. Membuat iri – dalam arti yang positif tentunya, sebagai motivasi.

Membandingkan sesuatu merupakan hal yang menarik, tapi bukan untuk membandingkan orang perorang. Hal yang paling menarik adalah ketika mendapatkan sebuah informasi baru yang menarik dan membuat penasaran. Sepanjang kuliah kadang saya membayangkan diri saya berada di sebuah tempat dimana saya buta akan budayanya dan segala macam. Membuat adrenalin terpacu tapi penasaran, seperti kata Bang Haji; PE NA SA RAN!

Sebelumnya pernah meminjam buku tentang Cultural Shock di perpustakaan Diknas. Kalau tidak salah ingat saya pernah meminjam buku tentang Amerika, Arab, dan satu lagi Malaysia. Saya sendiri di rumah punya sebuah buku Cultural Shock tentang Indonesia yang ditulis oleh dua orang expatriate yang telah belasan tahun tinggal di Jakarta. Buku lama, tahunnya lupa, tapi yang pasti saat itu menteri Pariwisatanya adalah Bp. Joop Ave karena beliau memberi kata pengantar di halaman awal buku. Ada yang ingat tahun berapa, selain Mbah Google?

Bukunya belum habis saya baca, tapi ada beberapa hal yang saya ingat dimana kita, sebagai orang Indonesia dikenal memang mempunyai budaya ‘Rubber Watch’alias “jam Karet.” Sang penulis menyarankan bila diundang oleh orang Indonesia, 15 menit atau 30 menit telat adalah hal yang ‘biasa.’ Jadi… forget about on time or in time.

Selain itu juga dibahas tentang adat perkawinan maupun kematian di beberapa suku di Indonesia. Yah, memang kalau membicarakan Indonesia akan lebih asyik bila persuku karena tiap suku unik dan mempunyai hal yang berbeda dengan yang lain. Indonesia adalah negara multicultural dimana kita saling melengkapi dan bertoleransi. Agak sulit diterima akal sehat bila kita membicarakan budaya yang beragam di sini dan tidak ada secercah rasa bangga terhadap hal tersebut. Tapi berhubung banyak koran nasional lebih tertarik membahas banyaknya ‘wakil rakyat’ (entah rakyat mana yang dimaksud) yang teridentifikasi melakukan korupsi, yah, kalau hal ini saya ikut merasa malu sebagai bagian dari warga negara yang bekerja untuk menggemukkan koruptor dan keluarganya. Hell is the perfect place for all the curroptors.

Angan-angan saya terjawab. Meski saya di sini bukan sebagai sebagai penerima beasiswa, tapi sebagai pekerja, setidaknya rasa penasaran yang pernah ada sedikit banyak terjawab.

Cultural shock yang pertama saya alami ketika sampai di bandara Toronto. Saat itu sekitar pukul 7 malam dan sebelum memutuskan untuk antri untuk trasit lagi, saya ke toilet. Toilet tidak ada yang kosong dan ada seorang pegawai perempuan yang sedang mengepel lantai toilet. Saya tersenyum sambil mengucap ‘hallo’ dan dijawab ramah, lalu saya berdiri di depan pintu salah satu toilet, seperti yang biasa saya lakukan di tanah air. Saya pun kena tegur, “line up over there, please.” Katanya sambil menunjuk toilet ujung. Ok, saya menurut. Memang lebih bagus begini, antri artinya ya antri.

Itu satu.

Setelah terbang lagi sekitar satu jam menuju Ottawa, saya sudah ditunggu oleh host family di bandara. Saya minta maaf karena telat. Mereka pun mengerti karena saya bukan pemegang paspor Kanada dan harus melalui imigrasi yang antriannya mengular.

Satu hal yang unik dan saya anggap blessing in disguise saat saya di bandara Toronto adalah adanya seorang ibu asal India yang menggunakan kursi roda yang mengantri di depan saya. Dia tidak mengerti Bahasa Inggris sama sekali. Ketika ditanya, dia menjawab dalam bahasa Hindi yang membuat saya menganga bingung sambil menerima sebuah surat dari ibu tersebut yang ternyata berisi nama ibu tersebut, alamat di India, alamat yang dituju di Kanada, serta penjelasan tujuan dia datang ke Kanada. Tertulis bahwa sang anak berada di distrik lain. Wow, saya takjub. Sang anak, entah disebut tega atau memang BENAR-BENAR percaya terhadap negara ini sehingga membiarkan ibunya terbang sendiri dari India menuju Kanada hanya dengan secarik kertas. Yang pasti, saya salut dengan professionalitas petugas bandara.

Kenapa saya sebut blessing in disguise? Karena saat saya sedang mengantri di imigrasi, ibu itu berada di depan saya, tak ada petugas disana. Saya bermaksud menanyakan di mana keluarganya, tapi seorang petugas imigrasi yang melihat itu bertanya apakah saya keluarga dari ibu tersebut. Saya jawab bukan. Lalu sang petugas meminta saya untuk mendorong kursi roda ibu tersebut. Saya lakukan walau dalam hati saya merasa deg deg-an, takut ketinggalan pesawat ke Ottawa mengingat pemberangkatan kurang dari satu jam lagi dan di depan saya ada sekitar 50 orang.

Antrian berjalan lambat. Tak disangka, seorang petugas imigrasi membuka batas dan meminta saya keluar dari antrian. Saya ditanya pertanyaan yang sama, apakah kami pergi berdua. Saya katakan, “no. im going to Ottawa and this lady is going to another dictric.” Saya meminta surat di tangan ibu tersebut. Beruntung, meski diminta mendorong, saya diberikan prioritas juga. Pesawat tetap ketinggalan, tapi tak apa karena saya tidak perlu membayar apapun – hal yang sebenarnya saya takutkan. Mengeluarkan uang!

Penerbangan dari Toronto ke Ottawa sekitar satu jam dengan Air Canada. Nyaman. Namun satu hal yang selalu saya lihat: layar di depan saya yang menunjukkan sisa waktu tempuh!

Ternyata saya telah ditunggu oleh host family. Kami segera ke parkir setelah saya mengambil koper saya. Saya dipersilakan duduk di depan, sebelah supir, karena sang ibu menjaga anaknya yang masih bayi di bangku belakang. Karena di Indonesia pengemudi mobil berada di sebelah kanan, maka saya dengan manis membuka pintu sebelah kiri. Sementara sang ayah, si pengemudi, berada di kanan sambil membuka pintu. Dia mengatakan, “Sarah, over here.” Dengan pelan saya melongok ke dalam. Ups, bangku pengemudi. Saya pun memutar. Di dalam mobil sang ayah berkata, “so in Indonesia the driver is on the right. Wow, the same like in England. I went studying in England. So I knew it.” Saya hanya tersenyum dan berkomentar sedikit-sedikit tentang cuaca, tentang lalu lintasnya, dan hal lainnya sebagai ice breaker.

Nah, berhubung supir berada di sebelah kiri, otomatis menunggu bis di sebelah kanan. Kalau kita berjalan pun, seharusnya berada di sebelah kanan. Suatu kali saya berjalan sore sendirian di sebuah taman dekat tempat tinggal host family. Karena terbiasa berjalan di sebelah kiri, maka hal itu tidak berubah. Di depan saya ada seorang bapak-bapak yang berjalan berlawanan arah dengan saya, dia berjalan tepat di depan saya. Saya pikir, “lah, nih babeh-babeh kok ga minggir.” Dua meter sebelum menabrak bapak itu, saya berpindah jalur mendadak. Orang itu tetap berjalan seolah tidak ada orang lain. Saat itulah saya sadar bahwa saya harus mulai belajar untuk terbiasa berjalan di sebelah kanan.

Selain transportasi dan lalu lintas, teknologi juga berbeda jauh. Serba mesin, serba listrik. Mulai dari vacuum cleaner yang umum di Indonesia sampai dengan tutup tempat sampah yang terbuka secara otomatis ketika kita berjalan melewati tempat sampah tersebut. Terserah mau dikatakan norak atau apapun, tapi memang saya tertegun dan tersenyum norak mengalami itu semua.

Ada satu hal menarik. Karena menu utama di sebagian besar daerah di Indonesia adalah nasi, rice cooker menjadi benda yang umum ditemui di hampir setiap rumah. Nah, berhubung menu utama di sini adalah roti, jadi yang umum ada adalah microwave atau toaster. Suatu kali host family ingin memasak nasi. Saya melihat berkeliling dapur modern yang lumayan besar itu, lalu bertanya, “where do you put the rice cooker?” host family balik bertanya, “what is rice cooker?” Saya jelaskan tentang rice cooker dan cara pemakaiannya. Dia hanya mengangkat bahu dan berkata, “we don’t have it.” Haaa… akhirnya ada juga teknologi yang tidak umum di sini.

Sudah sekitar tiga minggu saya di sini dan host family membuatkan rekening bank untuk saya. Kartu pengenal Kanada saya tidak punya, hanya passport dan surat dari imigrasi. Ternyata itu cukup. Tellernya seorang wanita berparas manis dengan aksen India yang ringan. Sangat ramah. Dia menjelaskan semuanya dengan jelas dan disudahi dengan pertanyaan, “do you have any question?” Saya katakan, “yea. How much is the minimum amount if I wanna put some cash here?” Dijawab dengan senyum, “we don’t have minimum amount. I will show you the machine.” Saya, dan host family mengikuti ibu teller tersebut.

Di depan bank yang terletak di dalam sebuah pusat perbelanjaan itu ada sebuah mesin seperti ATM, tapi sedikit lebih besar. Saya diminta membuat PIN, 4 digit. Saya lakukan. Lalu dijelaskanlah, “on the right, you can use for putting some cash, and on your left is for withdrawing money.” Saya bertanya ulang, “I don’t need to go to the teller?” Dia menjawab, “no, let me show you how it work.” Dan dia mendemonstrasikannya.

Diakhir penjelasan, dengan polos dan saya katakan, “gosh…. so sophisticated.” Dia tersenyum lebar, “just let me know when you wanna put some money or withdraw some money for the first time. I will be on that desk.” dia menunjuk meja tempat kami duduk tadi.

Saya lega. Malu tidak ada, karena bisa jadi dia sudah bisa menebak bahwa saya tidak terbiasa atau belum pernah menggunakan mesin seperti itu sebelumnya. Paling tidak, satu lagi pengetahuan saya dapatkan hari itu dan saya yakin masih banyak “shock shock” lain yang akan saya temui.

Have a nice day…

* Cultural Shock: Gegar budaya merupakan istilah yang digunakan bagi menggambarkan kegelisahan dan perasaan (terkejut, kekeliruan, dll.) yang dirasakan apabila seseorang tinggal dalam kebudayaan yang berlainan sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Perasaan ini timbul akibat kesukaran dalam asimilasi kebudayaan baru, menyebabkan seseorang sulit mengenali apa yang wajar dan tidak wajar. Sering kali perasaan ini digabung dengan kebencian moral atau estatik yang kuat mengenai beberapa aspek dari budaya yang berlainan atau budaya baru tersebut. Istilah ini mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1954 oleh Kalvero Oberg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar