Salah satu mata kuliah favorit saya ketika masih di bangku FKIP adalah
CCU atau Cross Culture Understanding. Selain dosennya merupakan dosen
favorit saya, Bp. Bahrul Hasibuan, juga karena mata kuliah ini
mempelajari tentang budaya di negeri Paman Sam. Namun budaya yang
dibahas lebih kepada pergaulan sehari-hari dan system pendidikan di
sana. Sangat menarik apalagi ditambah
dengan pengetahuan Bp. Bahrul tentang negara sana dan beberapa negara di
Eropa, karena memang beliau pernah mendapat beasiswa di Inggris untuk
S2. Membuat iri – dalam arti yang positif tentunya, sebagai motivasi.
Membandingkan sesuatu merupakan hal yang menarik, tapi bukan untuk
membandingkan orang perorang. Hal yang paling menarik adalah ketika
mendapatkan sebuah informasi baru yang menarik dan membuat penasaran.
Sepanjang kuliah kadang saya membayangkan diri saya berada di sebuah
tempat dimana saya buta akan budayanya dan segala macam. Membuat
adrenalin terpacu tapi penasaran, seperti kata Bang Haji; PE NA SA RAN!
Sebelumnya pernah meminjam buku tentang Cultural Shock di perpustakaan
Diknas. Kalau tidak salah ingat saya pernah meminjam buku tentang
Amerika, Arab, dan satu lagi Malaysia. Saya sendiri di rumah punya
sebuah buku Cultural Shock tentang Indonesia yang ditulis oleh dua orang
expatriate yang telah belasan tahun tinggal di Jakarta. Buku lama,
tahunnya lupa, tapi yang pasti saat itu menteri Pariwisatanya adalah Bp.
Joop Ave karena beliau memberi kata pengantar di halaman awal buku. Ada
yang ingat tahun berapa, selain Mbah Google?
Bukunya belum
habis saya baca, tapi ada beberapa hal yang saya ingat dimana kita,
sebagai orang Indonesia dikenal memang mempunyai budaya ‘Rubber
Watch’alias “jam Karet.” Sang penulis menyarankan bila diundang oleh
orang Indonesia, 15 menit atau 30 menit telat adalah hal yang ‘biasa.’
Jadi… forget about on time or in time.
Selain itu juga dibahas
tentang adat perkawinan maupun kematian di beberapa suku di Indonesia.
Yah, memang kalau membicarakan Indonesia akan lebih asyik bila persuku
karena tiap suku unik dan mempunyai hal yang berbeda dengan yang lain.
Indonesia adalah negara multicultural dimana kita saling melengkapi dan
bertoleransi. Agak sulit diterima akal sehat bila kita membicarakan
budaya yang beragam di sini dan tidak ada secercah rasa bangga terhadap
hal tersebut. Tapi berhubung banyak koran nasional lebih tertarik
membahas banyaknya ‘wakil rakyat’ (entah rakyat mana yang dimaksud) yang
teridentifikasi melakukan korupsi, yah, kalau hal ini saya ikut merasa
malu sebagai bagian dari warga negara yang bekerja untuk menggemukkan
koruptor dan keluarganya. Hell is the perfect place for all the
curroptors.
Angan-angan saya terjawab. Meski saya di sini
bukan sebagai sebagai penerima beasiswa, tapi sebagai pekerja,
setidaknya rasa penasaran yang pernah ada sedikit banyak terjawab.
Cultural shock yang pertama saya alami ketika sampai di bandara
Toronto. Saat itu sekitar pukul 7 malam dan sebelum memutuskan untuk
antri untuk trasit lagi, saya ke toilet. Toilet tidak ada yang kosong
dan ada seorang pegawai perempuan yang sedang mengepel lantai toilet.
Saya tersenyum sambil mengucap ‘hallo’ dan dijawab ramah, lalu saya
berdiri di depan pintu salah satu toilet, seperti yang biasa saya
lakukan di tanah air. Saya pun kena tegur, “line up over there, please.”
Katanya sambil menunjuk toilet ujung. Ok, saya menurut. Memang lebih
bagus begini, antri artinya ya antri.
Itu satu.
Setelah terbang lagi sekitar satu jam menuju Ottawa, saya sudah ditunggu
oleh host family di bandara. Saya minta maaf karena telat. Mereka pun
mengerti karena saya bukan pemegang paspor Kanada dan harus melalui
imigrasi yang antriannya mengular.
Satu hal yang unik dan saya
anggap blessing in disguise saat saya di bandara Toronto adalah adanya
seorang ibu asal India yang menggunakan kursi roda yang mengantri di
depan saya. Dia tidak mengerti Bahasa Inggris sama sekali. Ketika
ditanya, dia menjawab dalam bahasa Hindi yang membuat saya menganga
bingung sambil menerima sebuah surat dari ibu tersebut yang ternyata
berisi nama ibu tersebut, alamat di India, alamat yang dituju di Kanada,
serta penjelasan tujuan dia datang ke Kanada. Tertulis bahwa sang anak
berada di distrik lain. Wow, saya takjub. Sang anak, entah disebut tega
atau memang BENAR-BENAR percaya terhadap negara ini sehingga membiarkan
ibunya terbang sendiri dari India menuju Kanada hanya dengan secarik
kertas. Yang pasti, saya salut dengan professionalitas petugas bandara.
Kenapa saya sebut blessing in disguise? Karena saat saya sedang
mengantri di imigrasi, ibu itu berada di depan saya, tak ada petugas
disana. Saya bermaksud menanyakan di mana keluarganya, tapi seorang
petugas imigrasi yang melihat itu bertanya apakah saya keluarga dari ibu
tersebut. Saya jawab bukan. Lalu sang petugas meminta saya untuk
mendorong kursi roda ibu tersebut. Saya lakukan walau dalam hati saya
merasa deg deg-an, takut ketinggalan pesawat ke Ottawa mengingat
pemberangkatan kurang dari satu jam lagi dan di depan saya ada sekitar
50 orang.
Antrian berjalan lambat. Tak disangka, seorang
petugas imigrasi membuka batas dan meminta saya keluar dari antrian.
Saya ditanya pertanyaan yang sama, apakah kami pergi berdua. Saya
katakan, “no. im going to Ottawa and this lady is going to another
dictric.” Saya meminta surat di tangan ibu tersebut. Beruntung, meski
diminta mendorong, saya diberikan prioritas juga. Pesawat tetap
ketinggalan, tapi tak apa karena saya tidak perlu membayar apapun – hal
yang sebenarnya saya takutkan. Mengeluarkan uang!
Penerbangan
dari Toronto ke Ottawa sekitar satu jam dengan Air Canada. Nyaman. Namun
satu hal yang selalu saya lihat: layar di depan saya yang menunjukkan
sisa waktu tempuh!
Ternyata saya telah ditunggu oleh host
family. Kami segera ke parkir setelah saya mengambil koper saya. Saya
dipersilakan duduk di depan, sebelah supir, karena sang ibu menjaga
anaknya yang masih bayi di bangku belakang. Karena di Indonesia
pengemudi mobil berada di sebelah kanan, maka saya dengan manis membuka
pintu sebelah kiri. Sementara sang ayah, si pengemudi, berada di kanan
sambil membuka pintu. Dia mengatakan, “Sarah, over here.” Dengan pelan
saya melongok ke dalam. Ups, bangku pengemudi. Saya pun memutar. Di
dalam mobil sang ayah berkata, “so in Indonesia the driver is on the
right. Wow, the same like in England. I went studying in England. So I
knew it.” Saya hanya tersenyum dan berkomentar sedikit-sedikit tentang
cuaca, tentang lalu lintasnya, dan hal lainnya sebagai ice breaker.
Nah, berhubung supir berada di sebelah kiri, otomatis menunggu bis di
sebelah kanan. Kalau kita berjalan pun, seharusnya berada di sebelah
kanan. Suatu kali saya berjalan sore sendirian di sebuah taman dekat
tempat tinggal host family. Karena terbiasa berjalan di sebelah kiri,
maka hal itu tidak berubah. Di depan saya ada seorang bapak-bapak yang
berjalan berlawanan arah dengan saya, dia berjalan tepat di depan saya.
Saya pikir, “lah, nih babeh-babeh kok ga minggir.” Dua meter sebelum
menabrak bapak itu, saya berpindah jalur mendadak. Orang itu tetap
berjalan seolah tidak ada orang lain. Saat itulah saya sadar bahwa saya
harus mulai belajar untuk terbiasa berjalan di sebelah kanan.
Selain transportasi dan lalu lintas, teknologi juga berbeda jauh. Serba
mesin, serba listrik. Mulai dari vacuum cleaner yang umum di Indonesia
sampai dengan tutup tempat sampah yang terbuka secara otomatis ketika
kita berjalan melewati tempat sampah tersebut. Terserah mau dikatakan
norak atau apapun, tapi memang saya tertegun dan tersenyum norak
mengalami itu semua.
Ada satu hal menarik. Karena menu utama di
sebagian besar daerah di Indonesia adalah nasi, rice cooker menjadi
benda yang umum ditemui di hampir setiap rumah. Nah, berhubung menu
utama di sini adalah roti, jadi yang umum ada adalah microwave atau
toaster. Suatu kali host family ingin memasak nasi. Saya melihat
berkeliling dapur modern yang lumayan besar itu, lalu bertanya, “where
do you put the rice cooker?” host family balik bertanya, “what is rice
cooker?” Saya jelaskan tentang rice cooker dan cara pemakaiannya. Dia
hanya mengangkat bahu dan berkata, “we don’t have it.” Haaa… akhirnya
ada juga teknologi yang tidak umum di sini.
Sudah sekitar tiga
minggu saya di sini dan host family membuatkan rekening bank untuk
saya. Kartu pengenal Kanada saya tidak punya, hanya passport dan surat
dari imigrasi. Ternyata itu cukup. Tellernya seorang wanita berparas
manis dengan aksen India yang ringan. Sangat ramah. Dia menjelaskan
semuanya dengan jelas dan disudahi dengan pertanyaan, “do you have any
question?” Saya katakan, “yea. How much is the minimum amount if I wanna
put some cash here?” Dijawab dengan senyum, “we don’t have minimum
amount. I will show you the machine.” Saya, dan host family mengikuti
ibu teller tersebut.
Di depan bank yang terletak di dalam
sebuah pusat perbelanjaan itu ada sebuah mesin seperti ATM, tapi sedikit
lebih besar. Saya diminta membuat PIN, 4 digit. Saya lakukan. Lalu
dijelaskanlah, “on the right, you can use for putting some cash, and on
your left is for withdrawing money.” Saya bertanya ulang, “I don’t need
to go to the teller?” Dia menjawab, “no, let me show you how it work.”
Dan dia mendemonstrasikannya.
Diakhir penjelasan, dengan polos
dan saya katakan, “gosh…. so sophisticated.” Dia tersenyum lebar, “just
let me know when you wanna put some money or withdraw some money for
the first time. I will be on that desk.” dia menunjuk meja tempat kami
duduk tadi.
Saya lega. Malu tidak ada, karena bisa jadi dia
sudah bisa menebak bahwa saya tidak terbiasa atau belum pernah
menggunakan mesin seperti itu sebelumnya. Paling tidak, satu lagi
pengetahuan saya dapatkan hari itu dan saya yakin masih banyak “shock
shock” lain yang akan saya temui.
Have a nice day…
* Cultural Shock: Gegar budaya merupakan istilah yang digunakan bagi
menggambarkan kegelisahan dan perasaan (terkejut, kekeliruan, dll.) yang
dirasakan apabila seseorang tinggal dalam kebudayaan yang berlainan
sama sekali, seperti ketika berada di negara asing. Perasaan ini timbul
akibat kesukaran dalam asimilasi kebudayaan baru, menyebabkan seseorang
sulit mengenali apa yang wajar dan tidak wajar. Sering kali perasaan ini
digabung dengan kebencian moral atau estatik yang kuat mengenai
beberapa aspek dari budaya yang berlainan atau budaya baru tersebut.
Istilah ini mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1954 oleh
Kalvero Oberg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar