Minggu, 29 Juli 2012

Tentang Seorang Teman

Banyak orang yang membantu saya dalam belajar bahasa asing ini, terutama teman di dalam klub-klub tersebut. Saya masih tetap bersilaturahim - meski hanya lewat fesbuk - dengan beberapa orang dari mereka, salah satunya dengan seorang teman yang asli Flores, berambut gimbal, berkulit eksotis (kata orang caucasian, tapi menurut saya sangat 'biasa' hahaha, peace bro), Namanya Evan.

Pertama kali saya bertemu dengan Evan adalah ketika dia menjadi penjual tiket seminar. Ceritanya di NRC beberapa kali diadakan seminar dalam Bahasa Inggris. Pembicaranya beragam. Pertama dan terakhir kali saya ikut seminar yang diadakan mereka, saat itu pembicaranya ada seorang penyiar radio, runner-up putri Indonesia (saya lupa tahun berapa), dan seorang pemerhati media (kalau ga salah ingat).

Saat itu Evan, duduk berdua dengan anggota yang lain, membuka lapaknya tepat di dekat pintu masuk kampus - saat itu saya masih kuliah di daerah Jatinegara - dia menjelaskan tentang seminarnya dengan sedikit gugup, siapa pun akan mudah menebak kalau hal yang sedang dilakukannya adalah hal yang baru. Saya tertarik dan membeli tiketnya.

Seminarnya cukup bagus, kalau ga salah tentang media. Selebihnya, saya lupa - maap. Kapasitas memori terbatas bo...

Nah, setelah itu pertemanan berlanjut. Seingat saya karena kami sama-sama anggota komite dari klub Bahasa Inggris di sana, walaupun dari klub yang berbeda.

Kebetulan saat itu menjelang puasa Ramadhan. Saat itu, institusi ingin mengadakan buka puasa bersama dengan anak-anak yatim. Anggota klub dilibatkan. Termasuk saya dan Evan. Kami ditugaskan untuk mengirimkan proposal kebeberapa perusahaan atau bank demi menunjang acara tersebut. Saya dipasangkan dengan Evan. Mungkin sejak saat itulah kami berteman lebih baik dan saling share ketika masing-masing mempunyai masalah.

Ada dua hal menarik tentang Evan. Yang pertama adalah tekadnya dalam belajar Bahasa Inggris. Evan saat itu baru datang ke Jakarta. Seorang teman mengatakan bahwa saat itu, jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia pun dia masih belum lancar, tapi dalam beberapa bulan dua bahasa itu berhasil dikuasai dalam waktu singkat, meninggalkan kami yang telah lebih lama belajar Bahasa asing ini, secara formal maupun informal.

Itu yang pertama.

Yang kedua adalah namanya.
Ini hal yang unik.
Dulu saya berpikir nama aslinya adalah Evan Sanders, atau Evan Sullivan, atau Evan Donnovan. Ternyata salah besar saudara-saudara!

Nama aslinya terungkap tidak sengaja ketika Evan bergabung dengan SMC. Saya lupa topik apa yang sedang dibahas, tapi saat itu, entah siapa yang memulai, membuka percakapan tentang nama. Terungkaplah nama aslinya yang tidak sedikitpun berbau 'Evan.' Sedikit dijadikan jokes oleh yang lain, tapi berhubung Evan termasuk orang yang lapang dada, dia ikut tertawa. Nama aslinya Evan? Off the record ya....

Awalnya Evan ini kuliah mengambil jurusan Kesehatan. Sekali saya menemani dia mendaftar kuliah, saya tahu dengan pasti tempatnya karena saya lulus dari akademi disana beberapa tahun sebelumnya.

Ternyata Evan hanya bertahan dalam hitungan bulan disana. Bukan karena dia tidak mampu mengikuti perkuliahan, tapi hatinya tidak 'klik' dengan jurusan tersebut. It's all about your heart. Mungkin kita bisa membohongi orang lain, tapi dua hal yang tidak bisa kita bohongi: Yang Maha Kuasa dan hati kita.

Suatu ketika Evan mengatakan ketertarikannya yang lebih mendalam kepada bahasa asing. Dia mengatakan puluhan kali tentang keinginannya bersekolah di sebuah akademi pariwisata dan bekerja di sebuah kapal pesiar. Berkali-kali dia mengatakan ingin pindah dari akademi kesehatan dan pindah ke pariwisata dan berkali-kali juga dia urungkan karena adanya sebuah hal yang sulit dilangkahi.

Liburan semester saat itu sudah hampir habis, Evan menelepon saya dan mengatakan tentang keinginannya untuk kesekian kalinya. Biasanya saya memberi dukungan, tapi pada saat itu saya hanya tertawa, bukan mengejek, tapi sedikit sedih, karena tahu pendaftaran untuk sekolah sudah nyaris ditutup. Itu artinya kesempatan untuk pindah sekolah menipis, dan..... mimpi bisa jadi tertunda untuk jangka waktu yang lama dan bukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Saya pikir itulah yang akan terjadi. Saya ternyata salah. Laki-laki hitam ini mempunyai nyali dan keinginan yang gigantic.

Satu hari setelah saya mengira bahwa kesempatannya untuk mengejar mimpinya sudah tamat, dia menelepon dengan suara pelan dan terbata, tidak seperti biasanya. Dia mengatakan bahwa uang yang diberikan oleh kakaknya untuk membayar semester selanjutnya sudah dipakai untuk mendaftar sekolah pariwisata. Saya tercekat dan salut. Saya tahu seberapa garang kakaknya dalam soal ini, dan tak heran Evan menolak memberi tahu apa yang kakaknya katakan. Dia terdengar trauma. Tapi kalau kata orang bule, it's worthy. Yes, it is.

Setahun Evan menempuh sekolah pariwisata dan training di Bali, sejak saat itulah saya jarang bergabung dengan klub. Berkurang teman yang 'klik.'

Beberapa bulan kemudian Evan kembali ke Jakarta, mencari celah untuk bekerja di sebuah kapal pesiar. Dia mendapatkan kesempatan itu. Latar belakang pendidikannya memungkinkan, bahasa Inggrisnya excellent, kata orang bule, tapi Yang Maha Kuasa punya rencana lain, yang pasti yang lebih baik, walaupun awalnya sangat pahit bagi Evan.

Evan lolos hampir semua tes. Saya ikut senang, walaupun sempat sedih juga ketika membayangkan bahwa saya akan kehilangan seorang teman baik. Tapi membayangkan Evan bekerja di sebuah tempat yang sesuai mimpinya, saya merasa seolah-olah saya yang berhasil meraih mimpi saya. Berulang kali saya katakan, "lu jangan lupain gue ya... kalau udah disana. Ntar kaya Andra lagi, ga inget temen di Indonesia lagi." Biasanya dia menjawab, "nggak lah, saya ga kaya gitu."

Andra dulunya salah seorang komite di SMC, setahun sebelumnya dia mendapat pekerjaan di Kuwait, beberapa kali dia on line di YM atau tagged, tapi tidak pernah menyapa, kalaupun disapa, responnya selalu lama dan hanya singkat. Tak ada kabar darinya sampai sekarang. Tapi kami yakin bahwa dia baik-baik saja - seperti lagu Pingkan Mambo.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, begitu istilahnya, begitu pula yang terjadi dengan Evan. Semua tes dilalui dengan mulus, tapi tidak dengan tes kesehatan. Ada sebuah virus dalam darahnya yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja di luar. Secara fisik dia oke, apalagi dia rajin membentuk tubuh di gym, yang membuatnya menjadi magnet bule girls di Bali, tempatnya kini bekerja, tapi hasil tes laboraturium menjadi satu penghambat yang harus diterima, dan bukan peforma fisik.

Sulit dilukiskan keadaannya, kalau ada istilah the sedihest dalam bahasa Indonesia, bisa jadi itu kata yang nyaris tepat untuk menggambarkan perasaannya. Saya merasakan sedih yang sama, tapi tidak ada seorang pun yang akan mampu menyelami perasaannya selain Evan sendiri. Dan tidak ada seorang pun yang akan mampu mendorongnya untuk tegak berdiri kembali selain Evan sendiri. He did.

Tak berapa lama setelah itu, dia bangkit perlahan, mencoba melihat semua dari sisi baiknya, semua sudah direncanakan oleh- Nya. Pasrah dan berusaha.

Sempat beberapa lama di Jakarta setelah magang sekian bulan di Bali, Evan memutuskan kembali ke Bali. Dia bekerja sebagai salesman di salah satu perusahaan jasa turisme disana. Saya yakin bahwa caranya menawarkan sebuah produk pasti jauh berbeda dengan Evan yang dulu saya kenal pertama kali ketika menawarkan seminar.

No doubt. Buktinya, teman-teman di fesbuknya banyak orang asing yang pernah jadi customernya dan bahkan sebuah keluarga dari Australia tetap menjalin silaturahim dengannya. Sampai sekarang. Entah episode apalagi yang akan terjadi dikehidupan Evan, tapi dengan sifatnya yang ramah, dan pantang menyerah, dengan izin Yang Maha Kuasa, semuanya akan mudah diatasi.

Sukses untuk kita semua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar