Senyum itu bahasa universal. Senyum merupakan salah satu gesture yang
seharusnya tetap terpasang entah bagaimana mood kita saat itu.
Seharusnya. Namun beberapa orang sulit tersenyum, saya salah satunya,
apalagi tersenyum kepada orang yang tidak kita kenal.
Baru 5 hari di kota ini, saya sudah nekat pergi sendirian ke tempat teman, seorang Indonesia yang menikah dengan warga
Kanada. Jaraknya sekitar 3 jam dari tempat saya tinggal. Host family
dengan was-was mewanti wanti untuk berhati-hati dan dengan detail
memberi tahu nomor bis dan dimana saja saya harus transfer bis. Sangat
detail info yang dia dapat dari internet.
Tempat pemberhentian
bis di sini hanya seperti tiang bendera. Bedanya yang terpasang bukan
bendera tapi lempengan besi yang tertulis bis nomor berapa saja yang
berhenti di tempat tersebut dan juga nomor telepon operator bis. Jadi
tidak bisa melambai dengan santai dimana saya suka seperti yang bisa
dilakukan di Jakarta. Bis pasti berhenti bila ada penumpang yang berdiri
di sana.
Ketika pintu bis membuka, “good morning,” sapa supir
bis ramah. Saya langsung takjub norak dan hanya nyengir kuda lalu
mengatakan tujuan saya serta bertanya harga tiket daypass. Bapak supir
dengan sabar memberi tahu harga tiket dan menunjukkan berapa jumlah koin
25 sen yang diperlukan selain 7 dollar yang telah saya siapkan.
Day pass ini semacam tiket terusan. Kalau membeli tiket ketengan akan
lebih mahal karena jarak yang akan saya tempuh jauh dan harus berganti
bis 4 kali (belum termasuk kalau nyasar). Tiket biasa seharga 3.30
dollar. Dengan day pass, saya cukup menunjukkan tiket tersebut ketika
naik bis selanjutnya. Lebih irit kan?
Mengetahui bapak supir
ramah, lalu saya putuskan untuk bertanya tiap kali saya ganti bis
walaupun rute menuju Orleans sudah di tangan. Syaratnya dua: senyum dan
“thank you.”
Bis yang pertama saya naiki bernomor 168 jurusan
Katimavik. Pemberhentian pertama saya di Lord Byng/ Kanata untuk
selanjutnya transfer bis bernomor 96 menuju Stasiun Hurdman. Yang
dimaksud stasiun pun bukan untuk kereta api, tapi seperti terminal bis
atau halte yang ditandai dengan tiang bendera atau di beberapa
pemberhentian bis disediakan bangku . Bedanya bis yang datang sesuai
jadwal, kalaupun telat pasti cuma beberapa menit, tapi kalau ketinggalan
bis, ya harus menunggu bis selanjutnya, jaraknya bisa 15 atau 30 menit.
Operator bis pun hanya satu, yaitu OC Transpo. Jadi kalau berniat
menggunakan bis, lebih baik cek duku di internet jadwalnya agar tidak
menunggu terlalu lama.
Turun dari bis 168, saya naik bis 96
menuju Stasiun Hurdman. sampai sana sekitar jam 8, matahari cukup cerah,
tapi cuacanya dingin, sekitar 10 derajat Celsius. Saya memaki diri saya
yang sempat meminum segelas teh sebelum berangkat. Karena minuman
tersebut bersifat diuresis, jadilah saya sibuk menahan BAK sementara
saya belum tahu berapa lama lagi perjalanan menuju kediaman teman saya
tersebut.
Di stasiun Hurdman, pandangan saya tertuju oleh
seorang perempuan berkulit hitam yang mengenakan jilbab. Dengan senyum
pede, saya mengatakan “hallo.” Jawaban yang didapat hanya senyum
sekilas. Jauh dari harapan saya. Well, ternyata jurus senyum tidak bisa
selalu lancar. Harapan saya untuk mempunyai teman kandas pada langkah
awal.
Bapak supir 96 mengingatkan saya untuk naik bis bernomor
95 jurusan Orleans dan berhenti di Stasiun Jeanne D’arc (baca: jandark)
sebelum saya turun. Saya mengucap terima kasih dan dijawab lantang,
“you’re welcome.” Cuaca dingin, tapi tanggapan hangat. So lucky.
Turun di stasiun Jeanne D’Arc 1B, sesuai yang saya salin dari internet,
saya harus berjalan ke Jeanne D’Arc 3B, yang berada beberapa meter
berlawanan dari 1B. dari stasiun tersebut terlihat papan reklame besar
berisi pemberitahuan tentang tanggal dan suhu saat itu: 13 derajat
Celsius meski matahari terlihat terik .
Hal yang selalu
membuat saya takjub di tempat ini salah satunya adalah kebersihan dari
tiap stasiun (sebenarnya sejauh ini dimana-mana tidak terlihat sampah
yang berserakan). Memang terlihat beberapa koran yang bersebaran, tapi
tak ada bungkus permen, atau sampah lain yang sangat mudah ditemui di
halte-halte di Jakarta. Tak lama, seorang laki-laki dengan rompi
berwarna kuning ngejreng turun dari sebuah van. Ternyata perugas
kebersihan. Dalam beberapa menit stasiun bersih tanpa Koran. Wow, pikir
saya takjub. Sudah tata kotanya bagus, masyarakatnya pun aware terhadap
kebersihan. No comment.
Di stasiun Jeanne D’Arc saya menunggu
bis bernomor 131 jurusan Charlemangne/ Valin. Agak lama, makin menyiksa,
karena di stasiun besar macam Hurdman tidak ada toilet umum, apalagi di
stasiun Jeanne D’Arc yang kecil.
Jarak dari Jeanne D’Arc ke
Charlemangne/ Valin sekitar 30 menit. Seperti biasa, tiap kali naik bis
pasti saya tanyakan pada pak supir tempat yang saya tuju. Iseng aja
karena supirnya ramah-ramah dan terlihat cool dengan seragam plus topi,
dasi, beberapa ada yang berkacamata hitam dan memakai sarung tangan.
Supir-supir yang masih muda ada yang memakai celana selutut dan sepatu
sneaker. Berseragam tapi tetap funky. Tiap bis dilengkapi dengan GPS.
Canggih. Norak saya muncul. Oh iya, supirnya dari berbagai macam latar
belakang dari mulai orang Caucasian, India, Sikh, China yang sempat saya
lihat. Semua sama ramahnya. Selain karena Kanada adalah negara yang
cukup ramah terhadap imigran, juga semua petugas dari OC Transpo ini
mendapat training yang disebut “race and enthnicity training” secara
konstan.
Turun dari 131, saya celingak celinguk mencari Jalan
Sunland, alamat kawan saya tersebut. Dua orang perempuan paruh baya
terlihat jogging berlawanan arah dengan saya. Mereka bercakap dalam
bahasa Perancis, karena memang 2 bahasa yang dipakai; bahasa Inggris dan
Perancis. Mereka melewati saya yang sedang bingung. Tak disangka,
beberapa detik kemudian mereka berbalik dan menyapa saya, “can I help
you?” Tanya salah satu dari mereka. Saya mengangguk. “Can you tell me
where the Sundland is?” si Ibu memberi arah, mengulang kembali dengan
lambat– dia tahu saya bukan penutur bahasa Inggris asli. Saya mengucap
terima kasih lalu mencari alamat yang dituju.
Sedikit
membingungkan, apalagi ditambah dengan keinginan BAK yang besar di cuaca
yang sedikit dingin. Akhirnya yang sedikit-sedikit itu menjadi besar
dan memusingkan. Saya putuskan untuk menelpon teman saya tersebut.
Karena walaupun saya menemukan jalan Sunland, tapi nomor rumah yang saya
lihat bernomor 1800an, sementara nomor rumah kawan saya 2000an dan
nomor rumah di sini berurutan. Ga akan ada yang rela berjalan menyusuri
sekitar 200 rumah dalam keadaan seperti itu.
Di tengah
kebingungan, sebuah mobil berhenti di depan saya dan seorang laki-laki
dengan riang menyapa, “hi, Sarah.” Saya melongo, tak berapa lama saya
baru sadar bahwa pertolongan dalam bentuk suami dari teman saya
menjemput dengan mobilnya telah datang. Dengan mudah dia mengenali saya
karena, “easy, the only person who is wearing head cover like that on
that street is only you.” Saya dan istrinya hanya tersenyum. Benar juga,
sebenarnya pertanyaan saya dalam hati tadi, “kok dia bisa tahu?” sangat
mudah dianalisa dan dijawab.
Rencana awal saya meninggalkan
rumah kawan saya pukul 13.00, tapi karena senang ada teman sesama
Indonesia, jadilah beberapa jam terasa cepat. Selain itu, kebetulan hari
itu jatuh ulang tahun saya, ternyata Mbak Dian tau dan membuat cake.
Wow. Sebelumnya satu-satunya ‘perayaan’ ulang tahun yang saya punya
adalah ketika SMA, di mana beberapa teman membuat ‘perayaan’ kecil
dengan memecahkan telur dan menebar terigu di kepala saya. Menjengkelkan
pada saat itu, tapi kalau dikenang lagi, moment tersebut dirindukan.
Yah, selain ‘perayaan’ ala anak ABG, cake pada ulang tahun pada tahun
ini terasa lebih special (terima kasih banyak kepada Mbak Dian dan Hall,
her lovely hubby, awet terus dan semoga diberi kelancaran menjalankan
biduk rumah tangga sampai akhir. Amiiin ya rabbalalamin).
Meski
saya molor beberapa jam dari jadwal saya pulang, toh saya masih tetap
berniat mampir ke sebuah toko yang menjual makanan, bumbu masak, dan
barang-barang rumah tangga asal Asia. Namanya Asian Store. Saya hanya
membeli tiga bungkus Indomie yang baru habis dua minggu kemudian. Selain
karena memang tidak menyehatkan makan mie instan bila berlebihan, niat
mengirit juga ada, karena harganya berlipat dibanding di Jakarta.
Mampir di toko tersebut menimbulkan efek yang membingungkan karena apa
yang tertulis di kertas, tentang stasiun mana tempat saya seharusnya
menunggu bis untuk pulang, jadi kacau. Saya bahkan tidak tahu dimana
saya berada – pastinya. Tapi dengan still yakin, saya yang saat itu
berdua dengan Mbak Dian, berpisah di situ dan saya meyakinkan dia – dan
yang pasti diri saya sendiri – bahwa saya tau jalan pulang.
Tak
begitu sulit sebenarnya, karena 131, bis terakhir yang membawa saya ke
Oleans lewat di sana. Naik bis, seperti biasa, langsung saya katakan
tujuan saya pada Pak Supir dan minta tolong diberitahu dimana saya harus
turun. Alhamdulillah saya bisa juga sampai di rumah host family meski
dalam 4 jam, karena saya terlewat beberapa stasiun jadi terpaksa turun
dan mengambil arah balik. Pengalaman yang menyebalkan, tapi sangat
bermanfaat karena keledai pun tak akan jatuh di lubang yang sama.
Apalagi saya. Lain kali, ketika saya berjalan-jalan lagi, insha Allah
say No to nyasar. Well, paling tidak, tidak nyasar di rute tadi.
Dunia ini sebesar ini tak akan habis meski kita menjelajahinya
sepanjang hidup kita. Walaupun berbeda dalam banyak hal, seharusnya
tidak menjadikan halangan untuk berbaur. Bukankan sudah dituliskan di
kitab suci bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal?
Sukses untuk semua ya….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar