Minggu, 29 Juli 2012

Labirin Raksasa I

Menghabiskan hampir seumur hidup di sebuah wilayah tidak otomatis membuat kita mengenal baik wilayah tersebut. Pasti ada yang terlewat atau bahkan tidak kenal sama sekali. Selain bisa karena wilayahnya terlalu luas, bisa juga karena kemampuan menjelajah terbatas atau… karena sulit memahami sebuah wilayah. Hal ini biasanya dialami oleh mereka yang mempunyai kemampuan spatial yang ala kadarnya. Jadi kadang meski sudah berulang kali menjelajah tempat yang sama, tetap saja arah pintu keluar pasti berbeda dengan pintu masuk, alias nyasar dan tidak mampu menemukan posisi awal.

Tamat SMP, orang tua saya menyekolahkan saya di sekolah kejuruan di daerah Benhil. Tiga tahun bolak balik daerah tersebut seharusnya membuat saya hafal nama-nama gedung di sekitar sekolah tersebut, atau nama gedung yang selalu saya lewati tiap kali berangkat dan pulang sekolah. Tapi ternyata bukan jaminan. Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto pun baru tahu, itupun karena ada keperluan di sana. Kalau tidak ada keperluan dan ketika ada yang tanya gedung tersebut pada saya, kemungkinan akan saya jawab, “ha? Emang ada gedung jamsostek di Gatot?”

Beberapa bulan lalu, ketika mendapat panggilan untuk interview di Kedutaan Kanada di daerah Karet, tiga kali saya melewati gedung yang saya tuju. Alhasil, pada saat interview hasilnya kacau balau, karena rasa keki dan cape tidak bisa dihilangkan hanya dalam sekian menit. Untung tidak telat interview.

Selain menuju ke gedung itu, ada beberapa pengalaman serupa tapi tak sama yang saya hadapi. Ketika akan mengajukan visa melalui VFS, tertulis alamatnya Jln. Jendral Sudirman. Meluncurlah saya dengan Beat kesayangan berisi full bensin ke arah Sudirman, lanjut Thamrin, Bunderan HI, sampai Sarinah. Blank. Target lewat. Akhirnya putar balik, tanya pak polisi beberapa kali sambil menunjukkan alamat lengkap dan nama gedung tersebut. Akhirnya diketahui bahwa gedung tersebut setelah gedung BEJ. Meluncur….

Betapa bersyukurnya saya ketika menemukan gedung yang saya maksud. Motor saya belokan, berniat masuk dan parkir motor, apa daya, banyak gedung di sana tidak menyediakan area untuk parkir motor. Kalau pun ada, area tersebut hanya untuk yang langganan. Tak ada jalan lain, terpaksa putar balik dan mencari parkir liar yang sebelumnya saya lihat. Letaknya agak jauh dari gedung tujuan, sekitar 3 atau 4 gedung jaraknya, tapi saya tidak punya pilihan.

Proses yang saya butuhkan untuk membereskan dokumen yang dibutuhkan hanya beberapa menit, nyasarnya dua jam lebih.
Keluar dari gedung, saya bertanya pada abang penunggu parkir liar tersebut jalan menuju Blok M, satu-satunya patokan saya untuk pulang. Dengan simpel abang itu mengatakan, “lurus aja mba.” Jadilah saya lurus di jalur kiri, ketika saya sadar bahwa jalur kiri tidak selamanya untuk lurus, sudah telat. Saya terbawa arus kendaraan yang belok kiri. Alhasil, harus putar balik dan kembali melewati gedung tadi dan segera ambil jalur kanan agar kejadian tidak terulang. Parahnya, sebelumnya beberapa kali saya melewati daerah tersebut untuk meminjam buku di Perpustakaan Diknas, sebelah Ratu Plaza. Rasanya dongkol berat, seberat Pretty Asmara!

Sampai rumah, si Beat haus. Jarum sudah di angka merah hanya dalam waktu sekian jam.

Banyak lagi. Belum terhitung sekian kali nyasar di Robinson Ps. Minggu. Bayangkan! Tempat sekecil itu cukup membuat saya bingung. Kalau ITC Cempaka Mas jangan ditanya. Seorang teman sejak sekolah kejuruan bernama Novi pun nyasar. Ceritanya dia membeli baju anak-anak, tak dinyana ukurannya kekecilan. Dari Bekasi ke Cempaka Mas berniat menukar baju keesokan harinya, apa daya, tempat tersebut seperti labirin. Hanya lelah yang didapat. Cempaka Mas – Bekasi ditempuh tanpa hasil yang diharapkan.

Banyak orang saya rasa punya rasa bingung yang sama ketika memasuki area yang besar dan tidak familiar, tapi sebagian dari mereka mempunyai feeling yang bagus terhadap arah atau mampu memperkirakan jarak dan ruang, jadi seberapa jauh pun mereka masuk, pasti mereka mampu menangkap secara visual apa yang telah dilewati dan posisi awal dengan mudah ditemui.
Saya tidak mempunyai dua duanya.

Ketika masih di akademi, saya dan beberapa teman mengunjungi Mal Kelapa Gading. Kami semua tidak familiar dengan mal tersebut. Semua bingung. Sebenarnya ada seorang teman yang mempunyai kemampuan spatial yang baik, tapi saya dengan bodohnya meyakinkan mereka untuk mengikuti feeling saya. Dan bodohnya lagi, mereka menurut. Alhasil, kami makin jauh masuk ke dalam. Buang waktu dan tenaga. Sejak saat itu saya tidak percaya feeling saya dalam hal menuntun pada jalan yang benar.

Pengalaman terakhir nyasar di Jakarta saya alami dengan seorang teman bernama Iwan. Mendapat undangan pernikahan dari seorang kawan SMA, pasti saya sanggupi untuk datang meski tertulis undangan mulai jam 7 malam sampai jam 9. Berhubung Jakarta bukan tempat yang aman untuk berkendara, apalagi malam hari, dan ditambah lokasi yang masih belum jelas, saya putuskan untuk mengajak seorang teman laki-laki untuk menemani saya – selain menemani nyasar, juga sebagai tameng bila di jalan ada hal yang tidak diharapkan terjadi. Sedia payung sebelum hujan. Sedia bodyguard sebelum dipalak. Walaupun saya ragu apakah teman saya ini lebih berani dari saya bila keadaan genting, meski dia laki-laki (peace Wan hehehe).

Seminggu sebelumnya saya sudah mem-booking Iwan untuk menemani saya. Alhamdulillah dia bersedia. Saya beri jaminan bahwa saya akan menjemput dan antar dia dengan selamat sampai di rumah, karena dia tanggung jawab saya sepanjang jam itu.

Hari itu Iwan baru selesai melakukan seleksi terakhir pemilihan calon Abang None Jakarta di Jakarta Utara. Saya sarankan untuk berhenti di stasiun Tanjung Barat agar bisa saya jemput, mampir sebentar di rumah untuk magriban, lalu jalan menghadiri resepsi.

Mama tertawa begitu melihat saya yang memboncengi Iwan, berhubung dia belum bisa mengendarai motor. Saya tidak bermasalah dengan itu sama sekali. Mama tertawa pun bukan mengejek, hanya merasa bahagia karena bukan cuma mama yang belum bisa mengendarai motor, tenyata seorang laki-laki muda pun belum tentu bisa, itu intinya.

Di peta tertulis lokasinya berada di lingkungan DPR/MPR. Pikiran saya melayang tempat demo, dari Gatot Subroto lurus ke arah Slipi. Tapi adik saya menyarankan untuk mengambil rute Pondok Indah. Beberapa kali terpaksa berhenti untuk bertanya. Walaupun akhirnya sampai juga setelah nyaris 2 jam. Masalah kecil terjadi. Seharusnya belok kanan masuk gedung, saya lurus karena buta peta, dan Iwan pun idem. Akhirnya motor numpang parkir di gedung agak jauh dari target. Penjaga gedung dengan meyakinkan mengatakan, “lurus aja, nanti jalan sekitar 5 menit.”
Kami lurus. 5 menit lewat. Ketika melewati penjaga, sang sekuriti sudah menebak tujuan kami. Dia mengatakan, “jalan ke arah sana, sekitar 500 meter.” Gubrak!!!

Yah, untungnya masih ada beberapa kawan lama di sana, termasuk Novi, yang mungkin telah ikhlas menerima bahwa ITC Cempaka Mas belumlah jadi levelnya untuk hunting toko yang sama :) , sama seperti saya.

Dan, untungnya juga, makanan masih tersedia cukup untuk mengisi perut kami yang mencari alamat kesana kemari, seperti seorang Ayu Ting Ting yang mencari Alamat Palsu pacarnya. Cukup pula untuk mengisi tenaga Iwan yang berjuang seharian untuk mencoba menjadi calon dari Pulau Seribu, dan pasti cukup untuk mengobati kekecewaannya ketika namanya tidak keluar sebagai wakil dari sana. Well, see from the bright side. Saya pun begitu. Tak apalah nyasar, minimal bisa jadi bahan untuk memancing senyum kawan-kawan yang mungkin terlilit masalah yang pasti tak ada kata akhir.

Semoga menghibur dan have a nice day….
Nyasar tiada bertepi…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar