Dalam teori membaca disebutkan ada lima macam-macam teknik membaca,
antara lain; scanning atau memindai, skimming yang bertujuan untuk
mengetahui gambaran ringkas isi sebuah buku, membaca untuk memahami,
mengeja, dan mencatat. Lima teknik yang 'seharusnya' bisa membantu
seorang pembaca yang buruk - macam saya - untuk memahami bacaan secara
tepat dan menyeluruh. Tapi dalam kenyataannya, teori itu tidak saya pakai. Satu pun.
Satu-satunya sumber terlengkap yang bisa saya dapatkan tentang tujuan
saya adalah Mbah Google. Bukan cuma peta, tapi juga persyaratan yang
dibutuhkan untuk mendapatkan visa izin kerja. Semua informasi yang saya
butuhkan ada disana dan dengan semangat, saya cetak informasi tersebut.
Saya baca. Ralat. Bukan dibaca, tapi dibunyikan. Kemampuan membaca yang
rendah plus informasi yang tersedia lebih banyak dalam bahasa Inggris -
sementara kemampuan bahasa Inggris saya masih acak-acakan - membuat
banyak info terlewat, akibatnya saya harus bolak balik membaca info
tersebut dan mengartikannya satu-persatu. Sedikit buang waktu. Tapi
mungkin dengan begitu kemungkinan info yang terlewat semakin sedikit.
Dalam situs itu disebutkan bahwa untuk membuat visa izin kerja, saya
harus mempunyai surat kontrak kerja dan LMO (Labor Market Opinion) dari
Kanada. Dua macam dokumen ini disediakan oleh pihak keluarga yang
nantinya dikirim ke alamat tempat tinggal saya di Jakarta untuk nanti
dilampirkan bersama dokumen lain saat pengajuan visa.
Agak lama
juga proses pembuatan dokumen ini. Selama proses menunggu itu, ada dua
tawaran kerja lain yang menggoda iman. Sempat berpikir untuk pindah ke
lain hati (seperti lagu Kla Project), tapi saya urungkan. Selain karena
tawaran yang pertama itu letaknya di negara teluk, yang dengan tanpa
perimbangan langsung saya tolak dengan halus, host family yang di Kanada
ini klik dengan hati saya - yah, semoga apa yang saya rasakan itu
betul.
Tawaran kedua asalnya dari Eropa, Inggris tepatnya. Yang
ini saya tidak tolak, tidak pula saya terima. Bukan saya jual mahal,
tapi karena saya yakin pengirimnya adalah scammer. Bagaimana saya tahu?
Mudah. Ratusan kali saya mendapat email muluk-muluk seperti itu sejak
beberapa tahun lalu. Jadi buat apa dipertimbangkan? Permainkan sajalah
atau ignore ignore - kata Farkhan Qureshi dalam Film 3 Idiots (film
favorit saya - satu-satunya).
Ngomong-ngomong tentang scammer, ada seorang teman yang nyaris menjadi korban scammer.
Awalnya mereka berkenalan di tagged, lalu berlanjut ke YM. Sebenarnya
kasus scammer sudah banyak kobannya. Ga Cuma orang asia, tapi bahkan di
negeri Paman Sam. Dari sejarahnya sih scammer ini – yang saya maksud
scammer ini Nigerian Sweetheart Scammers – asalnya dari negara-negara di
Afrika, ga cuma di Nigeria, tapi sekarang pelakunya bukan hanya yang
berkulit gelap, tapi juga yang berkulit putih atau pun coklat. Intinya:
pelakunya bisa dari negara mana saja.
Soal scammer ini sudah
banyak diulas di dunia maya. Tinggal ketik beberapa tombol di keyboard,
dalam sekian detik akan tersaji jutaan informasi ataupun berita tentang
aktifitas mereka. Mulai dari sejarahnya, pelakunya, modusnya,
korban-korbannya, banyaklah. Masalahnya adalah: keinginan membaca yang
rendah – dan kemampuan membaca yang rendah pula.
Email dari
scammer yang mengatakan membutuhkan au pair sempat saya balas sekali.
Selanjutnya tidak lagi. Karena mereka menjanjikan hal-hal yang muluk,
yang mungkin bisa membuat saya tergoda, tapi buntutnya saya pasti akan
patah hati. Lebih baik saya abaikan.
Setelah sekitar lima bulan
menunggu, akhirnya kontrak dan LMO saya dapatkan. Setelah itu
bergeraklah saya untuk megajukan permohonan membuat visa.
Gampang-gampang susah. Yang sebenarnya gampang jadi susah adalah ketika
harus membuat bank draft untuk biaya pembuatan visa.
Jumlah
yang ditentukan adalah $150 CAD atau sekitar 1,3 juta rupiah. Uang
tersebut telah saya persiapkan. Dan bank HSBC di WTC Sudirman sudah jadi
target saya. Kendala kecil saya hadapi: saya tidak bisa membuat tanda
tangan yang sama dengan yang ada di KTP saya. Bagaimana bisa? Oh, bisa
saja. Salah satu alasannya adalah karena tanda tangan saya yang
njelimet. Bikin pusing. Tidak indah. Entah dari mana saya mendapat ide
membuat tanda tangan seperti itu ketika pertama kali membuat KTP, yang
pasti, saya akan terkekang dengan tanda tangan yang membingungkan yang
sama seumur hidup saya. Ribet.
Ternyata banyak hal kecil yang berpotensi menjadi besar, apalagi dengan keinginan membaca dan kemampuan membaca yang rendah.
Satu lagi. Ini pengalaman kecil yang menyebalkan. Penyebabnya sama. Kemampuan membaca yang perlu dikatrol.
Ketika transit di bandara Toronto selama dua jam, semua penumpang yang
tidak berpaspor Kanada harus melalui imigrasi. Disana diberikan kertas
yang berisi beberapa pertanyaan. Karena kondisi lelah setelah belasan
jam terbang, ada satu pertanyaan yang salah contreng. Tentang jumlah
uang yang saya bawa, apakah saya membawa $10.000 CAD. Saya contreng:
YES. Akibatnya? Urusan yang seharusnya cuma dua tiga menit, jadi lima
menit yang menyiksa. Karena tatapan ga suka dari pertugas disana ketika
saya katakan, “mischecked.”
Cheers
Membaca!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar