Banyak orang yang membantu saya dalam belajar bahasa asing ini, terutama
teman di dalam klub-klub tersebut. Saya masih tetap bersilaturahim -
meski hanya lewat fesbuk - dengan beberapa orang dari mereka, salah
satunya dengan seorang teman yang asli Flores, berambut gimbal, berkulit
eksotis (kata orang caucasian, tapi menurut saya sangat 'biasa' hahaha, peace bro), Namanya Evan.
Pertama kali saya bertemu dengan Evan adalah ketika dia menjadi penjual
tiket seminar. Ceritanya di NRC beberapa kali diadakan seminar dalam
Bahasa Inggris. Pembicaranya beragam. Pertama dan terakhir kali saya
ikut seminar yang diadakan mereka, saat itu pembicaranya ada seorang
penyiar radio, runner-up putri Indonesia (saya lupa tahun berapa), dan
seorang pemerhati media (kalau ga salah ingat).
Saat itu Evan,
duduk berdua dengan anggota yang lain, membuka lapaknya tepat di dekat
pintu masuk kampus - saat itu saya masih kuliah di daerah Jatinegara -
dia menjelaskan tentang seminarnya dengan sedikit gugup, siapa pun akan
mudah menebak kalau hal yang sedang dilakukannya adalah hal yang baru.
Saya tertarik dan membeli tiketnya.
Seminarnya cukup bagus, kalau ga salah tentang media. Selebihnya, saya lupa - maap. Kapasitas memori terbatas bo...
Nah, setelah itu pertemanan berlanjut. Seingat saya karena kami
sama-sama anggota komite dari klub Bahasa Inggris di sana, walaupun dari
klub yang berbeda.
Kebetulan saat itu menjelang puasa
Ramadhan. Saat itu, institusi ingin mengadakan buka puasa bersama dengan
anak-anak yatim. Anggota klub dilibatkan. Termasuk saya dan Evan. Kami
ditugaskan untuk mengirimkan proposal kebeberapa perusahaan atau bank
demi menunjang acara tersebut. Saya dipasangkan dengan Evan. Mungkin
sejak saat itulah kami berteman lebih baik dan saling share ketika
masing-masing mempunyai masalah.
Ada dua hal menarik tentang
Evan. Yang pertama adalah tekadnya dalam belajar Bahasa Inggris. Evan
saat itu baru datang ke Jakarta. Seorang teman mengatakan bahwa saat
itu, jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia pun dia masih belum
lancar, tapi dalam beberapa bulan dua bahasa itu berhasil dikuasai dalam
waktu singkat, meninggalkan kami yang telah lebih lama belajar Bahasa
asing ini, secara formal maupun informal.
Itu yang pertama.
Yang kedua adalah namanya.
Ini hal yang unik.
Dulu saya berpikir nama aslinya adalah Evan Sanders, atau Evan
Sullivan, atau Evan Donnovan. Ternyata salah besar saudara-saudara!
Nama aslinya terungkap tidak sengaja ketika Evan bergabung dengan SMC.
Saya lupa topik apa yang sedang dibahas, tapi saat itu, entah siapa yang
memulai, membuka percakapan tentang nama. Terungkaplah nama aslinya
yang tidak sedikitpun berbau 'Evan.' Sedikit dijadikan jokes oleh yang
lain, tapi berhubung Evan termasuk orang yang lapang dada, dia ikut
tertawa. Nama aslinya Evan? Off the record ya....
Awalnya Evan
ini kuliah mengambil jurusan Kesehatan. Sekali saya menemani dia
mendaftar kuliah, saya tahu dengan pasti tempatnya karena saya lulus
dari akademi disana beberapa tahun sebelumnya.
Ternyata Evan
hanya bertahan dalam hitungan bulan disana. Bukan karena dia tidak mampu
mengikuti perkuliahan, tapi hatinya tidak 'klik' dengan jurusan
tersebut. It's all about your heart. Mungkin kita bisa membohongi orang
lain, tapi dua hal yang tidak bisa kita bohongi: Yang Maha Kuasa dan
hati kita.
Suatu ketika Evan mengatakan ketertarikannya yang
lebih mendalam kepada bahasa asing. Dia mengatakan puluhan kali tentang
keinginannya bersekolah di sebuah akademi pariwisata dan bekerja di
sebuah kapal pesiar. Berkali-kali dia mengatakan ingin pindah dari
akademi kesehatan dan pindah ke pariwisata dan berkali-kali juga dia
urungkan karena adanya sebuah hal yang sulit dilangkahi.
Liburan semester saat itu sudah hampir habis, Evan menelepon saya dan
mengatakan tentang keinginannya untuk kesekian kalinya. Biasanya saya
memberi dukungan, tapi pada saat itu saya hanya tertawa, bukan mengejek,
tapi sedikit sedih, karena tahu pendaftaran untuk sekolah sudah nyaris
ditutup. Itu artinya kesempatan untuk pindah sekolah menipis, dan.....
mimpi bisa jadi tertunda untuk jangka waktu yang lama dan bukan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya. Saya pikir itulah yang akan terjadi.
Saya ternyata salah. Laki-laki hitam ini mempunyai nyali dan keinginan
yang gigantic.
Satu hari setelah saya mengira bahwa
kesempatannya untuk mengejar mimpinya sudah tamat, dia menelepon dengan
suara pelan dan terbata, tidak seperti biasanya. Dia mengatakan bahwa
uang yang diberikan oleh kakaknya untuk membayar semester selanjutnya
sudah dipakai untuk mendaftar sekolah pariwisata. Saya tercekat dan
salut. Saya tahu seberapa garang kakaknya dalam soal ini, dan tak heran
Evan menolak memberi tahu apa yang kakaknya katakan. Dia terdengar
trauma. Tapi kalau kata orang bule, it's worthy. Yes, it is.
Setahun Evan menempuh sekolah pariwisata dan training di Bali, sejak
saat itulah saya jarang bergabung dengan klub. Berkurang teman yang
'klik.'
Beberapa bulan kemudian Evan kembali ke Jakarta,
mencari celah untuk bekerja di sebuah kapal pesiar. Dia mendapatkan
kesempatan itu. Latar belakang pendidikannya memungkinkan, bahasa
Inggrisnya excellent, kata orang bule, tapi Yang Maha Kuasa punya
rencana lain, yang pasti yang lebih baik, walaupun awalnya sangat pahit
bagi Evan.
Evan lolos hampir semua tes. Saya ikut senang,
walaupun sempat sedih juga ketika membayangkan bahwa saya akan
kehilangan seorang teman baik. Tapi membayangkan Evan bekerja di sebuah
tempat yang sesuai mimpinya, saya merasa seolah-olah saya yang berhasil
meraih mimpi saya. Berulang kali saya katakan, "lu jangan lupain gue
ya... kalau udah disana. Ntar kaya Andra lagi, ga inget temen di
Indonesia lagi." Biasanya dia menjawab, "nggak lah, saya ga kaya gitu."
Andra dulunya salah seorang komite di SMC, setahun sebelumnya dia
mendapat pekerjaan di Kuwait, beberapa kali dia on line di YM atau
tagged, tapi tidak pernah menyapa, kalaupun disapa, responnya selalu
lama dan hanya singkat. Tak ada kabar darinya sampai sekarang. Tapi kami
yakin bahwa dia baik-baik saja - seperti lagu Pingkan Mambo.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, begitu istilahnya,
begitu pula yang terjadi dengan Evan. Semua tes dilalui dengan mulus,
tapi tidak dengan tes kesehatan. Ada sebuah virus dalam darahnya yang
tidak memungkinkan dia untuk bekerja di luar. Secara fisik dia oke,
apalagi dia rajin membentuk tubuh di gym, yang membuatnya menjadi magnet
bule girls di Bali, tempatnya kini bekerja, tapi hasil tes laboraturium
menjadi satu penghambat yang harus diterima, dan bukan peforma fisik.
Sulit dilukiskan keadaannya, kalau ada istilah the sedihest dalam
bahasa Indonesia, bisa jadi itu kata yang nyaris tepat untuk
menggambarkan perasaannya. Saya merasakan sedih yang sama, tapi tidak
ada seorang pun yang akan mampu menyelami perasaannya selain Evan
sendiri. Dan tidak ada seorang pun yang akan mampu mendorongnya untuk
tegak berdiri kembali selain Evan sendiri. He did.
Tak berapa
lama setelah itu, dia bangkit perlahan, mencoba melihat semua dari sisi
baiknya, semua sudah direncanakan oleh- Nya. Pasrah dan berusaha.
Sempat beberapa lama di Jakarta setelah magang sekian bulan di Bali,
Evan memutuskan kembali ke Bali. Dia bekerja sebagai salesman di salah
satu perusahaan jasa turisme disana. Saya yakin bahwa caranya menawarkan
sebuah produk pasti jauh berbeda dengan Evan yang dulu saya kenal
pertama kali ketika menawarkan seminar.
No doubt. Buktinya,
teman-teman di fesbuknya banyak orang asing yang pernah jadi customernya
dan bahkan sebuah keluarga dari Australia tetap menjalin silaturahim
dengannya. Sampai sekarang. Entah episode apalagi yang akan terjadi
dikehidupan Evan, tapi dengan sifatnya yang ramah, dan pantang menyerah,
dengan izin Yang Maha Kuasa, semuanya akan mudah diatasi.
Sukses untuk kita semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar