Sabtu, 08 September 2012

Malaikat-Malaikat Kecil Tanpa Sayap

Anak-anak diumpamakan selembar kertas putih yang siap ditulisi. Apa yang mereka lihat dan dengar, kemungkinan besar akan diimitasi oleh mereka. Teringat adik bungsu saya ketika kecil meneriakkan kata ‘monyet’ kepada seorang tua tetangga kami, berakibat geramnya orang tua tersebut hingga sekarang, walaupun kejadian itu nyaris 20 tahun lebih berlalu.
Usut punya usut, tingkah laku itu didapat dari teman- teman kecilnya. Diusut lagi, mereka tumbuh dari keluarga yang hobby mengobral makian, diusut lagi, anak-anak itu masih kerabat laki-laki tersebut. Bukan menyalahkan orang lain, hanya sedikit flash back pengalaman tentang polosnya anak kecil yang menyerap dan tanpa daya menyaring informasi dari lingkungannya. Yah, mereka memang ibarat selembar kertas putih, dan kertas itu pastilah sangat besar mungkin lebih besar dari spanduk kampanye calon anggota legislatif.

Saat itu, demi memutus memori makian tersebut sehingga tidak mengendap menjadi kebiasaan, orang tua saya mengajak adik bungsu ke Kebun Binatang Ragunan yang memang dekat dengan tempat tinggal kami. Orang tua mengajak adik ke kandang monyet, ditunjukkannya apa itu monyet dan membuat perbandingan sederhana dengan manusia. Cukup berhasil. Setidaknya adik saya tidak menggunakan kata itu lagi ketika masih kecil, entahlah kalau sudah besar, dimana dia (seharusnya) bisa menempatkan makian pada tempatnya.

Sebagian besar kerja saya berhubungan dengan anak-anak. Walaupun hanya sebagai pengajar bahasa, yang kontak dengan mereka paling lama 90 menit sekali pertemuan, demi mentransfer informasi yang saya dapat dari bangku kuliah. Namun ketika pertama kali bersinggungan dengan anak-anak, saya tidak terlalu fokus terhadap perkembangan kepribadian anak-anak tersebut. Kalau mau dibuat alasan, kami para pengajar dikejar target bagaimana mentransfer informasi, mereka mengejar target yang sudah ditargetkan (bingung?) – anak-anak yang kami handle saat itu sebagian besar sekolah di sekolah Nasional Plus, memegang buku kurikulum Singapura. Kelas tiga SD, sudah terjadwal – dan ditargetkan mengerti – tentang Present Perfect. Perfecto!!!

Sempat juga satu tahun menjadi pengajar di sebuah taman kanak-kanak di dekat rumah. Pengalaman yang sangat berharga saya dapat mengingat tidak pernah terlintas untuk bekerja bersama anak-anak kecil tersebut. Dalam pikiran saya, mereka pasti susah diatur, cengeng, dan kondisinya hectic. Parno muncul lebih dulu. Tapi ternyata saya sangat salah. Kalau mau dibuat score, nilai saya pasti NOL besar.

Banyak moment yang berharga. Bukan saya yang mengajari mereka, tapi justru merekalah guru-guru kecil saya. Seorang anak yang sangat spesial bahkan saya buat surat tersendiri untuknya. Tidak saya berikan langsung, tentu saja, tapi saya ungkapkan rasa sayang saya dengan menulis disalah satu blog saya. Anak itu, Cleo.

Cleo, berpostur tegap, berambut lurus indah dan jejak oriental terlihat dari mata dan kulitnya yang kuning typical Asia Timur. Anak yang penuh percaya diri meski awalnya agak sulit untuk saya memahami pengucapannya. Demi kontak nyaris tiap hari selama tiga jam, lambat laun pahamlah saya cara pengucapannya.

Secara akademik, maksudnya membaca dan berhitung, sedikit tertatih namun semangatnya mengalahkan yang lain. Sekali lagi, bicara tentang target, anak-anak itu sudah ‘ditargetkan’ mampu membaca dan berhitung demi mengurangi ‘beban’ ketika sekolah dasar nanti. Ditambah lagi, taman kanak-kanak tersebut bilingual, mereka diharapkan mampu membaca kalimat sederhana, paham kalimat sederhana plus berhitung dalam Bahasa Inggris. Lengkaplah sudah.

Sekolah itu menerapkan metode Montessori dan Active Learning pada saat bersamaan. Info yang saya dapat dari teman yang berlatar belakang pendidikan Montessori, metode itu berlawanan. Entah apa yang ada dalam benak si pemilik sekolah. Ingin membuat inovasi atau memang teori yang dia punya berbeda dengan teori yang kawan saya miliki. Saya sendiri tidak berlatar belakang pendidikan Montessori. Saya hanyalah seorang pengajar bahasa biasa.

Pertama kali mengajar kelas tersebut, mereka belajar membaca satu suku kata dalam bahasa Inggris, seperti ‘cat’, ‘dog’, ‘bib’, ‘run’, dan lain-lain. Teknik pengenalan huruf pun melalui sound, dinyanyikan agar lebih mudah ditangkap. Tidak butuh waktu lama menyadari bahwa Cleo hafal lagunya, tapi tidak mengenali hurufnya.

Demi mengejar ketinggalan dari teman-temannya, plus ditambah suara saya yang sangat ‘yahud’ ketika bernyanyi, dengan senang hari saya singkirkan metode nyanyi bernyanyi. Jadilah alphabet A sampai Z berwarna-warni saya ketik lalu print dan mulai satu persatu bermain menebak huruf konsonan lalu vokal. Selanjutnya konsonan dan vokal disatukan hingga membentuk bunyi ‘la’ atau ‘ma’ dan sebagainya. Sekitar empat bulan perkembangan terlihat. Terharu oleh usaha keras Cleo, saya ajak partner kerja untuk melihat Cleo membaca. Dia pun memuji usaha Cleo. Empat bulan terlihat cukup lama, namun setahun sebelumnya Cleo sudah mempunyai guru privat membaca, tidak heran dia hafal alphabet song.

Ada satu kalimat sederhana yang sering saya ucapkan ketika menghadapi anak-anak yang menyerah walau belum melangkah. Misal, ketika baru dibagikan worksheet, belum apa-apa beberapa dari mereka merengek, “miss… ga bisa…” Tanggapan saya biasanya singkat, “kalau ga dicoba, kamu ga akan tahu.” Mereka mencoba, dan, sesuai prediksi, mereka bisa. Rewardnya? “tuh…..bisa kan? Makanya, dicoba dulu.”

Entah berapa kali saya ucapkan itu dalam setahun mengajar disana. Yang pasti, ketika kami melakukan music and movement; jumping with one leg, seorang gadis kecil, Najwa, merengek mengatakan, “miss…. Ga bisa….” Baru mulai mengatur napas untuk bicara, terdengar suara lantang sedikit cadel, “kalo ga dicoba dulu, ga akan tahu, tau?!” Cleo! Saya hanya tersenyum dan mengiyakan. Entah dia mengerti maknanya atau tidak, tapi pasti mereka mengerti arti “coba dulu.”

Moment itu membuat saya lebih hati-hati berlaku dan berucap di depan anak-anak.

Kadang kala hal-hal yang coba kita hindari justru mendekat dan merapat. Setidaknya begitulah yang saya rasakan dalam hidup saya. Pernah merasa belum apa-apa sudah parno menghadapi anak-anak, justru mendapat kesempatan bekerja di sebuah TK, dan beberapa bulan lalu kesempatan mengasuh anak perempuan berusia empat tahun datang dan merapat. Disinilah saya sekarang.

Berpindah tempat tinggal, identitas tetap melekat. Hal-hal yang pokok Insha Allah tidak akan saya lepaskan. Di rumah, melapor pada Yang Maha Kuasa berjalan, disini pun sama. Sang anak, yang belum pernah terpapar dengan kegiatan tersebut, meski kami memiliki keyakinan yang sama, bertanya apa yang akan saya lakukan, saya katakan, “Im gonna pray” dan memberi penjelasan sedikit bahwa saya hanya sebentar. Lalu mempersiapkan diri dan mulai shalat. Selang beberapa detik, anak tersebut memanggil-manggil, “Sarah…. Sarah…” suara tersebut makin lama makin terdengar panic. Mulailah gangguan untuk menarik perhatian seperti sajadah yang diacak-acak dan mukena ditarik sesukanya yang membuat saya membatalkan shalat saya. Menjelaskan sedikit dan kembali shalat.

Hal tersebut terjadi berulang-ulang. W Questions berulang-ulang. What are you gonna do? What is that? Why you pray? Why … what …. Why lagi…..What lagi…. Ketika dia mulai lelah, dan saya pun mulai keki, dia menatap saya sebentar lalu bertanya, “do you have cookie?”

Jawaban saya selalu singkat: “Iam gonna pray.” “This is my stuff for praying. Please, try not to step on my sajadah.” “It is a must.” “It takes only a little time, then we can play again.” “Yes, I have cookie, one cookie one day.” Berulang-ulang. Tapi satu hal, saya memang tidak pernah mengajaknya untuk melakukan hal yang sama. Tanya kenapa? Karena mereka, termasuk gadis kecil ini, malaikat-malaikat kecil tanpa sayap itu, mempunyai rasa penasaran yang tinggi dan merupakan imitator ulung. Itu kelemahan sekaligus kekuatan mereka. Plus, mereka bagaikan selembar kertas yang siap ditulisi. Yah, ada alasan lain sih sebenarnya dan ini menyangkut kebiasaan di rumah ini: wong orang tuanya saja tidak mengajak, jadilah saya ikuti aturan tidak tertulis itu, namun jujur, tidak tega membiarkan masa emasnya berlalu tanpa kenal pencipta-Nya.

Salah satu hal yang saya rindukan disini adalah suara adzan yang bersahut-sahutan. Di rumah, biasanya laporan pada Sang Penguasa Alam saya tunda, entah karena alasan tanggung sedang menonton infotaiment, kerja atau dalam pewe alias posisi weanakkk di sofa. Disini, demi mengetahui waktu shalat, Mbah Google jadi rujukan. Software azdan dari islamicfinder.com diinstal sehingga bila computer dalam keadaan menyala, adzan pasti terdengar. Tak lama setelah Adzan terdengar, saya beranjak, dan mencoba tidak menunda shalat seperti saat di rumah dulu.

Hampir tiap Ashar, kadang Magrib juga, gadis kecil itu masih bersama saya, jadilah dia terpapar dan makin familiar dengan suara Adzan dan paham bila suara Adzan terdengar, pasti waktunya shalat. Waktu berlalu, dia mulai mengimitasi gerakan sholat, walau terlihat sesukanya. Begitu pun wudhu, tanpa diajari, tapi melihat, diimitasilah gerakan wudhu. Hal yang menyenangkan.

Banyak hal yang membuat saya menganga. Betapa tidak, hal-hal kecil yang luput dari perhatian saya, ditirunya dan kadang dia katakan, “I wanna do …. Like Sarah,” kepada orang tuanya. Kebiasaan seperti memuji Pencipta sebelum makan, minum, atau melakukan sesuatu ditirunya. Kebiasaan tidak bicara saat mulut penuh pun dikopi. Kebiasaan meletakkan piring dalam mesin pencuci piring pun tak luput. Kebiasaan buruk seperti mengkonsumsi keripik kentang dan cookies pun diamini, kebiasaan melempar sampah ke pojok kamar daripada meletakkan sampah pada tempatnya, serta beberapa kebiasaan negative yang saya anggap biasa terkopi olehnya.

Awalnya saya merasa dia seperti bayangan yang mengikuti, sekarang justru sebaliknya, dia seperti cermin, yang memantulkan dan menggambarkan dengan jelas kebiasaan negative yang sudah seharusnya dibuang. Dia, gadis kecil ini, tanpa sadar membuka mata saya, dan saya harusnya berterima kasih. Bertambah lagi guru kecil saya, selain Cleo dan teman-teman sekelasnya.

Ada satu kejadian unik dan menggelikan tentang usaha anak ini untuk mengimitasi yang dia lihat.

Karena telah sering mendengar Azdan, dan tampaknya dia suka sekali akan kata itu, beberapa kali dia mengingatkan saya, “Sarah, where is Adzan?” atau, “Sarah, I wanna listen Adzan,” atau kadang tidak nyambung, “Sarah, where is your friend, Adzan?” Lha?!

Suatu ketika, setelah kami selesai shalat bersama, seperti biasa saya bertasbih. Gadis kecil itu, karena rasa penasaran yang tinggi, bertanya, “Sarah, what are you singing?” Jawab saya, “Iam not singing.” Saya lambatkan pengucapan beberapa saat agar dia bisa mengikuti. Sesaat dia mengucapkan hal yang nyaris sama, namun di tengah jalan, entah karena pusing atau sebab lain, alih-alih mengucap tasbih, dia justru berucap, “adzan adzan adzan adzan…” belasan kali yang membuat saya tersedak lalu tertawa tanpa ampun.

Semoga harinya menyenangkan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar