Minggu, 29 Juli 2012

Puzzle yang Mulai Terbentuk

Dalam sebuah artikel di sebuah majalah terbitan ibukota beberapa tahun yang lalu, pernah dibahas tentang ciri-ciri orang yang sulit untuk menjadi prosperous - bukan mau 'sok' gaya menggunakan istilah asing, hanya mencoba memindahkan apa yang saya baca dari majalah itu, prosperous. Catet! - tertulis salah satunya, dan yang satu-satunya saya ingat, adalah tipikal orang yang suka berpindah tempat kerja. Wuiyyyy saya buanget!!

Sejak saat itu saya, demi menjadi 'prosperous', mencoba untuk mencintai pekerjaan saya dan bertekad untuk tidak loncat sana sini lagi. Belajar untuk membuang rasa mudah bosan, belajar untuk berhenti mengejar kesempatan yang fatamorgana, belajar untuk loyal kepada institusi, dan belajar untuk mengalahkan ego diri. Belajar, tapi sejauh ini, saya belum cukup baik untuk naik kelas. Saya masih tetap mudah bosan pada satu posisi dan seringkali pindah tempat kerja. Pernah dalam dua tahun, saya pindah empat kali. Semua karena alasan yang klise: bosan.

Tapi kalau mau jujur, saya tidak tahu apa yang saya mau.

Keluar dari institusi di Cakung, saya pindah di Cilandak, lalu pindah lagi di Saharjo, lalu pindah ke dekat rumah, lembaga kursus di daerah Lenteng Agung. Tempat ini satu-satunya tempat saya bekerja paling lama: sekitar empat tahun. Walaupun sempat break sebentar dari sana karena fokus untuk menyelesaikan skripsi, toh kalau ditotal, sekitar nyaris empat tahun saya bekerja disana, sebagai pengajar paruh waktu.

Pemilik kursus yang terbuka dan suasana kekeluargaan yang kental antara kami, termasuk antara murid dan pengajar, bisa jadi magnet untuk tinggal. All about our heart.

Sempat juga bekerja di sebuah TK dekat tempat tinggal orang tua selama setahun - kalau tidak ada sistem pinalti, saya sudah pasti tidak akan bertahan disana lebih dari beberapa bulan saja - tapi Yang Maha Kuasa toh punya rencana apik untuk hidup saya. Pengalaman bekerja di TK tersebut membuka kesempatan saya untuk mewujudkan mimpi 'ngaco' saya untuk bekerja di negeri orang makin besar.

Hal pertama yang terlintas pertama kali ketika saya tahu bahwa fakultas yang saya pilih akan mendaratkan saya dengan mulus disebuah profesi yang dianggap "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" adalah: saya tidak akan mau mengajar anak kecil, apalagi anak TK!!!

Dipikiran saya, anak-anak lincah itu akan sangat sulit diajak bekerja sama, hanya menangis, BAB/ BAK dengan bantuan 'sang pahlawan tanpa tanda jasa', lalu berlari kesana kemari seperti seorang Ayu Ting-Ting yang sedang mencari alamat. Saya salah!

Hari pertama mengajar di TK, saya disambut ramah oleh senyum manis - beberapa 'nakal' - dari wajah-wajah tanpa dosa, malaikat-malaikat kecil yang sering memberi pelukan hangat di pagi hari, malaikat-malaikat kecil yang suka berbagi, walaupun ada juga yang sulit diatur, tapi toh mereka berbuat sesuatu lebih banyak berdasarkan spontanitas. Kenapa disalahkan? Bukankah lebih bijak mengarahkan?

Satu tahun memberi pelajaran yang cukup banyak, tidak hanya pelajaran tentang menghadapi anak-anak, tapi juga belajar menyelami kepribadian orang lain yang kadang tanpa ampun menghakimi diri kita. Hal yang mengejutkan, mengesalkan, membahagiakan, terjadi, bercampur aduk tiap kali. Tapi bukankah memang dunia diciptakan dengan sempurna, seimbang, dimana ada kebahagiaan, disana pula ada kesedihan? Ada hal yang mengesalkan, banyak juga yang membahagiakan. Belajar untuk melihat dari sisi positif. Belajar untuk bertoleransi. Belajar untuk tidak mengutuk seseorang yang mengesalkan. Hal yang terakhir adalah hal terrrrrrrsulit yang harus dipelajari. Saya masih belum bisa naik kelas.

Makin banyak tempat disinggahi, umumnya kenalan makin banyak. Teori itu bisa 100% terjadi pada mereka yang extrovert, bagi yang introvert seperti saya? Tambah kenalan satu pun sudah sangat bersyukur.

Ada beberapa orang yang sangat menyenangkan yang saya temui disana dan kami masih tetap bersilaturahim sampai saat ini. Yah, kalau tidak lewat sms atau telepon, minimal lewat telepati, biar ga keluar ongkos, tapi karena tanpa ongkos, telepatinya selalu gagal, akibatnya, agak lama tidak berkirim kabar. Tapi tak apa, hati kita diciptakan cukup luas untuk menampung kebaikan banyak orang.

Ada banyak cara Yang Maha Kuasa mendekatkan orang ke orang. Mendekatkan mimpi yang jauh, melebarkan sayap optimisme ke pikiran kita. Banyak cara. Dan hanya sedikit yang bisa kita ketahui. Dia bekerja dengan cara yang sangat ajaib.

Ketika saya berniat tidak melanjutkan kontrak kerja di TK tersebut, ternyata saya bukan satu-satunya orang yang berniat chao. Ada empat orang lain yang punya niat mulia yang sama, walaupun dengan alasan yang berbeda. Salah satunya adalah seorang perempuan muda bernama Mala.

Mala, lulusan Sastra Belanda UI, pernah bekerja sebagai au pair di Belanda selama satu tahun, dan sekarang dia di Belgia untuk pekerjaan yang sama, wah.... saya sangat tertarik mendengarnya. Untuk sebagian orang, pekerjaan au pair bisa jadi dipandang sebelah mata. Siapa sih yang ga bisa jagain anak? Siapa sih yang ga bisa ajarin anak beberapa kata dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain yang kita kuasai? Siapa sih yang ga bisa membantu meningkatkan aktivitas motorik anak? Untuk apa sekolah sampai tingkat universitas kalau hanya untuk bekerja seperti itu? Mungkin itu yang ada dipikiran banyak orang. Tapi saya sebaliknya. Saya sangat tertarik.

Saya bekerja di TK tersebut beberapa bulan lebih awal daripada Mala. Saya pun tidak terlalu kenal dia sebelumnya. Tapi nasib membawa kami sering bercakap. Kapan? Seminggu sebelum kami benar-benar berpisah.

Seminggu sebelum kontrak kami - yang dengan senang hati kami akhiri - selesai, kami, lima orang resigners (ngarang istilah) diharuskan untuk masuk, beres-beres kelas yang akan dipakai pada semester selanjutnya, nah, saat itulah komunikasi intens saya dan Mala dimulai. Singkatnya, dia menganjurkan saya untuk membuat profil disalah satu situs untuk mereka yang berniat ataupun keluarga pencari au pair.

Satu langkah lebih maju sudah dibuka...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar