Menunggu adalah hal yang menjengkelkan bagi hampir semua orang. Mungkin
satu-satunya orang yang suka menunggu adalah Ridho Irama, karena dengan
menunggumu, ia mendapatkan support financial, dalam bentuk penjualan
album tentunya. Yah, ini menunggu dalam arti yang sesungguhnya. Menunggu
antrian di kasir, menunggu hujan berhenti, menunggu bis, menunggu
pacar, sama. Semuanya menjemukan. Melakukan sesuatu yang menyebalkan selama beberapa menit terasa beberapa jam.
Hal itu saya alami. Berkali-kali. Tapi kalau mau jujur sih, saya juga
sering menyebabkan teman lain menunggu akibat dari budaya jam karet yang
sudah masuk terlalu jauh dan bercampur dengan darah saya. Mencoba untuk
menghilangkan, tapi rasanya sama susahnya seperti berhenti merokok pada
perokok kronis.
Ketika saya mendapatkan telepon dari pihak VFS
bahwa visa saya di telah selesai, saat itulah saya mengontak host
family dan memberitahu tentang hal itu. Singkatnya, mereka segera
mengecek penerbangan ke Ottawa dan mengirim email, menanyakan konfirmasi
saya tentang tiket yang akan dipesan. Tertulis bahwa saya akan transit
dua kali, di Narita, Jepang dan Toronto. Mereka katakan bahwa ada
penerbangan lain mengharuskan saya transit di negeri Paman Sam, dan itu
mustahil karena walaupun hanya transit, tetap saja penduduk Indonesia
dan beberapa negara lain membutuhkan visa Amerika. Jadilah saya transit
si Jepang.
Saya katakan pada keluarga tersebut bahwa saya tidak
bermasalah dengan itu. Jadilah tiket dan jadwal penerbangan dikirim
melalui email. Tertulis berangkat tanggal 1 Mei, pukul 09.45 pm dan
transit di Jepang, lalu terbang lagi dan transit di Toronto sebelum ke
Ottawa. Saya pikir, ok, ndak masalah. Tapi begitu saya lihat lebih
teliti dan menghitung waktunya, ternyata di Narita saya harus transit
selama 10 jam. 10 jam!
Dulu, waktu menghadiri resepsi
pernikahan keluarga di Bali, ada delay dua jam. Dua jam terasa lambat.
Saya mondar mandir di pertokoan di dalam bandara, tapi gerak gerik saya
diawasi dengan tajam oleh seorang sekuriti yang gerakannya terlalu
mencolok untuk sekedar disebut ‘mengecek keadaan baju.’ Saya lalu duduk
diam, sang sekuriti kembali ketempatnya. PUAS?!
Dua jam
menunggu sulit dikatakan ‘tak masalah.’ Tapi kali ini 10 jam. Beberapa
rencana ada di dalam kepala saya. Dari sekedar membawa novel Laskar
Pelangi kesukaan saya, sampai rencana keluar sebentar dari bandara den
mengelilingi Jepang, walaupun hanya sedikit lingkungan luar bandara.
Tapi niat kedua saya urungkan karena untuk itu kemungkinan saya butuh
menukarkan uang ke Yen. Lagi ngirit nih.
Jadilah rencana pertama yang saya lakukan.
Sampai di Narita sekitar pukul 07.00 pagi waktu Jepang. Sepi.
Bandaranya luas dan berkarpet. Beda sekali dengan Bandara Soekarno Hatta
(maaf bila saya membandingkan banyak hal, antara negara saya,
Indonesia, dengan negara lain. Tidak ada maksud buruk. Hanya mencoba
membuka mata, semoga akan ada perbaikan lebih baik nantinya).
Tas cangklong yang saya bawa sebenarnya cukup besar untuk ukuran saya.
Isinya hal-hal yang saya butuhkan – atau mungkin saya ‘pikir’ saya
butuhkan selama di pesawat – tissue basah, tissue kering, mukena dan
sajadah, jaket tebal, jaket iseng, roti gandum plus keju (kejunya belum
saya makan sampai tulisan ini dibuat), netbook dan chargernya dan
sweater dari seorang sahabat. Selain itu ada juga tas kecil berisi
passport, tiket, surat dari kedutaan, surat kontrak kerja dan LMO, dan
dompet berisi uang beberapa ratus dollar dan beberapa ratus ribu rupiah.
Terasa berat. Tapi perlu. Well, mungkin saya typical ‘just in case’
traveler. Maksudnya saya cenderung memasukkan apa yang saya pikir saya
butuhkan ke dalam tas, untuk jaga-jaga, begitu pikir saya.
Demi
keamanan, tiap orang diperiksa. Pasti. Tapi ketika di Narita, netbook
yang letaknya di dasar tas terpaksa saya keluarkan sesuai keinginan
security bandara. Jadilah beberapa benda diatasnya keluar semua dari tas
cangklong saya. Repot. Netbook pun diperiksa apakah asli atau tidak.
Lulus.
Bandara sepi. Penerbangan dari Jakarta ke Jepang sekitar
tujuh jam. Berpikir untuk mandi, tapi saya urungkan. Akhirnya ke toilet
bandara untuk membasuh muka dan ke toilet. Di toilet ini ada cerita
tersendiri. Di Indonesia, kita familiar dengan toilet jongkok, walaupun
banyak juga gedung yang memasang toilet duduk. Saya tidak suka toilet
duduk di tempat umum, tapi tidak ada pilihan.
Ketika saya masuk ke
toilet di Narita, jiwa kampungan gaptek saya keluar. Tidak ada ember dan
bak sudah bisa diprediksi, tapi di Indonesia biasanya tersedia shower
untuk membilas. Alih-alih menemukan shower, yang saya temui adalah
beberapa tombol di sebelah toilet. Yah, terpaksa keinginan untuk BAK
tertahan sekitar tiga menit untuk memahami fungsi tombol-tombol
tersebut. Alhamdulillah setelah itu lancar.
Untuk membunuh
waktu, saya berkeliling bandara dengan tas yang seberat nyaris delapan
kilo. Mencoba mencari pintu keluar bandara, tapi menyadari kemapuan
spatial saya rendah, saya terpaksa katakan “TIDAK” kepada “EXIT”. Ada
puluhan gate, yang saya lihat sampai nyaris 50. Akhirnya karena lelah,
saya berhenti dan duduk ditempat dimana saya bisa melihat pesawat hilir
mudik. Pagi itu hanya dua orang disana, saya dan seorang Caucasian.
Ngantuk, saya putuskan untuk tidur.
Ketika mencari tempat
nyaman untuk tidur, saya melewati beberapa sofa yang ditata seperti di
sebuah ruang tamu nyaman yang bisa kita lihat di sinetron-sinetron
Indonesia yang menjual mimpi. Terlihat nyaman untuk tidur. Tapi karena
diletakkan di tengah ruangan, hhh…. Tidur di tengah ruangan sementara
yang lain hilir mudik? Tidak lah yau…
Entah berapa lama saya
tertidur, yang pasti saya terbangun karena lapar. Teringat roti dan keju
yang saya bawa dari Indonesia. Tapi saya urungkan. Belum makan namanya
kalau belum masuk nasi ke perut. Tapi saya teringat pesan orang tua saya
yang menganjurkan untuk menelpon mereka ketika sudah tiba di Jepang.
Saya berkeliling mecari telepon umum. Keluar kembali sifat gaptek norak
saya. Berkali-kali saya baca cara menggunakan telepon umum tersebut.
Berkali-kali juga saya dibuat bingung. Intinya saya tidak punya Yen
untuk membeli kartu telepon. Titik.
Satu hal yang membuat saya
nyengir kuda adalah saat itu, sofa-sofa yang tertata apik tersebut
hampir penuh dengan orang-orang Caucasian yang tertidur terlentang.
Laki-laki dan perempuan. Cuek saja. Mereka bisa jadi terdampar juga
sekian jam di bandara ini seperti saya. Yang lain saya lihat tertidur
di lantai bandara yang beralaskan karpet nyaman. Yah, mau bagaimana
lagi? Daripada tidur dalam posisi duduk seperti saya, memang lebih
nyaman terlentang. Tapi saya tidak punya cukup nyali untuk tidur
ditengah ruangan seperti itu.
Karena tidak mengerti cara
menggunakan telepon umum tersebut, ujung-ujungnya saya putuskan kembali
ke tempat saya tidur untuk membuka netbook yang saya bawa, berharap ada
sinyal wifi, ternyata tidak. Netbook saya tutup. Celingak-celinguk
sebentar, saya menangkap bayangan internet corner. Serasa mendapat air
di padang pasir, dengan semangat saya dekati. Ternyata perlu izin dan
membayar. Ok, saya pikir, tak masalah. Masalahnya adalah dimana?
Seorang sekuriti yang melintas saya hadang dan bertanya tentang cara
pemakaian internet tersebut. Dia mengerti maksud saya, tapi bukan
jawaban yang saya dapatkan, tapi security bohay itu mengajak saya
melihat peta. Yang dia lakukan hanya menunjuk keberadaan kami sekarang,
lalu information centre. Intinya, dia meminta saya bertanya di
information centre dan dia mengajak saya kesana. Saya menurut.
Beberapa langkah dari sana, saya katakan pada security bahwa saya tidak
jadi menggunakan internet di lokasi tersebut. Ada dua buah meja wifi
saya lihat tak jauh dari sana. Jadilah saya mengirim berita ke keluarga
melalui fb adik saya. Masalah teratasi. Nyaris satu jam saya berdiri
disana, karena tidak disediakan bangku, tapi satu jam menggunakan
internet tidak terasa kan? Lapar pun tidak terasa pula.
Hal
selanjutnya yang harus dihadapi adalah sholat. Sebisa mungkin tetap
berkomunikasi kepada Yang Maha Pemberi Kehidupan untuk bersyukur.
Information centre saya datangi, bertanya tentang ruang sholat,
sayangnya mereka tidak menyediakan ruang tersebut. Solusinya saya minta
izin untuk sholat di ruang ganti. Nona tersebut mengizinkan. Jujur, saya
tidak tahu kiblatnya. Saya berniat sholat dan saya lakukan itu. Dia
Maha Tahu.
Sepanjang bandara terdapat banyak toko yang
menyediakan souvenir, mulai dari parfum, kimono, tas, buku, dan lain
sebagainya. Bermacam makanan ala Jepang pun pasti ada. Berhubung saya
tidak tahu satu pun tentang nama makanan yang saya baca – dan jaga-jaga
dari kemungkinan harga makanan mengagetkan – saya memilih cara aman.
Cari Mc Donald. Harapan saya ada Panas, alias paket nasi, tapi harapan
tinggal harapan. Saya disana, diantrian, sambil membaca menu satu
persatu. Menu didominasi burger dan kentang goreng. Bungkus.
Satu burger ayam, kentang goreng ukuran sedang, dan air mineral segelas,
delapan dollar. Yen saya tidak punya. Jadinya bayar pakai 10 dollar,
kembaliannya yen. Entah berapa yen. Tapi dari kembalian itu saya masih
bisa membeli sebotol air mineral seharga 15 yen dan sisanya masih ada,
untuk kenang-kenangan.
Sepuluh jam tidak terlalu terasa 10 jam.
Mungkin terasa 9,5 jam. Selain karena banyak yang bisa dilihat, juga
karena bawaan yang berat memecah konsentrasi dan tenaga. Tenaga untuk
mengutuk sudah terkuras.
Satu hal. Saya tidak terlalu
bermasalah untuk makan. Apa saja, yang penting halal, dan saya tidak
perlu tahu namanya. Karena akan membingungkan saya. Kenapa? Karena pasti
akan banyak pertanyaan dalam benak saya tentang makanan tersebut:
namanya, bahannya, asalnya, cara masaknya, sampai dari mana mereka
mendapat bumbunya. Mereka hanya mengganggu nafsu makan. Lebih baik
sajikan saja.
Di ANA, All Nippon Airways, maskapai yang saya
gunakan, makanan tidak terlalu berpengaruh. Masih aman. Tapi dimenu
terakhir, sedikit bermasalah. Makanan yang disajikan seperti daging yang
digoreng, roti dan yang lain, saya lupa. Yang pasti saat itu saya baru
bangun tidur, jadi bisa dikatakan itu sarapan. Sarapan berat. Saya
paksakan karena saya saya tidak mau sakit setibanya disana. Hasilnya?
Makanan keluar kembali setelah beberapa menit masuk. Pelajaran baru:
ikuti kata hatimu. Ketika hatimu bilang jangan makan, PATUHI!!!
Yah, sebenarnya banyak lagi printilan yang bisa diceritakan. Mungkin lain kali, kalo memorinya ter-recall.
Sukses!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar