Minggu, 29 Juli 2012

Rute ke Orleans

Senyum itu bahasa universal. Senyum merupakan salah satu gesture yang seharusnya tetap terpasang entah bagaimana mood kita saat itu. Seharusnya. Namun beberapa orang sulit tersenyum, saya salah satunya, apalagi tersenyum kepada orang yang tidak kita kenal.

Baru 5 hari di kota ini, saya sudah nekat pergi sendirian ke tempat teman, seorang Indonesia yang menikah dengan warga Kanada. Jaraknya sekitar 3 jam dari tempat saya tinggal. Host family dengan was-was mewanti wanti untuk berhati-hati dan dengan detail memberi tahu nomor bis dan dimana saja saya harus transfer bis. Sangat detail info yang dia dapat dari internet.

Tempat pemberhentian bis di sini hanya seperti tiang bendera. Bedanya yang terpasang bukan bendera tapi lempengan besi yang tertulis bis nomor berapa saja yang berhenti di tempat tersebut dan juga nomor telepon operator bis. Jadi tidak bisa melambai dengan santai dimana saya suka seperti yang bisa dilakukan di Jakarta. Bis pasti berhenti bila ada penumpang yang berdiri di sana.

Ketika pintu bis membuka, “good morning,” sapa supir bis ramah. Saya langsung takjub norak dan hanya nyengir kuda lalu mengatakan tujuan saya serta bertanya harga tiket daypass. Bapak supir dengan sabar memberi tahu harga tiket dan menunjukkan berapa jumlah koin 25 sen yang diperlukan selain 7 dollar yang telah saya siapkan.

Day pass ini semacam tiket terusan. Kalau membeli tiket ketengan akan lebih mahal karena jarak yang akan saya tempuh jauh dan harus berganti bis 4 kali (belum termasuk kalau nyasar). Tiket biasa seharga 3.30 dollar. Dengan day pass, saya cukup menunjukkan tiket tersebut ketika naik bis selanjutnya. Lebih irit kan?

Mengetahui bapak supir ramah, lalu saya putuskan untuk bertanya tiap kali saya ganti bis walaupun rute menuju Orleans sudah di tangan. Syaratnya dua: senyum dan “thank you.”

Bis yang pertama saya naiki bernomor 168 jurusan Katimavik. Pemberhentian pertama saya di Lord Byng/ Kanata untuk selanjutnya transfer bis bernomor 96 menuju Stasiun Hurdman. Yang dimaksud stasiun pun bukan untuk kereta api, tapi seperti terminal bis atau halte yang ditandai dengan tiang bendera atau di beberapa pemberhentian bis disediakan bangku . Bedanya bis yang datang sesuai jadwal, kalaupun telat pasti cuma beberapa menit, tapi kalau ketinggalan bis, ya harus menunggu bis selanjutnya, jaraknya bisa 15 atau 30 menit. Operator bis pun hanya satu, yaitu OC Transpo. Jadi kalau berniat menggunakan bis, lebih baik cek duku di internet jadwalnya agar tidak menunggu terlalu lama.

Turun dari bis 168, saya naik bis 96 menuju Stasiun Hurdman. sampai sana sekitar jam 8, matahari cukup cerah, tapi cuacanya dingin, sekitar 10 derajat Celsius. Saya memaki diri saya yang sempat meminum segelas teh sebelum berangkat. Karena minuman tersebut bersifat diuresis, jadilah saya sibuk menahan BAK sementara saya belum tahu berapa lama lagi perjalanan menuju kediaman teman saya tersebut.

Di stasiun Hurdman, pandangan saya tertuju oleh seorang perempuan berkulit hitam yang mengenakan jilbab. Dengan senyum pede, saya mengatakan “hallo.” Jawaban yang didapat hanya senyum sekilas. Jauh dari harapan saya. Well, ternyata jurus senyum tidak bisa selalu lancar. Harapan saya untuk mempunyai teman kandas pada langkah awal.

Bapak supir 96 mengingatkan saya untuk naik bis bernomor 95 jurusan Orleans dan berhenti di Stasiun Jeanne D’arc (baca: jandark) sebelum saya turun. Saya mengucap terima kasih dan dijawab lantang, “you’re welcome.” Cuaca dingin, tapi tanggapan hangat. So lucky.

Turun di stasiun Jeanne D’Arc 1B, sesuai yang saya salin dari internet, saya harus berjalan ke Jeanne D’Arc 3B, yang berada beberapa meter berlawanan dari 1B. dari stasiun tersebut terlihat papan reklame besar berisi pemberitahuan tentang tanggal dan suhu saat itu: 13 derajat Celsius meski matahari terlihat terik .

Hal yang selalu membuat saya takjub di tempat ini salah satunya adalah kebersihan dari tiap stasiun (sebenarnya sejauh ini dimana-mana tidak terlihat sampah yang berserakan). Memang terlihat beberapa koran yang bersebaran, tapi tak ada bungkus permen, atau sampah lain yang sangat mudah ditemui di halte-halte di Jakarta. Tak lama, seorang laki-laki dengan rompi berwarna kuning ngejreng turun dari sebuah van. Ternyata perugas kebersihan. Dalam beberapa menit stasiun bersih tanpa Koran. Wow, pikir saya takjub. Sudah tata kotanya bagus, masyarakatnya pun aware terhadap kebersihan. No comment.

Di stasiun Jeanne D’Arc saya menunggu bis bernomor 131 jurusan Charlemangne/ Valin. Agak lama, makin menyiksa, karena di stasiun besar macam Hurdman tidak ada toilet umum, apalagi di stasiun Jeanne D’Arc yang kecil.

Jarak dari Jeanne D’Arc ke Charlemangne/ Valin sekitar 30 menit. Seperti biasa, tiap kali naik bis pasti saya tanyakan pada pak supir tempat yang saya tuju. Iseng aja karena supirnya ramah-ramah dan terlihat cool dengan seragam plus topi, dasi, beberapa ada yang berkacamata hitam dan memakai sarung tangan. Supir-supir yang masih muda ada yang memakai celana selutut dan sepatu sneaker. Berseragam tapi tetap funky. Tiap bis dilengkapi dengan GPS. Canggih. Norak saya muncul. Oh iya, supirnya dari berbagai macam latar belakang dari mulai orang Caucasian, India, Sikh, China yang sempat saya lihat. Semua sama ramahnya. Selain karena Kanada adalah negara yang cukup ramah terhadap imigran, juga semua petugas dari OC Transpo ini mendapat training yang disebut “race and enthnicity training” secara konstan.

Turun dari 131, saya celingak celinguk mencari Jalan Sunland, alamat kawan saya tersebut. Dua orang perempuan paruh baya terlihat jogging berlawanan arah dengan saya. Mereka bercakap dalam bahasa Perancis, karena memang 2 bahasa yang dipakai; bahasa Inggris dan Perancis. Mereka melewati saya yang sedang bingung. Tak disangka, beberapa detik kemudian mereka berbalik dan menyapa saya, “can I help you?” Tanya salah satu dari mereka. Saya mengangguk. “Can you tell me where the Sundland is?” si Ibu memberi arah, mengulang kembali dengan lambat– dia tahu saya bukan penutur bahasa Inggris asli. Saya mengucap terima kasih lalu mencari alamat yang dituju.

Sedikit membingungkan, apalagi ditambah dengan keinginan BAK yang besar di cuaca yang sedikit dingin. Akhirnya yang sedikit-sedikit itu menjadi besar dan memusingkan. Saya putuskan untuk menelpon teman saya tersebut. Karena walaupun saya menemukan jalan Sunland, tapi nomor rumah yang saya lihat bernomor 1800an, sementara nomor rumah kawan saya 2000an dan nomor rumah di sini berurutan. Ga akan ada yang rela berjalan menyusuri sekitar 200 rumah dalam keadaan seperti itu.

Di tengah kebingungan, sebuah mobil berhenti di depan saya dan seorang laki-laki dengan riang menyapa, “hi, Sarah.” Saya melongo, tak berapa lama saya baru sadar bahwa pertolongan dalam bentuk suami dari teman saya menjemput dengan mobilnya telah datang. Dengan mudah dia mengenali saya karena, “easy, the only person who is wearing head cover like that on that street is only you.” Saya dan istrinya hanya tersenyum. Benar juga, sebenarnya pertanyaan saya dalam hati tadi, “kok dia bisa tahu?” sangat mudah dianalisa dan dijawab.

Rencana awal saya meninggalkan rumah kawan saya pukul 13.00, tapi karena senang ada teman sesama Indonesia, jadilah beberapa jam terasa cepat. Selain itu, kebetulan hari itu jatuh ulang tahun saya, ternyata Mbak Dian tau dan membuat cake. Wow. Sebelumnya satu-satunya ‘perayaan’ ulang tahun yang saya punya adalah ketika SMA, di mana beberapa teman membuat ‘perayaan’ kecil dengan memecahkan telur dan menebar terigu di kepala saya. Menjengkelkan pada saat itu, tapi kalau dikenang lagi, moment tersebut dirindukan. Yah, selain ‘perayaan’ ala anak ABG, cake pada ulang tahun pada tahun ini terasa lebih special (terima kasih banyak kepada Mbak Dian dan Hall, her lovely hubby, awet terus dan semoga diberi kelancaran menjalankan biduk rumah tangga sampai akhir. Amiiin ya rabbalalamin).

Meski saya molor beberapa jam dari jadwal saya pulang, toh saya masih tetap berniat mampir ke sebuah toko yang menjual makanan, bumbu masak, dan barang-barang rumah tangga asal Asia. Namanya Asian Store. Saya hanya membeli tiga bungkus Indomie yang baru habis dua minggu kemudian. Selain karena memang tidak menyehatkan makan mie instan bila berlebihan, niat mengirit juga ada, karena harganya berlipat dibanding di Jakarta.

Mampir di toko tersebut menimbulkan efek yang membingungkan karena apa yang tertulis di kertas, tentang stasiun mana tempat saya seharusnya menunggu bis untuk pulang, jadi kacau. Saya bahkan tidak tahu dimana saya berada – pastinya. Tapi dengan still yakin, saya yang saat itu berdua dengan Mbak Dian, berpisah di situ dan saya meyakinkan dia – dan yang pasti diri saya sendiri – bahwa saya tau jalan pulang.

Tak begitu sulit sebenarnya, karena 131, bis terakhir yang membawa saya ke Oleans lewat di sana. Naik bis, seperti biasa, langsung saya katakan tujuan saya pada Pak Supir dan minta tolong diberitahu dimana saya harus turun. Alhamdulillah saya bisa juga sampai di rumah host family meski dalam 4 jam, karena saya terlewat beberapa stasiun jadi terpaksa turun dan mengambil arah balik. Pengalaman yang menyebalkan, tapi sangat bermanfaat karena keledai pun tak akan jatuh di lubang yang sama. Apalagi saya. Lain kali, ketika saya berjalan-jalan lagi, insha Allah say No to nyasar. Well, paling tidak, tidak nyasar di rute tadi.

Dunia ini sebesar ini tak akan habis meski kita menjelajahinya sepanjang hidup kita. Walaupun berbeda dalam banyak hal, seharusnya tidak menjadikan halangan untuk berbaur. Bukankan sudah dituliskan di kitab suci bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal?

Sukses untuk semua ya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar