Menghabiskan hampir seumur hidup di sebuah wilayah tidak otomatis
membuat kita mengenal baik wilayah tersebut. Pasti ada yang terlewat
atau bahkan tidak kenal sama sekali. Selain bisa karena wilayahnya
terlalu luas, bisa juga karena kemampuan menjelajah terbatas atau…
karena sulit memahami sebuah wilayah. Hal ini biasanya dialami oleh
mereka yang mempunyai kemampuan spatial
yang ala kadarnya. Jadi kadang meski sudah berulang kali menjelajah
tempat yang sama, tetap saja arah pintu keluar pasti berbeda dengan
pintu masuk, alias nyasar dan tidak mampu menemukan posisi awal.
Tamat SMP, orang tua saya menyekolahkan saya di sekolah kejuruan di
daerah Benhil. Tiga tahun bolak balik daerah tersebut seharusnya membuat
saya hafal nama-nama gedung di sekitar sekolah tersebut, atau nama
gedung yang selalu saya lewati tiap kali berangkat dan pulang sekolah.
Tapi ternyata bukan jaminan. Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto pun
baru tahu, itupun karena ada keperluan di sana. Kalau tidak ada
keperluan dan ketika ada yang tanya gedung tersebut pada saya,
kemungkinan akan saya jawab, “ha? Emang ada gedung jamsostek di Gatot?”
Beberapa bulan lalu, ketika mendapat panggilan untuk interview di
Kedutaan Kanada di daerah Karet, tiga kali saya melewati gedung yang
saya tuju. Alhasil, pada saat interview hasilnya kacau balau, karena
rasa keki dan cape tidak bisa dihilangkan hanya dalam sekian menit.
Untung tidak telat interview.
Selain menuju ke gedung itu, ada
beberapa pengalaman serupa tapi tak sama yang saya hadapi. Ketika akan
mengajukan visa melalui VFS, tertulis alamatnya Jln. Jendral Sudirman.
Meluncurlah saya dengan Beat kesayangan berisi full bensin ke arah
Sudirman, lanjut Thamrin, Bunderan HI, sampai Sarinah. Blank. Target
lewat. Akhirnya putar balik, tanya pak polisi beberapa kali sambil
menunjukkan alamat lengkap dan nama gedung tersebut. Akhirnya diketahui
bahwa gedung tersebut setelah gedung BEJ. Meluncur….
Betapa
bersyukurnya saya ketika menemukan gedung yang saya maksud. Motor saya
belokan, berniat masuk dan parkir motor, apa daya, banyak gedung di sana
tidak menyediakan area untuk parkir motor. Kalau pun ada, area tersebut
hanya untuk yang langganan. Tak ada jalan lain, terpaksa putar balik
dan mencari parkir liar yang sebelumnya saya lihat. Letaknya agak jauh
dari gedung tujuan, sekitar 3 atau 4 gedung jaraknya, tapi saya tidak
punya pilihan.
Proses yang saya butuhkan untuk membereskan dokumen yang dibutuhkan hanya beberapa menit, nyasarnya dua jam lebih.
Keluar dari gedung, saya bertanya pada abang penunggu parkir liar
tersebut jalan menuju Blok M, satu-satunya patokan saya untuk pulang.
Dengan simpel abang itu mengatakan, “lurus aja mba.” Jadilah saya lurus
di jalur kiri, ketika saya sadar bahwa jalur kiri tidak selamanya untuk
lurus, sudah telat. Saya terbawa arus kendaraan yang belok kiri.
Alhasil, harus putar balik dan kembali melewati gedung tadi dan segera
ambil jalur kanan agar kejadian tidak terulang. Parahnya, sebelumnya
beberapa kali saya melewati daerah tersebut untuk meminjam buku di
Perpustakaan Diknas, sebelah Ratu Plaza. Rasanya dongkol berat, seberat
Pretty Asmara!
Sampai rumah, si Beat haus. Jarum sudah di angka merah hanya dalam waktu sekian jam.
Banyak lagi. Belum terhitung sekian kali nyasar di Robinson Ps. Minggu.
Bayangkan! Tempat sekecil itu cukup membuat saya bingung. Kalau ITC
Cempaka Mas jangan ditanya. Seorang teman sejak sekolah kejuruan bernama
Novi pun nyasar. Ceritanya dia membeli baju anak-anak, tak dinyana
ukurannya kekecilan. Dari Bekasi ke Cempaka Mas berniat menukar baju
keesokan harinya, apa daya, tempat tersebut seperti labirin. Hanya lelah
yang didapat. Cempaka Mas – Bekasi ditempuh tanpa hasil yang
diharapkan.
Banyak orang saya rasa punya rasa bingung yang sama
ketika memasuki area yang besar dan tidak familiar, tapi sebagian dari
mereka mempunyai feeling yang bagus terhadap arah atau mampu
memperkirakan jarak dan ruang, jadi seberapa jauh pun mereka masuk,
pasti mereka mampu menangkap secara visual apa yang telah dilewati dan
posisi awal dengan mudah ditemui.
Saya tidak mempunyai dua duanya.
Ketika masih di akademi, saya dan beberapa teman mengunjungi Mal Kelapa
Gading. Kami semua tidak familiar dengan mal tersebut. Semua bingung.
Sebenarnya ada seorang teman yang mempunyai kemampuan spatial yang baik,
tapi saya dengan bodohnya meyakinkan mereka untuk mengikuti feeling
saya. Dan bodohnya lagi, mereka menurut. Alhasil, kami makin jauh masuk
ke dalam. Buang waktu dan tenaga. Sejak saat itu saya tidak percaya
feeling saya dalam hal menuntun pada jalan yang benar.
Pengalaman terakhir nyasar di Jakarta saya alami dengan seorang teman
bernama Iwan. Mendapat undangan pernikahan dari seorang kawan SMA, pasti
saya sanggupi untuk datang meski tertulis undangan mulai jam 7 malam
sampai jam 9. Berhubung Jakarta bukan tempat yang aman untuk berkendara,
apalagi malam hari, dan ditambah lokasi yang masih belum jelas, saya
putuskan untuk mengajak seorang teman laki-laki untuk menemani saya –
selain menemani nyasar, juga sebagai tameng bila di jalan ada hal yang
tidak diharapkan terjadi. Sedia payung sebelum hujan. Sedia bodyguard
sebelum dipalak. Walaupun saya ragu apakah teman saya ini lebih berani
dari saya bila keadaan genting, meski dia laki-laki (peace Wan hehehe).
Seminggu sebelumnya saya sudah mem-booking Iwan untuk menemani saya.
Alhamdulillah dia bersedia. Saya beri jaminan bahwa saya akan menjemput
dan antar dia dengan selamat sampai di rumah, karena dia tanggung jawab
saya sepanjang jam itu.
Hari itu Iwan baru selesai melakukan
seleksi terakhir pemilihan calon Abang None Jakarta di Jakarta Utara.
Saya sarankan untuk berhenti di stasiun Tanjung Barat agar bisa saya
jemput, mampir sebentar di rumah untuk magriban, lalu jalan menghadiri
resepsi.
Mama tertawa begitu melihat saya yang memboncengi
Iwan, berhubung dia belum bisa mengendarai motor. Saya tidak bermasalah
dengan itu sama sekali. Mama tertawa pun bukan mengejek, hanya merasa
bahagia karena bukan cuma mama yang belum bisa mengendarai motor,
tenyata seorang laki-laki muda pun belum tentu bisa, itu intinya.
Di peta tertulis lokasinya berada di lingkungan DPR/MPR. Pikiran saya
melayang tempat demo, dari Gatot Subroto lurus ke arah Slipi. Tapi adik
saya menyarankan untuk mengambil rute Pondok Indah. Beberapa kali
terpaksa berhenti untuk bertanya. Walaupun akhirnya sampai juga setelah
nyaris 2 jam. Masalah kecil terjadi. Seharusnya belok kanan masuk
gedung, saya lurus karena buta peta, dan Iwan pun idem. Akhirnya motor
numpang parkir di gedung agak jauh dari target. Penjaga gedung dengan
meyakinkan mengatakan, “lurus aja, nanti jalan sekitar 5 menit.”
Kami lurus. 5 menit lewat. Ketika melewati penjaga, sang sekuriti sudah
menebak tujuan kami. Dia mengatakan, “jalan ke arah sana, sekitar 500
meter.” Gubrak!!!
Yah, untungnya masih ada beberapa kawan lama
di sana, termasuk Novi, yang mungkin telah ikhlas menerima bahwa ITC
Cempaka Mas belumlah jadi levelnya untuk hunting toko yang sama :) ,
sama seperti saya.
Dan, untungnya juga, makanan masih tersedia
cukup untuk mengisi perut kami yang mencari alamat kesana kemari,
seperti seorang Ayu Ting Ting yang mencari Alamat Palsu pacarnya. Cukup
pula untuk mengisi tenaga Iwan yang berjuang seharian untuk mencoba
menjadi calon dari Pulau Seribu, dan pasti cukup untuk mengobati
kekecewaannya ketika namanya tidak keluar sebagai wakil dari sana. Well,
see from the bright side. Saya pun begitu. Tak apalah nyasar, minimal
bisa jadi bahan untuk memancing senyum kawan-kawan yang mungkin terlilit
masalah yang pasti tak ada kata akhir.
Semoga menghibur dan have a nice day….
Nyasar tiada bertepi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar