Ingat masa-masa waktu duduk di SD. Sebenarnya memorinya banyak yang
hilang sih, tapi ada beberapa yang tertanam kuat, salah satunya ketika
saya dipilih oleh guru kelas sebagai salah satu murid yang diharuskan
untuk mengikuti les tambahan matematika setelah pulang sekolah. Lesnya
disediakan gratis oleh sekolah, dan yang mengajar guru kelas juga.
Pertama kali merasakan ikut tambahan matematika waktu kelas empat
(4)SD, saat itu gurunya Almarhum Pak Odjo. Saya ingat betul beliau
begitu sabar dan tidak pernah didapati marah-marah dalam kelas. Cara
mengajarnya simpel sebenarnya, jadi mudah dipahami oleh saya yang
memusuhi matematika, tapi karena kelas isinya banyak kepala, jadi butuh
konsentrasi ekstra untuk memahaminya. Untung sekolah tanggap dan Pak
Odjo rela memberi pelajaran tambahan bagi beberapa murid, termasuk saya.
Saya kira bukan cuma saya di dunia ini yang agak anti dengan
hitung-hitungan. Banyak orang di luar sana berharap kelas baru atau
jurusan yang akan diambil tidak ada matematika. Sayang seribu sayang,
harapan tinggal harapan. Mau ke arah Utara, Timur, Barat, atau Selatan,
tetap ketemu hitung-hitungan dengan berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk
pelajaran statistic dan semacamnya. Atau untuk mereka yang mengambil
kuliah perawatan, pasti bertemu hitung-hitungan di dalam pelajaran
farmakologi – ini jatohnya hitung takaran obat – belum lagi menghitung
tetesan infus permenit. Dan lain sebagainya. Ga bisa di hindari.
Nah, balik ke romantika masa SD. Selain kelas penuh anak-anak yang
kadang sibuk sendiri sehingga membuat konsentrasi pecah berkeping,
ditambah lagi jumlah mata pelajaran yang banyak – 9 ya kalau ga salah –
dan berhubung saya sekolah di sekolah swasta dengan basic agama, pasti
ada tambahan beberapa mata pelajaran tentang agama. Intinya, ga salah
kalau disebut “beban pelajaran.” Kadang memang benar terasa membebani.
Tapi toh kita tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang sudah
tertulis di peraturan yang ada. Nilai akademik menjadi prioritas selain
perilaku.
Ada seorang teman satu kelompok, saya ingat namanya
Rafiqi. Orangnya gendut, pintar matematika. Ayahnya salah satu guru
kelas di sekolah kami walaupun beliau tidak pernah memegang kelas kami.
Beberapa kali Pak Izi Rahman, namanya, memberi les tambahan matematika
pagi hari. Sangat membantu. Tapi memang sudah dari sananya lemot untuk
menyerap matematika, ditambah lagi dengan rasa tertekan mendengar
‘pelajaran matematika’, rasanya makin mati kutu. Tapi toh tetap hal itu
dijalani dan sangat bersyukur meski nilai matematika paling tinggi 7
(itu pun Aljabar, satu-satunya materi favorit saya. Bangun ruang? Forget
it, please….). Makin itu diingat, makin merasa bodoh karena tulalit
memahami rumus. Waktu SMP pernah membuat contekan rumus, ternyata nilai
yang didapat hanya 3. Memalukan.
Sebenarnya bukan cuma
matematika, hampir semua mata pelajaran, kecuali menggambar, nilai saya
bikin panik, kalau ditiup sedikit bisa jatuh dan terjun bebas ditambah
lagi kotak hitamnya jatuh ke dalam pasir hidup. Kadang-kadang berkhayal
menjadi orang cerdas seperti salah satu idola saya, Bp. BJ. Habibie, Bp.
Jusuf Kalla atau setidaknya seperti Macgyver lah….(Tapi “mana
mungkin???? Membaca saja aku sulittttt)
Setelah sebesar ini
baru saya mempelajari bahwa kecerdasan bukan cuma seberapa besar nilai
ulangan atau di raport. Dalam teori Howard Gardner (1983), seorang ahli
riset dari Amerika, menyebutkan bahwa ada 8 (delapan) jenis kecerdasan,
antara lain:
a. Kecerdasan liguistik
b. Kecerdasan logis-matematis
c. Kecerdasan spasial
d. Kecerdasan musical
e. Kecerdasan kinestetik-jasmani
f. Kecerdasan antarpribadi
g. Kecerdasan intrapribadi
h. Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence)
Tiap macam kecerdasan ada karakternya, misalnya nih, seseorang yang
memiliki kecedasan linguistic, bisa dipastikan dia itu mampu
berargumentasi, meyakinkan orang lain (bakat jadi sales or pengacara),
menghibur atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata. Gemar membaca
dan dapat mengartikan bahasa tulisan dengan jelas. Cocok untuk mereka
yang berminat menjadi penyair, jurnalis.
Well, pass. Saya bukan tipe ini. Ada sedikit tipe yang nyerempet. Cuma nyerempet, belum nabrak!
Lalu kecerdasan logis-matematis. Yah, udah pasti saya di luar kotak.
Ciri-ciri orang dengan kecerdasan ini adalah; mudah membuat klasifikasi
dan kategorisasi (kalau saya mudah membuat orang lain marah); berpikir
dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis; pandangan hidupnya
bersifat rasional (saya irrasional, main tabrak dan sedikit ambisius).
Yak, yang mau jadi ilmuwan, akuntan, programmer silahkan diasah
kecerdasan ini.
Kecerdasan musical? Wah, jauh dari ciri-ciri
ini; Peka nada dan menyanyi lagu dengan tepat; dapat mengikuti irama;
mendengar music dengan tingkat ketajaman lebih. (Pengalaman buruk saya
terakhir ketika saya bernyanyi adalah membuat sholat teman batal karena
dia tidak mampu menahan tawa mendengar saya bernyanyi).
Orang
dengan kecerdasan kinestetik-jasmani ciri-cirinya; menikmati kegiatan
fisik (olahraga) ; cekatan dan tidak bisa tinggal diam; berminat dengan
segala sesuatu. Yang merasa mempunyai ciri-ciri ini disarankan mempunyai
cita-cita seperti atlet, pengrajin, montir, menjahit, merakit model.
Lagi-lagi saya “ga bangeetttt” kalau kata anak ABG.
Lain lagi
dengan orang yang cerdas dalam aspek antarpribadi. Ini adalah kemampuan
untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain. Kecerdasan ini
terutama menuntut kemampuan untuk menyerap dan tanggap terhadap suasana
hati dan hasrat orang lain. Bisa mempunyai rasa belas kasihan dan
tanggung jawab sosial yang besar. Mereka mempunyai kemampuan untuk
memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang
bersangkutan. Cocok untuk mereka yang bercita-cita menjadi networker,
negosiator, guru. (Sepertinya bukan lagi….bekerjasama dalam sebuah
kelompok salah satu tantangan berat untuk orang macam saya yang tingkat
toleransinya kadang di bawah 0 derajat Celsius).
Kecerdasan
intrapribadi maksudnya mereka yang mampu untuk memahami diri sendiri dan
percaya kepada diri sendiri. Anak-anak dengan kecerdasan intrapribadi
tinggi umumnya lebih suka bermain sendiri, berkehendak kuat, dan tidak
mudah dipengaruhi maupun diatur, bahkan mungkin kerap kali dicap keras
kepala atau pemberontak. Padahal, yang sebenarnya diinginkan oleh
anak-anak ini adalah melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.
Yak, yang merasa punya percaya diri tinggi setinggi anda memakai rexona,
silakan ngacung dan masuk kelompok ini dan cocok menjadi konselor atau
teolog, contohnya.
Mereka yang mempunyai kecerdasan naturalis
adalah yang mempunyai kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam serta hidup
harmoni bersama alam. Anak-anak dengan kecerdasan naturalis tinggi
mungkin akan suka bermain tanah atau pasir, berani memegang anjing,
kucing, atau binatang lainnya. Mereka suka bermain dan berada di alam
terbuka. Cita-cita yang cocok petani, nelayan, pendaki, pemburu.
Yah… sebenarnya ga parah-parah amat sih. Dari sekian jenis kecerdasan,
ada satu atau dua kritria yang dibuat Gardner ada dalam diri saya. Tapi
lagi-lagi kalau dibuat skor, mungkin maksimal 7. Bagaimana dengan
teman-teman?
Oh iya, ada satu jenis kecerdasan yang benar-benar
tidak saya punyai, yaitu kecerdasan spatial. Untuk orang yang hobi
nyasar, selamat datang, bagian ini bukan untuk kita. Kecerdasan yang
mencakup berpikir dalam gambar, serta mampu untuk menyerap, mengubah dan
menciptakan kembali berbagai macam aspek visual (arsitek, fotografer,
designer, pilot, insinyur)
Ciri-ciri mereka yang mempunyai kecerdasan jenis ini adalah;
- Kepekaan tajam untuk detail visual, keseimbangan, warna, garis, bentuk dan ruang
- Mudah memperkirakan jarak dan ruang
- Membuat sketsa ide dengan jelas
Pengalaman nyasar saya punya banyak. Di dalam mall atau ITC di Jakarta saja saya seringa nyasar, apalagi ini di negeri orang.
To be continued…
Sukses ya… semua….
(dikutip sebagian dari Mbah Google)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar