Dulu waktu masih kuliah di Jatinegara saya selalu naik kereta api dari
stasiun Tanjung Barat sampai stasiun Tebet. Di Tebet saya lanjut
sebentar naik angkot. Biasanya saya jalan dari rumah jam 08.30 pagi,
kejar kereta jam 08.45 pagi. Kadang bisa dapet kereta tepat waktu,
seringnya kelewatan atau keretanya telat. Alhasil saya terlambat sampai
kampus. Waktu belajar selalu sama: pukul 09.00 WIB.
Beker sudah di setel pada waktu yang sama tiap harinya. Tapi biasanya
saya mematikan beker segera setelah deringan pertama. Lanjut tidur lima
menit ke depan. Tambahan lima menit membuat saya kocar-kacir. Selalu.
Tiap hal yang terjadi pasti ada hikmahnya, kata orang bijak, kadang
saya setuju, kadang tidak. Nah, pengalaman terlambat saya suatu hari
menuntun saya pada sebuah kejadian yang mematik - sebenarnya "memaksa" -
saya untuk mengubah pola pikir saya dalam belajar bahasa asing yang
sedang saya pelajari.
Dulu saya berpikir bahwa saya akan pandai
berbahasa Inggris dengan cara rajin masuk kuliah, duduk dengan manis,
mencatat yang perlu, mengerjakan tugas. Titik. Saya dulu berpikir bahwa
tempat kuliah ini seperti ATM: Kita memasukkan uang - dalam hal ini
membayar kuliah - lalu kita melakukan hal pasif seperti itu, dan saya
bisa lancar berbahasa Inggris. Tipikal manusia yang ingin serba instan.
Saya totally salah. Pola pikir yang benar-benar salah.
Nah kembali kepengalaman terlambat.
Kemalasan saya untuk bangun pagi sukar berubah meski pada saat ujian.
Bisa dibayangkan kesalnya teman-teman yang konsentrasinya buyar karena
ketukan pintu ketika saya meminta izin untuk masuk ruangan. Saya tidak
peduli. Tapi seorang dosen peduli. Sangat.
Saya tidak
diperbolehkan masuk, tapi saya tetap diijinkan untuk mengikuti ujian,
tapi pada hari minggu, karena pada hari itu sang dosen sedang ada
kegiatan yang harus diikuti. Minggu jam 09.00 WIB. Saya manut. Hari
minggu, jam sembilan kurang, saya sudah duduk manis menunggu dosen. Yang
ditunggu super ngaret. Jam 10.00 WIB baru datang. Tapi toh tak apa, kan
dua pasal di kampus berlaku.
Oi, tapi justru karena itu saya beruntung.
Ceritanya, setiap minggu di kampus saya ada English Club, namanya NRC
alias Newspaper Reading Club. Dari namanya sudah terbaca bahwa club ini
membahas berita terkini dalam bahasa Inggris.
Sang ketua club,
selanjutnya saya tahu bernama Ibnu, mendekati saya yang sedang bengong.
Sedikit berbasa-basi, lalu dia memperkenalkan clubnya. saya tertarik.
Saya katakan, setelah ujian saya akan bergabung di club tersebut. Janji
saya tepati.
Selesai ujian, saya bergabung di lantai dua,
tempat NRC diadakan. Pesertanya lumayan banyak. Oh iya, hampir lupa.
Ketika saya sedang menunggu dosen, ada seorang laki-laki berbadan tinggi
tegap, putih, dengan rambut panjang awut-awutan memasuki kampus. Saya
berkata dalam hati, "preman dari mana tuh? Semogaaaa ga pernah kenal
preman ini."
Nah, balik ke NRC.
Ketika saya membuka pintu,
Ibnu mempersilakan saya untuk duduk karena topik akan segera dibahas
oleh seorang leader yang ditunjuk bergantian tiap minggunya. Pada saat
itu topiknya adalah tentang Tourism dan pembicaranya adalah Harry. Saya
tidak tahu seorang pun kecuali Ibnu. Tapi ketika Ibnu mempersilakan
Harry untuk memulai penjelasan, barulah saya tahu bahwa Harry adalah
orang yang saya pikir "preman" tadi.
Gaya dia menjelaskan
tentang Tourism di Indonesia sangat bagus, apalagi dengan aksen yang
jauh dari aksen Indonesia. Saya langsung minder. Untungnya lingkungan
club itu sangat mendukung mereka yang memang tertarik belajar Bahasa
Inggris.
Sebenarnya saya hanya beberapa kali bergabung dalam
club itu, jujur, saya kewalahan. Apalagi kebanyakan orang yang ikut
adalah mereka yang Bahasa Inggrisnya lancar dan bagus secara pengucapan
dan grammarnya. Belakangan saya tahu bahwa club Bahasa Inggris tiap hari
minggu bukan cuma NRC, tapi juga ada SMC atau Sunday Meeting Club, club
ini banyak diisi oleh mereka yang baru belajar berbicara Bahasa Inggris
seperti saya. Selanjutnya, saya lompat dari NRC ke SMC. Saya bergabung
di SMC cukup lama, hampir dua tahun. Beberapa bulan pertama saya cukup
aktif, karena saya aktif datang, dan memaksa diri untuk aktif ngomong,
akhirnya saya diminta untuk menjadi salah satu dari komite yang baru.
Saya setuju. Saat itu ketuanya adalah Dani, sekertarisnya saya sendiri,
anggota lain ada Andra, dan yang lain. Saya lupa. Yang pasti ada lima
orang termasuk saya.
Pengalaman di SMC, kadang NRC, kadang VDC
(saya lupa ini singkatan dari apa, tapi yang pasti, ini juga English
Club tapi diadakan setiap Sabtu).
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar