Minggu, 29 Juli 2012

Pusaran Kebingungan

Menunggu adalah hal yang menjengkelkan bagi hampir semua orang. Mungkin satu-satunya orang yang suka menunggu adalah Ridho Irama, karena dengan menunggumu, ia mendapatkan support financial, dalam bentuk penjualan album tentunya. Yah, ini menunggu dalam arti yang sesungguhnya. Menunggu antrian di kasir, menunggu hujan berhenti, menunggu bis, menunggu pacar, sama. Semuanya menjemukan. Melakukan sesuatu yang menyebalkan selama beberapa menit terasa beberapa jam.

Hal itu saya alami. Berkali-kali. Tapi kalau mau jujur sih, saya juga sering menyebabkan teman lain menunggu akibat dari budaya jam karet yang sudah masuk terlalu jauh dan bercampur dengan darah saya. Mencoba untuk menghilangkan, tapi rasanya sama susahnya seperti berhenti merokok pada perokok kronis.

Ketika saya mendapatkan telepon dari pihak VFS bahwa visa saya di telah selesai, saat itulah saya mengontak host family dan memberitahu tentang hal itu. Singkatnya, mereka segera mengecek penerbangan ke Ottawa dan mengirim email, menanyakan konfirmasi saya tentang tiket yang akan dipesan. Tertulis bahwa saya akan transit dua kali, di Narita, Jepang dan Toronto. Mereka katakan bahwa ada penerbangan lain mengharuskan saya transit di negeri Paman Sam, dan itu mustahil karena walaupun hanya transit, tetap saja penduduk Indonesia dan beberapa negara lain membutuhkan visa Amerika. Jadilah saya transit si Jepang.

Saya katakan pada keluarga tersebut bahwa saya tidak bermasalah dengan itu. Jadilah tiket dan jadwal penerbangan dikirim melalui email. Tertulis berangkat tanggal 1 Mei, pukul 09.45 pm dan transit di Jepang, lalu terbang lagi dan transit di Toronto sebelum ke Ottawa. Saya pikir, ok, ndak masalah. Tapi begitu saya lihat lebih teliti dan menghitung waktunya, ternyata di Narita saya harus transit selama 10 jam. 10 jam!

Dulu, waktu menghadiri resepsi pernikahan keluarga di Bali, ada delay dua jam. Dua jam terasa lambat. Saya mondar mandir di pertokoan di dalam bandara, tapi gerak gerik saya diawasi dengan tajam oleh seorang sekuriti yang gerakannya terlalu mencolok untuk sekedar disebut ‘mengecek keadaan baju.’ Saya lalu duduk diam, sang sekuriti kembali ketempatnya. PUAS?!

Dua jam menunggu sulit dikatakan ‘tak masalah.’ Tapi kali ini 10 jam. Beberapa rencana ada di dalam kepala saya. Dari sekedar membawa novel Laskar Pelangi kesukaan saya, sampai rencana keluar sebentar dari bandara den mengelilingi Jepang, walaupun hanya sedikit lingkungan luar bandara. Tapi niat kedua saya urungkan karena untuk itu kemungkinan saya butuh menukarkan uang ke Yen. Lagi ngirit nih.

Jadilah rencana pertama yang saya lakukan.

Sampai di Narita sekitar pukul 07.00 pagi waktu Jepang. Sepi. Bandaranya luas dan berkarpet. Beda sekali dengan Bandara Soekarno Hatta (maaf bila saya membandingkan banyak hal, antara negara saya, Indonesia, dengan negara lain. Tidak ada maksud buruk. Hanya mencoba membuka mata, semoga akan ada perbaikan lebih baik nantinya).

Tas cangklong yang saya bawa sebenarnya cukup besar untuk ukuran saya. Isinya hal-hal yang saya butuhkan – atau mungkin saya ‘pikir’ saya butuhkan selama di pesawat – tissue basah, tissue kering, mukena dan sajadah, jaket tebal, jaket iseng, roti gandum plus keju (kejunya belum saya makan sampai tulisan ini dibuat), netbook dan chargernya dan sweater dari seorang sahabat. Selain itu ada juga tas kecil berisi passport, tiket, surat dari kedutaan, surat kontrak kerja dan LMO, dan dompet berisi uang beberapa ratus dollar dan beberapa ratus ribu rupiah.
Terasa berat. Tapi perlu. Well, mungkin saya typical ‘just in case’ traveler. Maksudnya saya cenderung memasukkan apa yang saya pikir saya butuhkan ke dalam tas, untuk jaga-jaga, begitu pikir saya.

Demi keamanan, tiap orang diperiksa. Pasti. Tapi ketika di Narita, netbook yang letaknya di dasar tas terpaksa saya keluarkan sesuai keinginan security bandara. Jadilah beberapa benda diatasnya keluar semua dari tas cangklong saya. Repot. Netbook pun diperiksa apakah asli atau tidak. Lulus.

Bandara sepi. Penerbangan dari Jakarta ke Jepang sekitar tujuh jam. Berpikir untuk mandi, tapi saya urungkan. Akhirnya ke toilet bandara untuk membasuh muka dan ke toilet. Di toilet ini ada cerita tersendiri. Di Indonesia, kita familiar dengan toilet jongkok, walaupun banyak juga gedung yang memasang toilet duduk. Saya tidak suka toilet duduk di tempat umum, tapi tidak ada pilihan.
Ketika saya masuk ke toilet di Narita, jiwa kampungan gaptek saya keluar. Tidak ada ember dan bak sudah bisa diprediksi, tapi di Indonesia biasanya tersedia shower untuk membilas. Alih-alih menemukan shower, yang saya temui adalah beberapa tombol di sebelah toilet. Yah, terpaksa keinginan untuk BAK tertahan sekitar tiga menit untuk memahami fungsi tombol-tombol tersebut. Alhamdulillah setelah itu lancar.

Untuk membunuh waktu, saya berkeliling bandara dengan tas yang seberat nyaris delapan kilo. Mencoba mencari pintu keluar bandara, tapi menyadari kemapuan spatial saya rendah, saya terpaksa katakan “TIDAK” kepada “EXIT”. Ada puluhan gate, yang saya lihat sampai nyaris 50. Akhirnya karena lelah, saya berhenti dan duduk ditempat dimana saya bisa melihat pesawat hilir mudik. Pagi itu hanya dua orang disana, saya dan seorang Caucasian. Ngantuk, saya putuskan untuk tidur.

Ketika mencari tempat nyaman untuk tidur, saya melewati beberapa sofa yang ditata seperti di sebuah ruang tamu nyaman yang bisa kita lihat di sinetron-sinetron Indonesia yang menjual mimpi. Terlihat nyaman untuk tidur. Tapi karena diletakkan di tengah ruangan, hhh…. Tidur di tengah ruangan sementara yang lain hilir mudik? Tidak lah yau…

Entah berapa lama saya tertidur, yang pasti saya terbangun karena lapar. Teringat roti dan keju yang saya bawa dari Indonesia. Tapi saya urungkan. Belum makan namanya kalau belum masuk nasi ke perut. Tapi saya teringat pesan orang tua saya yang menganjurkan untuk menelpon mereka ketika sudah tiba di Jepang. Saya berkeliling mecari telepon umum. Keluar kembali sifat gaptek norak saya. Berkali-kali saya baca cara menggunakan telepon umum tersebut. Berkali-kali juga saya dibuat bingung. Intinya saya tidak punya Yen untuk membeli kartu telepon. Titik.

Satu hal yang membuat saya nyengir kuda adalah saat itu, sofa-sofa yang tertata apik tersebut hampir penuh dengan orang-orang Caucasian yang tertidur terlentang. Laki-laki dan perempuan. Cuek saja. Mereka bisa jadi terdampar juga sekian jam di bandara ini seperti saya. Yang lain saya lihat tertidur di lantai bandara yang beralaskan karpet nyaman. Yah, mau bagaimana lagi? Daripada tidur dalam posisi duduk seperti saya, memang lebih nyaman terlentang. Tapi saya tidak punya cukup nyali untuk tidur ditengah ruangan seperti itu.

Karena tidak mengerti cara menggunakan telepon umum tersebut, ujung-ujungnya saya putuskan kembali ke tempat saya tidur untuk membuka netbook yang saya bawa, berharap ada sinyal wifi, ternyata tidak. Netbook saya tutup. Celingak-celinguk sebentar, saya menangkap bayangan internet corner. Serasa mendapat air di padang pasir, dengan semangat saya dekati. Ternyata perlu izin dan membayar. Ok, saya pikir, tak masalah. Masalahnya adalah dimana?

Seorang sekuriti yang melintas saya hadang dan bertanya tentang cara pemakaian internet tersebut. Dia mengerti maksud saya, tapi bukan jawaban yang saya dapatkan, tapi security bohay itu mengajak saya melihat peta. Yang dia lakukan hanya menunjuk keberadaan kami sekarang, lalu information centre. Intinya, dia meminta saya bertanya di information centre dan dia mengajak saya kesana. Saya menurut.

Beberapa langkah dari sana, saya katakan pada security bahwa saya tidak jadi menggunakan internet di lokasi tersebut. Ada dua buah meja wifi saya lihat tak jauh dari sana. Jadilah saya mengirim berita ke keluarga melalui fb adik saya. Masalah teratasi. Nyaris satu jam saya berdiri disana, karena tidak disediakan bangku, tapi satu jam menggunakan internet tidak terasa kan? Lapar pun tidak terasa pula.

Hal selanjutnya yang harus dihadapi adalah sholat. Sebisa mungkin tetap berkomunikasi kepada Yang Maha Pemberi Kehidupan untuk bersyukur. Information centre saya datangi, bertanya tentang ruang sholat, sayangnya mereka tidak menyediakan ruang tersebut. Solusinya saya minta izin untuk sholat di ruang ganti. Nona tersebut mengizinkan. Jujur, saya tidak tahu kiblatnya. Saya berniat sholat dan saya lakukan itu. Dia Maha Tahu.

Sepanjang bandara terdapat banyak toko yang menyediakan souvenir, mulai dari parfum, kimono, tas, buku, dan lain sebagainya. Bermacam makanan ala Jepang pun pasti ada. Berhubung saya tidak tahu satu pun tentang nama makanan yang saya baca – dan jaga-jaga dari kemungkinan harga makanan mengagetkan – saya memilih cara aman. Cari Mc Donald. Harapan saya ada Panas, alias paket nasi, tapi harapan tinggal harapan. Saya disana, diantrian, sambil membaca menu satu persatu. Menu didominasi burger dan kentang goreng. Bungkus.

Satu burger ayam, kentang goreng ukuran sedang, dan air mineral segelas, delapan dollar. Yen saya tidak punya. Jadinya bayar pakai 10 dollar, kembaliannya yen. Entah berapa yen. Tapi dari kembalian itu saya masih bisa membeli sebotol air mineral seharga 15 yen dan sisanya masih ada, untuk kenang-kenangan.

Sepuluh jam tidak terlalu terasa 10 jam. Mungkin terasa 9,5 jam. Selain karena banyak yang bisa dilihat, juga karena bawaan yang berat memecah konsentrasi dan tenaga. Tenaga untuk mengutuk sudah terkuras.

Satu hal. Saya tidak terlalu bermasalah untuk makan. Apa saja, yang penting halal, dan saya tidak perlu tahu namanya. Karena akan membingungkan saya. Kenapa? Karena pasti akan banyak pertanyaan dalam benak saya tentang makanan tersebut: namanya, bahannya, asalnya, cara masaknya, sampai dari mana mereka mendapat bumbunya. Mereka hanya mengganggu nafsu makan. Lebih baik sajikan saja.

Di ANA, All Nippon Airways, maskapai yang saya gunakan, makanan tidak terlalu berpengaruh. Masih aman. Tapi dimenu terakhir, sedikit bermasalah. Makanan yang disajikan seperti daging yang digoreng, roti dan yang lain, saya lupa. Yang pasti saat itu saya baru bangun tidur, jadi bisa dikatakan itu sarapan. Sarapan berat. Saya paksakan karena saya saya tidak mau sakit setibanya disana. Hasilnya? Makanan keluar kembali setelah beberapa menit masuk. Pelajaran baru: ikuti kata hatimu. Ketika hatimu bilang jangan makan, PATUHI!!!

Yah, sebenarnya banyak lagi printilan yang bisa diceritakan. Mungkin lain kali, kalo memorinya ter-recall.

Sukses!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar