Dalam sebuah artikel di sebuah majalah terbitan ibukota beberapa tahun
yang lalu, pernah dibahas tentang ciri-ciri orang yang sulit untuk
menjadi prosperous - bukan mau 'sok' gaya menggunakan istilah asing,
hanya mencoba memindahkan apa yang saya baca dari majalah itu,
prosperous. Catet! - tertulis salah satunya, dan yang satu-satunya saya ingat, adalah tipikal orang yang suka berpindah tempat kerja. Wuiyyyy saya buanget!!
Sejak saat itu saya, demi menjadi 'prosperous', mencoba untuk mencintai
pekerjaan saya dan bertekad untuk tidak loncat sana sini lagi. Belajar
untuk membuang rasa mudah bosan, belajar untuk berhenti mengejar
kesempatan yang fatamorgana, belajar untuk loyal kepada institusi, dan
belajar untuk mengalahkan ego diri. Belajar, tapi sejauh ini, saya belum
cukup baik untuk naik kelas. Saya masih tetap mudah bosan pada satu
posisi dan seringkali pindah tempat kerja. Pernah dalam dua tahun, saya
pindah empat kali. Semua karena alasan yang klise: bosan.
Tapi kalau mau jujur, saya tidak tahu apa yang saya mau.
Keluar dari institusi di Cakung, saya pindah di Cilandak, lalu pindah
lagi di Saharjo, lalu pindah ke dekat rumah, lembaga kursus di daerah
Lenteng Agung. Tempat ini satu-satunya tempat saya bekerja paling lama:
sekitar empat tahun. Walaupun sempat break sebentar dari sana karena
fokus untuk menyelesaikan skripsi, toh kalau ditotal, sekitar nyaris
empat tahun saya bekerja disana, sebagai pengajar paruh waktu.
Pemilik kursus yang terbuka dan suasana kekeluargaan yang kental antara
kami, termasuk antara murid dan pengajar, bisa jadi magnet untuk
tinggal. All about our heart.
Sempat juga bekerja di sebuah TK
dekat tempat tinggal orang tua selama setahun - kalau tidak ada sistem
pinalti, saya sudah pasti tidak akan bertahan disana lebih dari beberapa
bulan saja - tapi Yang Maha Kuasa toh punya rencana apik untuk hidup
saya. Pengalaman bekerja di TK tersebut membuka kesempatan saya untuk
mewujudkan mimpi 'ngaco' saya untuk bekerja di negeri orang makin besar.
Hal pertama yang terlintas pertama kali ketika saya tahu bahwa fakultas
yang saya pilih akan mendaratkan saya dengan mulus disebuah profesi
yang dianggap "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" adalah: saya tidak akan mau
mengajar anak kecil, apalagi anak TK!!!
Dipikiran saya,
anak-anak lincah itu akan sangat sulit diajak bekerja sama, hanya
menangis, BAB/ BAK dengan bantuan 'sang pahlawan tanpa tanda jasa', lalu
berlari kesana kemari seperti seorang Ayu Ting-Ting yang sedang mencari
alamat. Saya salah!
Hari pertama mengajar di TK, saya disambut
ramah oleh senyum manis - beberapa 'nakal' - dari wajah-wajah tanpa
dosa, malaikat-malaikat kecil yang sering memberi pelukan hangat di pagi
hari, malaikat-malaikat kecil yang suka berbagi, walaupun ada juga yang
sulit diatur, tapi toh mereka berbuat sesuatu lebih banyak berdasarkan
spontanitas. Kenapa disalahkan? Bukankah lebih bijak mengarahkan?
Satu tahun memberi pelajaran yang cukup banyak, tidak hanya pelajaran
tentang menghadapi anak-anak, tapi juga belajar menyelami kepribadian
orang lain yang kadang tanpa ampun menghakimi diri kita. Hal yang
mengejutkan, mengesalkan, membahagiakan, terjadi, bercampur aduk tiap
kali. Tapi bukankah memang dunia diciptakan dengan sempurna, seimbang,
dimana ada kebahagiaan, disana pula ada kesedihan? Ada hal yang
mengesalkan, banyak juga yang membahagiakan. Belajar untuk melihat dari
sisi positif. Belajar untuk bertoleransi. Belajar untuk tidak mengutuk
seseorang yang mengesalkan. Hal yang terakhir adalah hal terrrrrrrsulit
yang harus dipelajari. Saya masih belum bisa naik kelas.
Makin banyak tempat disinggahi, umumnya kenalan makin banyak. Teori itu
bisa 100% terjadi pada mereka yang extrovert, bagi yang introvert
seperti saya? Tambah kenalan satu pun sudah sangat bersyukur.
Ada beberapa orang yang sangat menyenangkan yang saya temui disana dan
kami masih tetap bersilaturahim sampai saat ini. Yah, kalau tidak lewat
sms atau telepon, minimal lewat telepati, biar ga keluar ongkos, tapi
karena tanpa ongkos, telepatinya selalu gagal, akibatnya, agak lama
tidak berkirim kabar. Tapi tak apa, hati kita diciptakan cukup luas
untuk menampung kebaikan banyak orang.
Ada banyak cara Yang
Maha Kuasa mendekatkan orang ke orang. Mendekatkan mimpi yang jauh,
melebarkan sayap optimisme ke pikiran kita. Banyak cara. Dan hanya
sedikit yang bisa kita ketahui. Dia bekerja dengan cara yang sangat
ajaib.
Ketika saya berniat tidak melanjutkan kontrak kerja di
TK tersebut, ternyata saya bukan satu-satunya orang yang berniat chao.
Ada empat orang lain yang punya niat mulia yang sama, walaupun dengan
alasan yang berbeda. Salah satunya adalah seorang perempuan muda bernama
Mala.
Mala, lulusan Sastra Belanda UI, pernah bekerja sebagai
au pair di Belanda selama satu tahun, dan sekarang dia di Belgia untuk
pekerjaan yang sama, wah.... saya sangat tertarik mendengarnya. Untuk
sebagian orang, pekerjaan au pair bisa jadi dipandang sebelah mata.
Siapa sih yang ga bisa jagain anak? Siapa sih yang ga bisa ajarin anak
beberapa kata dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain yang kita
kuasai? Siapa sih yang ga bisa membantu meningkatkan aktivitas motorik
anak? Untuk apa sekolah sampai tingkat universitas kalau hanya untuk
bekerja seperti itu? Mungkin itu yang ada dipikiran banyak orang. Tapi
saya sebaliknya. Saya sangat tertarik.
Saya bekerja di TK
tersebut beberapa bulan lebih awal daripada Mala. Saya pun tidak terlalu
kenal dia sebelumnya. Tapi nasib membawa kami sering bercakap. Kapan?
Seminggu sebelum kami benar-benar berpisah.
Seminggu sebelum
kontrak kami - yang dengan senang hati kami akhiri - selesai, kami, lima
orang resigners (ngarang istilah) diharuskan untuk masuk, beres-beres
kelas yang akan dipakai pada semester selanjutnya, nah, saat itulah
komunikasi intens saya dan Mala dimulai. Singkatnya, dia menganjurkan
saya untuk membuat profil disalah satu situs untuk mereka yang berniat
ataupun keluarga pencari au pair.
Satu langkah lebih maju sudah dibuka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar