Minggu, 29 Juli 2012

Enjoy Aja!!!

Kalau ditanya makanan apa yang dikangenin saat puasa, banyak yang bilang kolak, kurma, es buah atau makanan lain yang ‘somse’ alias muncul pas moment tertentu macam puasa. Jujur saya tidak tahu banyak tentang makanan di Indonesia, selain karena banyak macamnya juga karena hidup saya sebagian besar berputar di Jakarta dan sekitarnya.

Info sekilas Dari Mbah Google tentang beberapa makanan khas nusantara yang muncul setahun sekali, pas Ramadhan:

1. Kicak
Kicak merupakan makanan khas Ramadhan didaerah Kauman, yogyakarta. Makanan yang terbuat dari ketan ini hanya bisa dijumpai di bulan Ramadhan saja. Rasa kicak yang manis dan gurih terasa nikmat saat disantap ketika berbuka puasa.

2. Pakat
Pakat merupakan makanan khas Ramadhan masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Makanan yang berasal dari potongan bagian dalam rotan muda yang dibakar. Untuk menambah kelezatnnya, rotan muda ini kemudian ditaburi dengan santan kelapa serundeng. Pakat sudah menjadi makanan khas untuk berbuka puasa sejak lama, makanan ini juga sudah menjadi tradisi terutama bagi warga Tapanuli Selatan.

3. Es Kopi Luwak
Jika anda berkunjung ke Lampung barat, kita akan menjumpai minuman spesial untuk berbuka puasa, yakni Es Kopi Luwak. Es kopi dengan rasa yang nikmat ini diyakini bisa mengembalikan stamina yang sedikit turun setelah seharian berpuasa. Kopi luwak biasa disajikan seperti layaknya kopi hanya sedikit ditambah es batu yang dihaluskan dan madu.

4. Gulai Siput
Gulai siput ini merupakan makanan khas Tanjungpinang, Kepuluan Riau, makanan ini hanya bisa dijumpai di bulan Ramadhan. Menu yang dihidangkan sebagai lauk saat berbuka puasa ini banyak digemari oleh masyarakat setempat karena rasanya yang gurih dan lezat.

5. Sotong Pangkong
Selama Ramadhan, warga Pontianak, Kalimantan Barat selalu menyediakan Sotong Pangkong sebagai salah satu menu untuk berbuka puasa. Sotong Pangkong adalah menu olahan cumi kering yang dibakar. Uniknya lagi, setelah dibakar cumi atau sotong tadi dipukul-pukul dengan palu. Sotong Pangkong sendiri memiliki rasa yang gurih.

6. Ketan Bintul
Ketan bintul merupakan makanan khas Ramadhan dari Kota Serang, Banten. Ketan bintul ini berbahan baku nasi ketan yang dihaluskan, yang disajikan bersama sepotong daging sapi berikut gulainya. Konon, kehadiran ketan bintul sebagai menu Ramadhan ini sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu, dan dahulu kentan bintul ini menjadi makanan kesukaan para raja Banten.

7. Sate Susu
Kota Denpasar, Bali juga memiliki makanan khas di bulan Ramadhan, yaitu sate susu. Sate susu ini memang terdengar agak nyeleneh, tapi sesungguhnya sate susu yang terbuat dari payudara sapi ini dipercaya memiliki khasiat untuk menambah stamina, seperti minum susu. Untuk menambah kenikmatannya, sate susu akan dihidangkan bersama sambal plecing.

Banyak lagi sebenarnya. Ketika diketik 'Makanan Khas untuk Berbuka Puasa', maka dalam 0.34 detik muncul nyaris 700.000 hasil tentang itu. Indonesia negara kaya. No doubt.

Terdampar disini dan melalui puasa single fighter tetap asik-asik saja walau tanpa makanan khas tersebut. Berpikir untuk membuat masakan Indonesia yang biasanya disantap di rumah. Tapi setelah flash back sekian detik, ternyata baru sadar bahwa di rumah pun jarang menyediakan makanan khas Ramadhan, hanya nasi dan teman-temannya, namun makanan sehari-hari tersebut terasa special justru karena dikonsumsi di waktu yang special. Pola pikir menjadi berubah. Bukan sekeliling kita yang special, tapi kitalah yang membuat itu terasa special.

Jujur sih agak heboh juga menjelang puasa. Seminggu sebelum puasa sudah berpikir makanan apa saja yang akan dibuat saat sahur pertama dan cemilan yang akan dimakan setelah berbuka dan sholat mabgrib, atau sebelum tarawih. Sudah menjadi kebiasaan di rumah makan setelah sholat magrib, lalu leha-leha sambil menunggu Isya yang jaraknya hanya sekitar satu jam. Setelah sholat isya dan tawarih, biasanya lapar lagi lalu makan lagi, entah beli bakso, mie ayam, atau menghabiskan makanan sisa buka puasa, atau sekedar ngemil bakwan. Beberapa jam kemudian tidur. Itu ritme saya dan mungkin banyak dari kita mempunyai ritme yang sama selama Ramadhan. Tidak heran yang berniat menurunkan berat badan kurang berhasil selama puasa, ya bisa jadi karena itu.

Itulah alasan saya menyediakan beberapa cemilan sehari sebelum puasa. Ritme yang dulu masih saya ingat. Jadilah keripik kentang, coklat chip, beberapa mie ala Jepang saya beli. Just in case saya lapar dan malas membuat makanan berat bila saya lapar setelah isya.

Awal puasa disini pada tanggal 20 Juli, lebaran 18 Agustus. Tidak penting mengikuti organisasi apapun. Selebaran jadwal puasa dari toko yang menjual makanan halal tertulis puasa di Ottawa mulai tanggal sekian sampai sekian. Titik.

Awalnya saya pikir akan berat, karena ada bonus tiga jam dibanding Jakarta, namun ternyata saya salah. Semuanya asik-asik saja. Walaupun sempat mengerinyitkan dahi heran ketika keluarga ini mengatakan bahwa puasa sepanjang itu tidak bagus karena bisa menimbulkan dehidrasi. Saya berpikir geli, “ini bukan di gurun kan?” Tidaklah mungkin Yang Maha Kuasa menyuruh hamba-Nya melakukan sesuatu yang akan berakibat buruk terhadap hidup hamba-Nya. Tapi memang itu sudah sifat manusia: suka menawar dan berdalih. Saya pun kadang begitu.

Magrib hari pertama pada jam 08.44 PM. Seperti kebiasaan dulu, saya selalu membuat teh hangat dalam gelas besar, sholat, tadarus, lalu makan berat. Disini pun seperti itu.

Puasa hari pertama Alhamdulillah lancar. Insha Allah hari-hari selanjutnya juga. Nasib kurang baik menimpa cemilan-cemilan yang sudah saya siapkan. Isya pukul 10.31, setelah tarawih, paling cepat bisa tidur jam 11.30 PM. Saat itu dipikiran hanya bantal dan kasur. Cemilan otomatis terlupakan. Hanya keripik kentang yang tandas pada puasa hari ketiga. Pelajaran baru: tempat baru, ritme pasti berubah.

Oh iya, soal makanan memang tidak ada habisnya. Hari ketiga puasa saya berniat membuat bubur kacang hijau. Jadilah info tentang toko yang menjual bahan makanan asia saya kumpulkan dari seorang teman saat saya menginap ditempatnya. Saya mengunjungi China Town pada hari ketiga tersebut. Manphong, itu nama tokonya. Bahan-bahan makanan yang saya inginkan ada disana. Saya membeli kecap ABC botol yang nantinya saya buat nasi goreng, kerupuk udang yang diproduksi di Sidoarjo, kerupuk yang tepinya warna-warni, bumbu soto instan, gula merah, dan beberapa bungkus Indomie saya beli. Ada beberapa mie ala Jepang yang telah saya beli sebelumnya, tapi label halal dalam kemasan mie dari Indonesia tersebut membuat saya nyaman.

Banyak bahan makanan yang diproduksi di Indonesia dan bahan makanan yang familiar ada disana. Berbagai macam bumbu instan makanan nusantara, saos Indofood, bakso, durian, bumbu dapur, nata de coco, agar-agar, tempe, bahkan sampai kepuruk putih pun ada.

Mudah. Dipermudah oleh-nya.

Memasuki hari ketujuh, keluarga ini menanyakan tentang puasa saya. Saya katakan, “everything is fine. I feel Ramadhan is so fast this year.” And I mean it.

Dia mengangguk dan tidak penting berasumsi tentang arti anggukan tersebut. Yang penting saya menikmati tiap harinya karena bulan ini sudah special walau tanpa embel-embelnya.

Selamat berpuasa.

Kurindu Suara Itu

Sebuah artikel menarik saya baca baru-baru ini, yaitu tentang Ramadhan. Sebagai orang yang terlahir dari keluarga Muslim, saya, dan mungkin banyak juga yang lain cenderung untuk take it for granted ajaran yang ada, tanpa mau bersusah payah mencari alasan dan manfaat dibalik semua itu. Contoh kecil, berhubung bulan ini bulan suci Ramadhan, beberapa tahun lalu saya puasa ya karena itu salah satu dari lima Rukun Islam, selain mengucap dua kalimat Syahadat, sholat lima waktu, melaksanakan zakat dan pergi haji bagi yang mampu.

Nyatanya hikmah di balik puasa itu banyak dan sudah dibuktikan dengan kajian ilmiah dari peneliti Muslim maupun non Muslim. Salah satunya adalah kajian dari Dr Oz. Tahu Dr. Oz kan? Itu tuh, si dokter ahli bedah jantung yang caem dan pandai yang suka muncul di Oprah Show yang juga merupakan salah satu dari 500 tokoh muslim yang menginspirasi dunia.

Dr. Mehmet Cengis Oz menyampaikan bahwa puasa adalah salah satu bentuk diet sehat. Puasa, menurutnya, adalah salah satu bentuk detoksifikasi racun-racun yang ada di tubuh. Puasa juga salah satu bentuk detoksifikasi paling alami dan natural yang dapat dilakukan, daripada melakukan diet tertentu. Menurutnya, puasa dapat mengkondisikan tubuh untuk mengeluarkan racun, karena sebenarnya tubuh manusia telah memiliki sistem detoksifikasi secara alami. Dengan pola makan teratur di bulan puasa, tubuh kita dapat terkondisikan untuk melakukan detoksifikasi secara alami. Organ-organ metabolisme detoks, yakni hati, usus besar dan ginjal secara sistematis mengolah dan memilah makanan beserta racun yang mungkin terkandung di dalamnya. Puasa akan mengoptimalkan kerja organ metabolisme detoks tersebut sehingga hasil detoksifikasinya lebih lancar dan natural.

Itu salah satu dari banyak kajian, banyak pula yang lain, dari segi psikologis, stamina, dan lain-lain (bisa dibaca tentang pesepak bola dunia yang tetap berpuasa selama Ramadhan, didapatkan kondisi psikologis mereka lebih bagus). Nah, karena hal-hal yang masuk akal itulah yang memacu semangat menyambut Ramadhan, dan bukan lagi menganggap Ramadhan adalah gerbang untuk angpao saat lebaran, bukan pula pakaian baru, atau sekedar gaji dobel karena THR. Hal-hal kecil tersebut tidak sebanding dengan makna bulan suci ini. Apalagi disebutkan bahwa ”Penghulu segala bulan ialah bulan Ramadhan dan penghulu hari adalah hari Jumat.” (HR. Al-Bazzar). Penjelasan dari hadist tersebut, seperti termuat di Republika Online: Sunnatullah yang berjalan di alam ini menetapkan bahwa diantara segala sesuatu, ada sesuatu yang diunggulkan karena keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya. Diantara rumah misalnya, ada rumah yang unggul, yaitu Ka'bah sebagai Baitullah 'rumah Allah'. Di kalangan manusia juga ada manusia yang unggul, yaitu Rasulullah SAW. Diantara air, air zamzam adalah air unggulan. Di antara hari ada hari istimewa, yaitu hari Jumat. Dan, diantara dua belas bulan ada bulan unggulan, dialah bulan Ramadhan. No doubt.

Ketika pertama kali menginstal software adzan dari Islamic Finder, saya langsung melotot tak percaya melihat waktu subuh dengan magrib yang berjarak kurang lebih 17 jam. Saya bandingkan dengan di Jakarta yang sekitar 13 atau 14 jam. Saya pikir, “haduh, berat banget ya kalau pas puasa?” jadilah saya berulang kali menghitung ulang, saya pikir mungkin jadwalnya salah, belakangan saya sadar, bahwa sayalah yang tukang nawar.

Seperti tahun sebelumnya, Ramadhan disambut dengan semangat, walaupun orang lain melihat saya datar-datar saja, tapi sebenarnya saya suka senyum-senyum sendiri ketika mendekati Ramadhan, Tanya Kenapa? Saya tidak tahu. Begitupun ketika disini, walaupun mencoba ‘menjajah’ perasaan excited tersebut dengan berulang kali mengucap, “17 jam bo! 17 jam!” tetap saja euphoria itu muncul.

Beberapa hari sebelum Ramadhan, keluarga ini menanyakan apakah saya akan berpuasa. Saya katakan, “insha Allah.” Saya tanyakan apakah mereka berpuasa, mereka katakan, mereka memilih membayar fidyah, karena lamanya waktu puasa dan ancaman dehidrasi menakutkan mereka. Saya mengangguk-angguk saja. Bukan mengiyakan, tapi sekedar menghormati pendapat mereka.

Sesuai jadwal puasa dari toko yang menjual makanan halal yang saya dapatkan, awal puasa di kota ini tanggal 20 Juli. Saya ikut. Sehari sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan gelas yang menampung 900 cc demi menghindari ‘dehidrasi’, mie instan kalau malas sahur terlalu lama, dan printilan lain yang kalau dilihat-lihat ‘sangat tidak penting dan ngawur’, seperti potato chip dan coklat chip.

Bangun sahur pukul 03.00 pagi, imsak pukul 03.39. Otomatis saya hanya punya waktu 39 menit. Mie instan ala Jepang produksi US jadi pembuka. Cukup masukkan air dan taruh di microwave selama 4 menit, begitu petunjuknya. Saya ikut. Karbohidrat tersedia, protein siap, vitamin dari sayur dan buah dan vitamin sintetik jadi pelengkap. Sahur ngebut. Kebiasaan yang memperlambat waktu makan sulit dihilangakan. Jadilah selama sahur mepet itu, tetap mata saya membaca. Apa saja. Kebetulan saat itu saya menyimpan selebaran yang dibagikan di lingkungan ini. Selebaran dari supermarket-supermarket. Selebaran paling atas saya lihat dan saya baca. Terdapat gambar berbagai macam biscuit dengan bentuk tulang yang terlihat sangat anggun berada digigitan seekor anjing. Selebaran dari supermarket yang menjual makanan binatang peliharaan.

Mie habis lima menit sebelum imsak, menurut jam dalam ponsel yang saya lirik sekilas. Jadilah buah sebagai hidangan terakhir saya lahap dengan cepat. Dalam hati saya bertanya, sepertinya ada yang hilang. Saya tertegun sejenak. Saya menyadari segera bahwa suara-suara bacaan ayat suci dan suara merbot yang mengingatkan bahwa imsak sebentar lagi dari TOA mussala yang bersahut-sahutan tidak ada. Sepi dan dingin pada sahur pertama dan pasti sepanjang Ramadhan ini. Saya rindu suara itu.

Selamat berpuasa...

Dari Menara (yang pernah menjadi) Tertinggi di Dunia

Terletak di area downtown Toronto dan pernah menjadi tower tertinggi di dunia selama tiga decade, Canadian National Tower atau CN Tower dibuka untuk umum pada 26 Juni 1976. Sekarang menara yang tertinggi terletak di Dubai, namanya Burj Khalifa, tingginya 800 meter atau sekitar enam kali lipat tingginya monas. Menara tertinggi kedua ada di China, namanya Canton Tower yang tingginya sekitar 600 meter. CN Tower muncul dinomor tiga dengan ketinggian 553.3 meter. Dari 76 daftar mas Wiki tentang menara tertinggi di dunia, Indonesia belum masuk daftar. Kalaupun masuk daftar, bukan kategori menara yang tertinggi, tapi menara dengan tinggi antara 200-250 meter, ada Indonesia didalamnya, yaitu menara TVRI yang dibangun pada tahun 1994 di Jakarta, dengan tinggi sekitar 239 meter. Lumayan.

Saat memutuskan mau ke Toronto, terus terang hanya mau keliling downtown, cari suasana baru, cari pengetahuan baru. Tapi beberapa hari sebelum hari H, keluarga ini menyarankan untuk mengunjungi CN Tower dan menceritakan dengan heboh tentang menara tersebut. Bagaimana saya bisa melihat pemandangan dari tempat tinggi, bagaimana menyeramkannya berdiri di glass floor, dan lain sebagainya. Saya tertarik karena melihat betapa berapi-apinya dia bercerita tentang tempat tersebut.

Pukul 9 pagi saya meninggalkan rumah kenalan saya dan sampai di tempat pukul 11. Itupun entah berapa orang yang saya tanyai. Yang pasti orang pertama adalah Pak Polisi yang sedang berjaga di lingkungan tempat kenalan saya tersebut, lalu kenalan asal Indonesia yang tinggal di Toronto sana juga menelpon dan membantu saya mencari jalan yang baik dan benar. Tapi karena nama-nama yang diberikan asing, maka tak lama setelah telepon ditutup saya kembali bingung. “Ha? Dia bilang apa tadi?” Alhasil, bis yang lewat saya naiki dan tanya pada pak supir.

Ada beberapa paket tur yang ditawarkan. Saya sengaja ambil paket komplit karena terpengaruh dengan ocehan host fam ini dan semakin bersemangat karena dalam brosur yang diberikan, terdapat gambar dua orang yang bergantung di dinding hanya dengan seutas tali. Wow,Saya mau itu!!!

Ada lima kegiatan atau atraksi yang ditawarkan, antara lain: look out, glass floor, sky pod, Himalamazon, dan Legends of Flight. Tidak harus mengambil semua, bisa saja hanya mengambil LookOut + Glass Floor + Choice of SkyPod, Film or Motion Theatre Ride atau hanya LookOut + Glass Floor. Tentu saja harga tiket akan disesuaikan. Kalau paket combo alias komplit, tiketnya seharga 35.99 belum pajak. Setelah pajak jadinya 40an. Kalau hanya empat atraksi harga tiketnya 29.99, dan hanya dua atraksi seharga 23.99. Itu harga dewasa. Untuk anak-anak dan sepuh beda lagi, yang pasti lebih murah.

Saya sengaja ambil paket komplit, karena mengharapkan atraksi menggantung di dinding seperti dalam gambar di buku Guest Guide. Semangat sekali.

Banyak orang yang berkunjung pada hari itu, bisa jadi karena long weekend. Sabtu lalu Minggu bablas Senin, libur karena 1 Juli merupakan Canada Day. Sebenarnya 1 Juli jatuh pada hari Minggu, tapi Senin diliburkan juga. Public Holiday kalau jatuh pada hari Minggu kurang terasa, karena itu Senin diliburkan. Asoy.

Rata-rata yang datang kesana berpasangan atau dengan teman. Diantrian yang saya lihat, banyak anak-anak ABG datang segerombolan, juga yang sedang kasmaran (uhuy!!!), keluarga juga banyak. Di belakang saya ada seorang ayah dengan anak perempuannya yang masih kecil. Saya berpikir, “kemana tuh emaknya?” Usil sekali kadang-kadang.

Masuk ke sana melewati pemeriksaan dan juga masuk ruangan dan disemprot, entah dengan cairan apa. Yang pasti saya kaget karena si Mbak hanya meminta saya masuk. Ternyata bukan saya saja yang kaget, tapi seorang laki-laki yang sebelumnya masuk juga kaget ketika kena semprot.

Antrian mengular dan berisik karena kawanan ABG tersebut. Saya belum mampu menangkap apa yang mereka ucapkan, jujur. Para ABG perempuan berpakaian nyaris sama yaitu tank top dipadu dengan hot pants. Yang laki-laki T- shirt dan celana dombrong, beberapa memakai topi yang entah sengaja dimiringkan atau memang miring secara natural mengikuti pikirannya.

Lift yang difungsikan untuk pengunjung saat itu hanya satu. Lumayan memakan waktu walaupun kecapatan lift tersebut 22 km/ jam dan hanya perlu kurang dari satu menit mencapai ketinggian 346 meter tidak lain dan tidak bukan karena banyaknya pengunjung yang datang, sementara kapasitas lift kurang lebih 15 orang. Liftnya unik, karena berdiding kaca, jadi sepanjang nyaris satu menit itu, penghuni lift bisa melihat dunia lain di bawah sana. Maksudnya area downtown. Yang takut ketinggian pasti melengos tanpa ampun.

Selama menunggu, para pengunjung ditawari berfoto. Yang berombongan, yaaa difoto bersama rombongannya, yang datang bersama keluarga, berfoto bersama keluarga, saling berhimpitan. Saya? Lega… berfoto sendiri. Saya angkat tiket dan brosur tempat itu. Hanya beberapa detik, lalu diberikan kertas sebesar kartu nama untuk mengambil foto itu nantinya. Entah dimana, tapi pasti masih dalam tower ini.

Area yang pertama dikunjungi adalah Look Out. Saya hanya tahu artinya literally. Tapi berhubung teringat akan cerita host fam tentang tempat tersebut, jadi yang ada di pikiran saya adalah sebuah tempat yang bisa memacu adrenalin.

Sang gadis muda guide berbaju merah menjelaskan tentang area yang dituju dan tentang kecepatan lift diantara riuh rendahnya ocehan para ABG. Sang guide tidak peduli didengar atau tidak oleh para ABG, senyum riangnya tetap terpampang. Terlihat jelas dia sangat menikmati pekerjaannya.

Keluar dari lift, saya menengok kiri kanan seperti orang mau menyebrang jalan, lalu mengikuti rombongan yang satu lift dengan saya tadi. Mereka semua melihat keluar jendela berkaca lalu membentuk ekspresi kagum. Saya ikutan melihat keluar jendela. Di bawah sana terdapat pemandangan Toronto. Oh, ini toh. Ternyata Look Out yaaaa look out. Saya baru nyambung, harapan saya tentang ‘memacu adrenalin’ meluncur turun secepat lift tadi. Tapi toh tetap saya foto pemandangan dari atas untuk mengisi page ini.

Masih ada empat kegiatan lain, pikir saya. Pasti ada yang bikin deg degan. Tanpa buang waktu, saya ikuti antrian yang mengular di depan saya. Entah kemana, saya ikut saja.

Antrian tersebut ternyata mengarah ke Sky Pod. Apapula ini. Setelah mengantri nyaris 10 menit, sampailah pada tempat tersebut. Sky Pod dan Look Out intinya sama: sama-sama melihat pemandangan kota dari ketinggian. Bedanya di Sky Pod, bukan lagi diketinggian 346 meter, tapi 447 meter. Saya, yang lemah dalam kalkulasi dan kurang sensitive terhadap perubahan pemandangan dari ketinggian yang berbeda tersebut, hanya melongok sebentar keluar jendela kaca, memutari tempat kecil tersebut, lalu chao.

Antri lift lagi, karena hanya ada satu lift. Tak lama, mungkin sekitar lima enam menit. Tujuannya? Hanya ikut-ikutan orang. Ternyata lift tersebut membawa saya ke Glass Floor. Glass Floor, sesuai namanya, ya lantai yang terbuat dari kaca. Jadi selama berdiri di atas lantai tersebut, kita bisa melihat pemandangan di bawah sana. Banyak pengunjung hanya berlutut di pinggir Glass Floor dan melongok ke bawah. Banyak juga yang mencoba jalan diatasnya dan minta difoto oleh koleganya. Seorang anak perempuan kecil dengan santai berjalan menyusuri lantai tersebut. Saya, setelah berusaha sedikit mencari celah untuk berjalan diatasnya, merekam pemandangan dari tempat tersebut. Tak sampai sepuluh menit disana, tetap berharap sesuatu yang ‘memacu adrenalin’, saya chao.

Sambil berjalan menuju lift untuk turun, saya melihat tiket yang saya pegang. Tersisa Himalamazon dan Legends of Flight.
Lift membawa kami turun ke toko yang menjual souvenir tempat tersebut. Banyak barang, seperti bendera, tas, mug, gantungan kunci, kaos, topi, dan lain-lain. Sempat menyentuh benda-benda seperti mug, botol minuman, dan benda-benda kecil lain yang tertera gambar bendera Kanada dan atau CN Tower. Saya bolak balik dan menemukan kesamannya dari benda-benda tersebut: Made in China.

Saya bertanya pada guide yang saya temui di lift pertama tentang Himalamazon. Dia katakan, silahkan lihat-lihat souvenir dulu. Saya berlalu dan mencari sendiri lokasinya.

Keluar dari toko souvenir, saya mendekati security dan menanyakan tentang lokasi Himalamazon. Sang bapak menujuk sebuah pintu di sebelahnya. Langsung saya masuki.

Ruangan tersebut seperti bioskop mini. Hanya ada beberapa bangku panjang dan layar kecil. Tak lama film diputar, dibuka oleh seorang professor animasi yang bercerita intinya tentang alam. Kurang lebih 10 menit, lalu pengunjung pindah ke ruang sebelah. Disana pengunjung diajak merasakan menjadi sebongkah kayu yang dipotong lalu dihanyutkan di sungai yang banyak buayanya. Seperti de javu. Pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Mungkin di Dufan beberapa tahun yang lalu. Tapi yang ini, benar-benar kena semprot air, walau sedikit, ketika sang kayu terkena kecipak air dari buaya ketika hanyut di sungai. Kebetulan saya duduk di paling depan dan paling ujung. Bukan keinginan saya duduk disana, tapi karena saya paling akhir masuk, itu satu-satunya posisi yang kosong.

Pertunjukkan pamungkas adalah Legend of Flight. Energy nyaris abis. Tas canglong yang isinya netbook dan chargernya, dan sekotak anggur untuk orang satu orang kawan asal Indonesia yang berkerja di Toronto terasa lebih berat, ditambah rasa lapar dan makin berat karena berkhayal tentang Rumah Makan Padang. Khayalan tingkat tinggi.

Legend of Flight. Pintu masuknya Maple Leaf Cinema. Nonton film tentang legend of flight di Canada, sesuai namanya. Bedanya pengunjung memakai kacamata 3D, jadi film terasa real. Pesawat dan orang-orang yang ada di dalam film terasa dekat, seakan bisa disentuh. Film kurang lebih 20 menit. Saya menguap lebar.

Sedikit terhuyung ketika meninggalkan cinema tersebut karena ngantuk. Seperti biasa, keluar pintu saya tengok kiri kanan, kali ini tujuannya mencari toilet. Sambil menuju toilet, saya menandai Exit. Itu pasti artinya keluar.

Saya teringat kertas kecil pengambilan foto. Kebetulan melewati tempat tersebut. Jadilah saya ikutan antri (entah berapa kali saya hanya ikut-ikutan). Orang di depan saya yang berparas Asia Selatan, sepertinya dari Pakistan, saya tanyai tentang foto tersebut, apakah free atau tidak. Pertanyaan bodoh sebenarnya. Mana ada yang free?

Pasangan itu menjawab tidak tahu lalu menyarankan saya untuk memberikan kertas kecil tadi pada petugas. Kartu dilihat dan saya diminta menunggu sebentar. Saya tanyakan berapa harganya. Dijawab, kalau hanya satu foto, seharga 23 dollar, kalau paket, 30 dollar. Dia tunjukkan contohnya. Belum sempat menimbang, seorang laki-laki di sebelah saya bertanya pada petugas.

“So, what will happen with my picture if I don’t wanna take it? You will throw it into garbage?”

Sang petugas hanya tersenyum.

Lalu sang laki-laki berkata, “I don’t wanna pay 30 for these.” Dia pun berlalu.

Fotonya kemungkinan besar memang masuk tempat sampah. Tapi saya salut, dia punya sikap. Sementara saya? Saya ambil foto tersebut dan membayar untuk satu paket. Sebenarnya cuma foto sebesar 4R, kurang lebih, tapi diberi map dengan gambar CN Tower dan bendera Kanada dengan tulisan "Happy Canada Day" serta dua foto kecil dalam sebuah pigura imut yang hanya berumur tiga hari. Anak yang saya asuh ‘tak sengaja’ mematahkan kakinya ketika dia melihat-lihat foto tersebut. Saya protes kecil.

“Hey, you broke my picture.” Protes saya.

Dia menjawab ringan sambil mengangkat bahu dan alis matanya, gayanya seperti orang dewasa, “It’s okay.”

“It’s okay for you, not for me!” jawab saya gusar sambil mengambil foto tersebut dan berjanji akan menjauhkan barang-barang penting saya dari jangkauannya. Seharusnya saya ingat tragedy beberapa hari sebelum saya berangkat ke Toronto, saat itu habis kacamata saya dilumuri body lotion.

Meninggalkan tower tersebut sekitar pukul tiga sore. Matahari terik. Udara di Toronto lebih panas daripada di Ottawa. Yah, pemicu adrenalin tak ada. Tapi paling tidak, penasaran akan tower itu hilang. Bisa jadi itu kunjungan yang pertama dan terakhir, kecuali bila saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mencoba Edge Walk di CN Tower. Namanya baru saya dapatkan ketika saya menulis ini sambil membuka-buka buku Guest Guide tower tersebut. Sedikit kecewa, tapi tetap bersykur. Yah, teringat salah satu ajaran dalam agama: Bersyukurlah, maka akan Ku tambah nikmatmu.

Alhamdulillah

Sukses untuk semua….

Cita-Cita (yang ga) Penting: Backpacker (Toronto II)

Masa-masa kuliah kadang menyenangkan, kadang tidak. Alasan kenapa tidak menyenangkan salah satunya bisa karena dosen berhalangan hadir lalu mahasiswa (seperti saya) merasa sia-sia datang ke kampus. Mending kalau mata kuliahnya minimal empat sehari. Kadang mata kuliah sehari cuma satu atau dua. Parahnya, mata kuliah awal pada jam 8 atau 9 pagi, dan yang kedua siang atau sore nanti. Buang-buang waktu macam itu membuat badan pegal, karena sudah dengan semangat seadanya untuk bangun di pagi hari, buru-buru ke kampus, dan mendapatkan berita peng-cancel-an jadwal. Tapi sebenarnya serba salah juga. Kadang dosennya ada, mahasiswanya menggerutu, dosen tidak masuk, mahasiswa juga menggerutu. Yah, itulah manusia. Bikin bingung.

Salah satu hiburan pembunuh waktu selain ngobrol ngalor ngidul dengan teman, atau tidur di masjid adalah memelototi computer yang terhubung dengan internet. Padahal ga ada yang penting juga. Yah, adalah beberapa hal yang penting yang perlu ditanyakan ke Mbah, tapi biasanya cuma googling sebentar, copied ke word, saved dan that’s it. Baca hasil googling urusan belakangan, toh ga ada tanggal kadaluarsanya itu copyan. Yang paling paling paling sering dibuka mahasiswa paling-paling fesbuk.

Sewaktu masih di bangku kuliah saya membuat account fb, tapi dibukanya hanya sekali dua kali dalam beberapa bulan. Tidak ada alasan lain membuat account tersebut selain karena penasaran. Jadilah account tersebut di nonaktifkan. Saya jarang buat status, status terakhir dengan account yang lama adalah: I feel like I wanna exile myself.

Deactivated.

Sedikit terdengar lebay, tapi memang saat itu, itulah yang benar-benar dirasakan. Mau pergi kemana gitu, cari tempat buat mengasingkan diri dari hingar bingar dunia gemerlap (hello… siapa kamu???). Itulah saat pertama berpikir ingin menjadi seorang backpacker.

Saat itu sadar belum mampu untuk menjadi backpacker. Banyak hal, antara lain karena kuliah sekalian kerja juga belum tahu komunitasnya. Berpergian sendiri alamat ga mungkin, karena saya sadari dari awal, kemampuan spatial saya ala kadarnya. Sempat juga membicarakan hal ini dengan seorang kawan yang saya panggil Uni Desy. Dia pun merasakan hal yang sama, ada saatnya ingin keluar dari rutinitas dan menjalani hal yang benar-benar baru. Tapi kendala yang dia punya lebih besar dari yang saya hadapi, karena dia sudah menjadi seorang ibu. Sulit dibayangkan seorang ibu menjadi backpacker sementara anaknya menghadapi buku pelajaran dan Iqro hampir setiap harinya :)

Mimpi itu tersimpan di alam bawah sadar, tersimpan di angan-angan paling tinggi, dan yang tertinggi adalah, tersimpan dalam catatan-Nya. Entah itu terkabul atau tidak, yang pasti Dia berjanji akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya.

Kawan saya yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri itu pasti mendapatkan hal yang lebih baik daripada menjadi seorang backpacker. Well, mungkin belum sekarang, tapi Dia pasti menuntun hamba-hamba-Nya untuk mendapatkan hal yang terbaik. Selalu. Sementara saya? Belum menjadi real backpacker, tapi setidaknya pernah merasakan. Walaupun tidak 100% ala backpacker.

Mas Wikipedia menjelaskan backpacker sebagai orang yang berpergian di dalam maupun ke luar negeri hanya dengan membawa ransel, pakaian secukupnya, dan barang lain yang dianggap perlu. Menginap pun tidak di hotel, paling ke motel atau hostel. Liburan prihatin.

Ketika memutuskan untuk pergi ke Toronto, motel jadi sasaran awal saya. Cek ricek di Mbah, biaya permalam berkisar antara 45an sampai 100. Banyak yang menawarkan dikisaran harga 50an. Saya menimbang-nimbang sebentar, lalu mencari lagi yang lebih murah, jadilah hostel. Harganya sekitar 15-40an permalam. Fasilitasnya kalau yang paling murah disebutkan tidak mendapat linen (terus?? Maksudnya suruh bawa sendiri?). Satu tempat tidur bisa berdua, atau satu kamar bisa isinya berempat dan kamar mandi berbagi dengan penghuni lain. Internet rata-rata tersedia, walaupun dibeberapa review orang yang pernah memakai hostel, internetnya lambat. Yah, apa mau dikata. Kalau mau yang asoy, ya ke hotel yang pasti jauh lebih mahal. Untuk harga tertinggi di hostel, bisa mendapat kamar sendiri dan kamar mandi di dalam. Nyaris seperti motel, tapi dengan harga yang lebih rendah.

Sempat membidik beberapa hostel, walaupun ternyata jadinya nebeng di tempat teman untuk dua malam. Imbalannya hanya sekotak anggur dan bertukar cerita tentang banyak hal, salah satunya tentang makanan dan menu orang Indonesia yang didominasi oleh nasi. Sarapan: nasi. Makan siang: nasi. Makan malam: nasi. Dia berujar, “gosh… I will not marry Indonesian.” Saya hanya nyengir melihat roti yang dihidangankan di depan saya. Sarapan: roti. Makan siang: roti. Makan malam: roti. Saya berujar, dalam hati tentunya, “kami pun akan sedih bila makan roti terus menerus.”

Pakaian yang saya bawa pun seadanya. Yang pasti, celana jeans saya pakai selama dua malam tiga hari itu. Ga ganti, ga masalah. Hati toh tetap gembira dan puas, selain karena menjelajah daerah baru (plus nyasarnya) kesampain juga menjadi seorang backpacker selama sekian jam. Dalam perjalanan pulang, saya berpikir tujuan selanjutnya.

Montreal.

Sukses untuk semua

Serba Nyaris (Toronto I)


Hari libur. Hari bebas untuk membuka mata lebih lebar dan memperkaya wawasan tentang sekitar. Libur satu hari setiap minggunya sudah cukup ditunggu-tunggu, apalagi long weekend seperti ini. Minggu dan Senin. Pikiran saya jauh-jauh hari sudah membidik Toronto. Walaupun jaraknya cukup jauh, sekitar 5 jam, kalau memakai takaran Google Maps, toh tak menghalangi niat saya tersebut. Jauh-jauh hari pula saya katakan niat saya pada keluarga ini. Mereka mengizinkan, dan mengecek informasi tentang bis tujuan Toronto, biayanya 70 dollar. Saya menimbang-nimbang sejenak. Nyaris saya masukkan ide tersebut di dalam kantong, karena terbentur akomodasi yang lumayan untuk saya.

Malamnya kebetulan seorang kenalan dari internet yang sudah cukup lama menjadi penduduk sini on line. Sedikit berbasa-basi awalnya, dia menanyakan rencana long weekend saya. Saya katakan rencana ke Toronto, tapi kemungkinan kecil, karena ongkos bisnya cukup besar. Dia menyarankan saya menggunakan rideshare yang bisa ditemui di situs bernama kijiji. Jari saya langsung mengetik beberapa tombol dan dalam waktu singkat sudah didapatkan informasinya.

Rideshare, dari namanya sudah bisa ditebak, intinya, yang punya mobil dan menuju ke Toronto atau terserah yang punya mobil, mau memberi tumpangan, sekalian jalan, seperti itu. Tapi ada juga yang memang dikelola seperti bisnis. Kalau ke Toronto biaya yang dikenakan 30 dollar sekali jalan, lebih murah dari bis. Tentu saja saya memilih rideshare. Api semangat untuk mengeksplor Toronto kembali dinyalakan. Siap!

Sesuai nasihat teman saya tersebut, saya dianjurkan memasang iklan dua minggu sebelumnya. Terlalu jauh, pikir saya, jadilah satu minggu sebelumnya saya pasang iklan saya tentang butuh rideshare pada hari sekian dan tanggal sekian. Setiap hari saya cek email saya, tapi tidak ada yang tertarik. Atau bisa jadi belum ada yang merencanakan kemana dan kapan menuju Toronto. Mulailah saya nothing to lose. Jadi syukur… ga jadi, ya kecewa juga sih.

Selain ingin merasakan sebagai Dora the Explorer, saya juga berniat bertemu dua orang Indonesia yang tinggal disana. Dua-duanya saya temui lewat situs pertemanan.

Keluarga ini menyarankan saya untuk pergi hari minggu pagi, jadi sampai sekitar minggu siang. Berpikir sejenak, saya putuskan untuk berbicara dengan keluarga ini mengenai waktu bebas saya setengah hari pada hari Sabtu. Sedikit alot, tapi toh saya dapatkan juga. Saya katakan saya kerjakan pekerjaan saya, kewajiban saya, saya tidak akan melanggar aturan rumah dan kontrak saya, dan yang saya gunakan adalah hari bebas saya setengah hari pada hari Sabtu. Jadilah saya meluncur pada Sabtu sore menuju Toronto.

Dua hari menjelang hari Sabtu, nyaris saya batalkan, karena tidak adanya rideshare yang bisa sesuai dengan waktu bebas saya. Yang saya cari adalah rideshare pada pukul 4 atau 5 sore di tempat yang tidak terlalu jauh dari tempat ini, dan kalau bisa, menjemput saya disini, walaupun saya harus membayar lebih untuk itu. Bukan manja, tapi memang ada beberapa yang menawarkan untuk jemput di tempat dengan biaya lebih tinggi 5 atau 10 dollar. Saya pikir tak apa, toh biaya day pass pun 7 dollar, beda tipis.

Sempat membatalkan dan mencari aktivitas lain untuk mengisi libur. Tapi ada sedikit keyakinan saya, bahwa saya bisa mengunjungi Toronto. Entah keyakinan, entah sok yakin, karena saya sedikit kepala batu. Tapi yang pasti, rideshare masih saya buru.

Akhirnya saya menemukan iklan rideshare yang meninggalkan Ottawa pada pukul 5 sore. Tempat pemberangkatannya di Greenboro, sekitar satu jam dari sini. Jadwalnya hari Sabtu ada yang jam 10 dan jam 5. Saya memilih jam 5. Tapi di hari Jumat, hari dimana saya di minta untuk konfirmasi ulang, ternyata jadwal pada jam tersebut tidak ada, karena ‘shortgage.’ Entah apa maksudnya, tapi saya pikir mungkin penumpang sedikit. Terbayang itu adalah van yang cukup besar yang dikelola memang untuk bisnis rideshare. Saya kecewa dan menyerah.

Iseng mengecek email setelah bekerja, ada sebuah email yang menjawab email saya sebelumnya. Saya baru ingat saat membaca itu, saya pernah mengirim sebuah email ke orang yang menawarkan rideshare pada hari Sabtu, pukul 5 sore. Pengirimnya bernama Anam Ahmed. Saya menelponnya, ternyata seorang perempuan beraksen India. Singkat cerita, jadilah saya ikut rideshare Anam.

Tempat pertemuan di Billings Bridge, sebuah mall yang besar. Hanya dua kali bis dari sini. Saya tiba di mall tersebut pukul 4.30 sore. Masih lama, pikir saya. Jadilah saya masuk mall, bukan untuk melihat-lihat atau berbelanja, tapi mencari toilet.

Memasuki mall tersebut, pengunjung melewati terowongan yang hanya beberapa meter. Baru menginjak muka tunel, saya dihadang oleh seorang perempuan beraksen Filipina yang memberikan brosur untuk saya baca, isinya tentang lembaga kemanusiaan yang butuh sumbangan. Halah! Kebelet, dihadang ini pula. Tak mau repot, terlebih lagi langkah saya terhadang si Mbak tersebut, saya pilih mengikuti apa yang diminta. Masalah ikhlas ga ikhlas, yang penting ketemu toilet segera.

Keluar dari mall dengan perasaan lega, saya menelpon Anam, memberi tahu posisi saya. Dikatakan dia akan telat sekitar 15 menit. Pasrah.

Duduk manis melihat pemandangan orang yang lewat silih berganti di pemberhentian bis tak terlalu mengecewakan. Ada banyak yang bisa dilihat. Banyak perempuan yang memakai jilbab, terutama yang berparas timur tengah dan Afrika. Melintas santai di depan saya seorang perempuan Afrika tinggi langsing, memakai sepatu hak tinggi pula. Saya pikir saya pasti akan terlihat aneh sekali bila berjalan bersisian dengan dia. Jomplang.

20 menit berlalu, saya mulai lapar. Teringat McDonald di pintu masuk mall setelah tunel. Saya pun memasuki mal untuk kedua kalinya. Antri, tapi telepon berbunyi, Anam mengabarkan bahwa dia sudah ada di parkir mall, segera saya keluar dan menuju parkiran. Dia melambai dari sedan civic berwarna biru. Mengucap terima kasih, saya pun masuk kemobilnya.

Di sebelah Anam, si supir, ada ibunya. Di sebelah saya seorang perempuan berparas Afrika. Saya nyengir sambil menyapa.

“I thought I saw you at the bus stop.” Saya membuka percakapan.

“Oh, yes, yes, I saw you too.” Jawabnya ramah.

Dia adalah perempuan Afrika tinggi bersepatu hak tinggi itu. Harapan saya untuk tidak berjalan di sebelah perempuan tinggi ini terhempas jauh karena ketika Anam berhenti untuk membeli makan malam setelah sekitar 3 jam berkendara, saya dan perempuan muda tersebut, yang selanjutnya saya tahu bernama Ayan dan berasal dari Somalia, berjalan bersisian untuk membeli makanan di KFC lalu berjalan bersama ke parkiran. Momen yang indah….

Mbah Google mengatakan untuk mencapai Toronto waktu yang digunakan sekitar 4 jam. Tapi tidak disebutkan dalam kecepatan berapa km/jam. Dan saya tidak tertarik mencari tahu. Saya terima beres.

Yang pasti, GPS di depan supir menunjukkan waktu sampai tujuan sekitar pukul 10 malam. Beberapa kali melirik speedometer, jarum nyaris statis diangka 120 Km/ jam, lalu lintas surga alias kosong. Tancap neng….

Seorang teman yang sudah tinggal di Toronto sekitar 5 tahun sudah menunggu di sekitar Victoria Park and Highway. Saya berterima kasih berkali-kali. Besok saya akan mengekspor Downtown, pikir saya, with or without company.

Kepala batu.

Summer is HOT

Hari Sabtu, 16 Juni 2012 lalu diadakan acara piknik bersama orang Indonesia yang tinggal di Ottawa. Acaranya diselenggarakan oleh CIC atau Indonesian Canadian Congress. Saya belum tahu banyak tentang organisasi ini, tapi kesempatan itu tidak mau saya lewatkan. Siapalah yang tidak mau bertemu dengan keluarga setanah air? Siapalah yang mau sendirian di tengah orang asing? Siapalah yang tidak mau merasakan masakan rumah sendiri (balik-baliknya soal makanan).

Dengan terus terang saya katakan pada host family bahwa ada acara piknik bersama dengan orang Indonesia di Ottawa dan meminta jadwal libur saya ditukar. Host fam tidak bermasalah dengan hal tersebut.

Acaranya berada di Vincent Massey Park. Ketika saya tanyakan ke host fam apakah mereka pernah pergi ke taman tersebut, mereka katakan mereka belum pernah ke Orleans. Itu artinya mereka tidak tahu tentang taman itu, karena tertulis di Mbah Google, bahwa letaknya di Kanata, masih di area tempat ini. Mereka menebak taman itu berada di Orleans, karena satu-satunya teman Indonesia saya yang mereka tahu berada di Orleans. Saya hanya nyengir kuda melihat host fam saya yang dengan serius menggeleng dan dengan nada menyesal mengatakan, “we have never been to Orleans.”

Pada undangan yang di forward via inbox facebook, tertulis acaranya dimulai pada pukul 10 pagi sampai selesai. Berhubung saya masih terbawa kebiasaan jam karet, jadilah jam 10 niat berangkat dari rumah teman yang di Orleans menuju tempat acara. Tempat host fam di Kanata, saya mampir dulu di tempat teman di Orleans yang notabene jauh dari spot. Jadi seperti menghadiri undangan di Pasar Minggu, sementara tinggal di Lenteng Agung, tapi mampir dulu di Grogol.

Kalau masih di Jakarta, saya pasti sangat keberatan, karena mempertimbangkan lalu lintas yang membuat hypertensi dan ubanan. Tapi disini? Dengan senang hati, apalagi sudah sekitar 2 minggu saya tidak bertemu dengan kawan saya tersebut dan kebetulan pada hari itu suaminya ada urusan yang tidak bisa ditinggal, jadi mau tidak mau dia harus menggunakan bis. Saya, sebagai orang yang lebih senior menggunakan bisa daripada kawan saya tersebut – meski dia lebih lama beberapa bulan disini (nyombong dikit Mbak Dian…. Whakakakak) – sedikit tidak tega membiarkan dia berangkat sendiri menggunakan bis. Karena saya ingat perasaan negative yang saya rasakan awal saya menggunakan bis tersebut. Sebenarnya tak ada masalah, tapi memang hampir semua hal, walaupun hal yang kecil, memulai bisa jadi hal yang tersulit. Setelahnya barulah terasa lebih ringan.

Meninggalkan rumah pukul 7 pagi dengan modal sebuah apel (bukan dari nenek sihir, tentunya, karena saya bukan snow white – maaf, sedikit terpapar dengan anak yang saya asuh, yang sering menyebutkan nama-nama princesses dalam dongeng barat), segelas teh nyaris manis yang saya minum ketika sudah dipertengahan jalan – belajar dari pengalaman, disini toilet umum tidak mudah didapatkan, handycam standar, dan 2 lusin jus kaleng untuk potluck, jadilah saya berjibaku menuju Orleans untuk yang keempat kalinya. Seperti biasa, saya gunakan day pass.

Sampai di Orleans pukul 9 kurang 10 menit. Bukan Sarah namanya kalau tidak nyasar-nyasar kecil. Seharusnya turun di Orchadview, jalan pintas menuju rumahnya, daripada turun di Valin, tapi berhubung lupa nama jalannya, jadilah nyasar sekitar 30 menit. Berjalan kaki itu sehat sebenarnya, tapi tidak dengan 2 lusin kaleng jus di pundak, yang nyerinya masih dirasakan saat tulisan ini dibuat (hari Senin, 18 Juni).

Kami berangkat menuju spot pada jam 11, masalah kecil muncul, tiket day pass saya hilang. Jadilah saya menyiapkan dana ekstra untuk membeli tiket day pass baru. Belajar ikhlas.

Dengan modal tanya-tanya spot pada pak supir yang ramah, kami sampai sekitar satu jam kemudian. Agak ragu awalnya, karena di taman tersebut ada 2 kelompok yang berkumpul. Yang pertama agak kecil, yang kedua, di bawah kanopi, agak banyak orang. Kami meragukan kalau ada orang Indonesia sebanyak orang-orang di bawah kanopi itu di kota ini. Telepon dimainkan, menghubungi seorang kawan yang dikenal lewat fb Komunitas Indonesia di Kanada. Diketahui bahwa acara ICC ada di sector C. Karena tidak tahu sector C, kami putuskan bertanya pada petugas parkir, seorang perempuan muda agak tambun memakan kaos dan shorts dombrang, topi setengah miring, anting di hidung, kaki di atas meja. Pengenal dia selain name tagnya, yaitu rompi yang digunakan. Mungkin itu seragamnya. Yup, sector C memang di kanopi tersebut.

Berjalan pelan sambil berharap bahwa itu benar tempatnya, kami melihat seorang perempuan mengejar seorang anak kecil sambil berteriak, “makan dulu.” MERDEKA! Walau sedikit tak enak, karena sampai pada saat makan, pertunjukan toh harus tetap jalan. Dalam waktu singkat, mereka tahu bahwa kami warga baru disini, dan kami diperkenalkan oleh pendiri ICC dan beberapa orang lain yang tidak bisa saya ingat namanya satu persatu. Tapi yang pasti, persaudaraan terasa karena merekalah keluarga kami disini.

ICC baru saya ketahui via fb, lain kali saya akan tulis tentang ICC, sesuai info yang saya dapat dari situs mereka. Tapi yang pasti, salah satu visi misinya adalah menyediakan info tentang Kanada pada warga yang baru datang ke Kanada. Kami salah satunya (atau salah duanya?).

Acara ditutup pada pukul 2.30, bantu beres-beres sedikit, karena memang sudah seharusnya seperti itu, kami meninggalkan tempat. Saya memilih mampir lagi ke tempat kawan saya di Orleans, berniat numpang sholat lalu chao.

Di tengah perjalanan, seorang kenalan ‘open minded’ yang pertama kali saya temui menelepon, mengajak untuk bertemu ditempatnya. Saya katakan saya tidak keberatan bertemu, selama di tempat umum. Dia sedikit memaksa. Jurus basi saya keluarkan, “hello… hello…. Im in the bus to Orleans now, can’t hear your voice cleary. Hello… hello…. Okay… talk to you next time. Bye.” Padahal sambungan telepon jernih. Sedikit merasa bersalah, tapi akan lebih salah lagi kalau saya mengikuti rasa kasihan pada orang itu.

Pukul 5 kurang 10 saya sudah berdiri manis di pemberhentian Orchadview (sekarang saya ingat namanya), melihat jadwal bis selanjutnya di sana, sekitar 8 menit lagi. Tak lama 131, bisnya, datang. On time.

Untuk menyingkat waktu, sebenarnya bisa saja turun di Jeanne D’Arc 2A lalu naik 95 jurusan Hurman. Tapi saya lebih memilih turun sampai layar di depan penumpang bertuliskan Dernier Arret alias Last Stop alias paling ujung.

Di depan stasiun tersebut adalah mall besar. Tertulis The Bay, dan ada jembatan penyeberangan bila ingin mencapai mal tersebut, dilarang memanjat pagar besi berwarna putih yang berada di tengah antara stasiun dan Mall. Terpampang ancaman: FINE CAD 125 alias denda 125 dollar kalau tertangkap. KALAU tertangkap. Toh masih ada juga orang yang memanjat pagar itu. Cuma satu yang saya lihat. Itupun karena di klakson oleh temannya yang berada diseberang, menyuruh dia cepat-cepat. Halal deh…

Dengan sabar saya menunggu 95 jurusan Station Hurdman. Tapi setelah 4 kali 95 lewat, tidak ada yang tertulis Station Hurdman, seperti sebelumnya. Yang tertulis adalah Tunney’s Pasture. Dengan ragu, saya naik juga. Belakangan saya baru sadar bahwa bis ini lewat Hurdman, lanjut Downtown, dan sampai di Tunney’s Pasture. Cuape deh...

Tapi tidak menyesal juga, karena sepanjang 30 menit ‘ngotot’ menunggu 95 Hurdman, terlihat banyak pemandangan yang baru. cuaca yang hangat, cenderung panas menuju summer bisa jadi dambaan banyak orang yang tinggal di daerah yang mempunyai 4 musim. Disini, tinggal selangkah menuju summer para perempuan yang tua, muda, besar, kecil, kulit putih, kulit berwarna, pendek, tinggi, menandakan suasana dengan pakaian yang ringan. Banyak yang menggunakan tank top dan hot pants. Beberapa memakai gaun ringan bahu terbuka, atau bagian dada berjendela luas. Cuaca memang panash.

Yang laki-laki muda berpakaian standar. Banyak yang memakai kaos oblong dan celana gombrong memperlihatkan boxernya, yang mau tidak mau harus dinaikkan berkali-kali demi membuat jalan lebih mudah. Saya nyengir kuda. Rempong deh.

Tepat di sebelah saya, 4 orang gadis berkulit berwarna hanya memakai bra dipadu dengan hot pants. Berbaur dengan boys sesama kulit berwarna. Tak lama, seorang perempuan lain yang berpakaian sama muncul, dan mereka berjalan menuju mall. Baru setengah jalan, kelima perempuan tersebut dipanggil oleh kawan boys mereka yang masih berada di station, menyuruh mereka bergegas mendekatinya. Para gadis berlari secepat mereka. Bukan tas yang mereka pegang erat, tapi penutup dada yang tanpa tali tersebut yang mereka jaga baik-baik agar isinya tidak terlalu loncat sana sini.

Summer is HOT!

Semoga harinya menyenangkan dan sukses untuk semua ya….

Wisata Seputar Downtown


Tanggal merah. Tanggal yang dinanti kedua setelah tanggal gajian. Banyak dari kita memilih tinggal di rumah dan ‘bernapas’ (emang hari biasa ga bernapas?) atau saatnya hang out bareng teman atau keluarga, keluar rumah sekadar cuci mata atau justru mengunjungi tempat baru.

Bersama teman, saya kadang ngumpul Sabtu pagi di sekitar Depok. Sekedar ngumpul buat diskusi atau iseng karena tidak ada kegiatan. Lumayan dapet korban untuk di isengin atau dicela. Kalau Minggu, masih asik di sekitar Depok, kampus UI tepatnya, bersama seorang kawan, kadang anaknya ikut, kami bertiga berjalan pagi. Niatnya olah raga, tapi biasanya sarapan dan ngemilnya lumayan banyak. Ga masalah, kadang tujuan utama menjadi tidak penting setelah bertemu teman. Tujuan yang tidak dipikirkan, seperti curhat, justru lebih banyak membuang waktu dan membuang beban pikiran pada saat bersamaan. Curhat menyehatkan.

Disini, dimana kedekatan teman tidak secara fisik, tidak mungkin hang out bersama, saya lebih memilih mengelilingi tempat ini ketika libur. Tidak peduli berapa kali nyasar. Pengalaman pertama kali nyasar disini salah masuk blok. Alhamdulillah bisa balik dengan mengingat pepatah “Malu bertanya sesat di jalan.”

Setelah tiga kali ke Orleans, dua kali berkunjung ke tempat kawan dan sekali mampir di Asian Mart untuk membeli saos Indofood, telur puyuh, telur asin, dan ubi untuk membuat ubi goreng, akhirnya rute bis kesana bisa juga diingat. Sesuatu sekali rasanya.

Minggu lalu saya putuskan untuk mengelilingi downtown. Cuma berjalan berkeliling saja sambil mengambil gambar disana sini. Sebelumnya saya mengirim sms ke seorang teman yang saya kenal lewat internet untuk menanyakan apakah dia free hari itu. Namun tak ada balasan setelah satu jam berlalu. Sore hari baru saya mendapatkan telepon darinya mengabarkan bahwa dia baru saja bangun tidur. Hibernasi dimusim semi, pikir saya geli. Sebenarnya nothing to lose juga, karena saya mengajaknya mendadak.

Downtown tidak begitu asing lagi untuk saya. Sebelumnya saya pernah kesini bersama keluarga ini untuk melihat Tulip Festival. Walaupun ternyata tulip festival bukan di dekat sana, tapi berjalan beberapa blok disana saat itu meninggalkan gambaran sedikit diingatan saya tentang tempat tersebut. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di Tulip Festival, serba Tulip. Tapi tetap saja pengetahuan saya tentang bunga tidak bertambah. Anggrek, kembang sepatu, kamboja merupakan tiga bunga yang familiar bagi saya selain mawar, melati semuanya indah.






Downtown, awalnya yang saya tahu hanya sekadar tempat dimana banyak gedung antic berjejer, mall, kedutaan-kedutaan, tapi ternyata menyimpan banyak keunikan tujuan wisata, salah satunya Rideau Canal. Itupun tahunya secara tidak sengaja ketika seorang kenalan yang ‘open mided’ menceritakan hal tersebut secara sekilas. Rasa penasaran saya timbul. Mbah Google langsung jadi tempat pertama yang saya tanya. Tanpa kemenyan dan sesajen, dalam sekian detik si Mbah memuaskan penasaran saya. Sambungan internet disini memang yahud!

Dengan modal handycam standar yang saya beli dari XS Cargo beberapa hari lalu, memori external 4 GB dan 4 baterai AAA rechargable, jadilah Sarah the Explorer mulai memutari tempat tersebut. Tujuan awal adalah gedung parlemen, karena hanya itu yang saya tahu. Sebenarnya beberapa hari lalu sempat googling letak Rideau Canal, tapi yang ditunjukkan adalah alamat dan peta. Alamat, jelas saya tidak tahu, peta? Saya buta peta.

Keluar dari Mall, yang merupakan penghubung dua pemberhentian bis, langsung jalan mengikuti pandangan mata yang menangkap menara gedung parlemen. Langkah saya terhenti ketika saya melihat potret-potret besar tentang Paul’s Boat Lines. Hore… sorak saya dalam hati, disini toh pemberangkatan dan tiket Rideau Canal. Lain kali saya akan kesini, mungkin sendiri atau dengan kawan, belum tau, tapi yang pasti, kalau tidak dicoba, akan penasaran seperti kata Bang Haji: sungguh mati aku jadi jadi penasaran….. lanjut mang!!!

Terpampang beberapa foto yang tidak saya baca keterangannya – mungkin lain kali – mungkin. Berjarak beberapa meter dari situ, terdapat tiket box yang menyediakan brosur tentang objek tersebut. Sebenarnya ada dua tiket box yang saya lihat. Satu lagi di bawah jembatan, di dekat boatnya. Dalam brosur disebutkan bahwa Paul’s Boat Lines ini ada sejak 1936. Penawaran wisata ada dua; Rideau Canal cruise dan Ottawa River Cruise.

 

Rideau Canal pada tahun 2012 ini tersedia sampai 2 September, jadi sekitar musim semi – panas. Musim dingin jelas ga ada. Berangkatnya dari Conference Centre dan memakan waktu kurang lebih 75 menit. Point of Interestnya disebutkan di brosur antara lain National Art Centre, Government Conference Centre, Lansdowne Park, University of Ottawa, Carleton University, Dow’s Lake, Experimental Farm, dan lain-lain. Tarifnya untuk dewasa CAD 20, senior dan pelajar CAD 18, anak-anak CAD 12, keluarga yang terdiri dari 2 dewasa dan 2 anak-anak CAD 52.

Kalau Ottawa River Cruise memakan waktu sekitar 90 menit dan point of interestsnya Parliament Buildings, Museum of Civilization, Napean Point, National Gallery of Canada, Royal Canadian Mint, dan lain-lain. Tarifnya untuk dewasa CAD 23, senior dan pelajar CAD 20, anak-anak CAD 14, keluarga yang terdiri dari 2 dewasa dan 2 anak-anak CAD 60. Paket combo ada juga, maksudnya ambil sekalian dua paket pada hari itu. Kalau dewasa CAD 38. Jangan lupa, harga sewaktu-waktu bisa berubah.

Selain Rideau Canal, ada juga Lady Dive, ini unik karena bisa mengelilingi kota dengan bis khusus dan bis tersebut bisa dive atau menyelam juga, sesuai namanya Lady Dive Land and Water Experience. Ada tujuh tour yang ditawarkan:

1. Ottawa – Gatineau Splash Amphibious Tour.
Tertulis di brosurnya: It’s a boat! It’s a bus! It’s Lady Dive Splash Tour. Menarik dan membuat penasaran. Turis akan dibawa berkeliling area National Capital di Ottawa dan Gatineau melalui jalan darat dan air. Perjalanan sekitar satu jam. Range tariff CAD 10.62 untuk anak-anak di bawah 2 tahun, dan CAD 86.73 untuk keluarga yang terdiri dari 2 dewasa dan 2 anak-anak. Dewasa CAD 30.97.

2. Amphibious and Bus Tour.
Tur ini menawarkan 1 dan 3 hari tur. Beda tariff tur satu hari san tiga hari kurang dari 3 dollar. Range tiket untuk bayi di bawah 2 tahun CAD 15.93 dan keluarga 132.30. Dewasa CAD 46.45.

3. Full Grand City Tour Hop On and Off 1 – 3 days.
Ini pas digunakan untuk mereka yang mau mengunjungi National Capital of Ottawa dan Gatineau. Bisa berhenti dibanyak tempat seperti museum, taman, galleri, dan banyak lagi menurut brosur di tangan saya. Tiket dewasa CAD 30.90 untuk tur 1 hari. Untuk 3 hari, CAD 35.40 untuk dewasa.

4. Bus and Canadian Museum of Nature Combo.
Tour ini menawarkan tur 1 dan 3 hari untuk ke Canadian Museum of Nature. 1 hari tur biayanya untuk dewasa CAD 38.97. kalau ambil yang 3 hari untuk dewasa biayanya CAD 43.40.

5. Exclusive Bus and Museum Combo.
Ini tur ke museum, ada paket yang sehari, ada yang tiga hari. Tarif dewasa sama dengan tur nomor 4.

6. Sunset Tour.
Sesuai namanya, sunset, pasti waktu turnya dan mepet ke gelap. Durasinya sekitar satu jam dan menawarkan lebih dari 75 sites yang penting dan popular di kota indang booooo.

7. Gatineau Park Fall Colours Tour.
Kalau yang ini butuh reservasi dan waktu turnya sekitar 4 jam – panjang bo – mengelilingi taman Gatineau dan berhenti sekitar 20 menit untuk mengunjungi the Champlain Belvederes, Lake Pink and MacKenzie Residence. Tiketnya untuk dewasa, senior, pelajar CAD 35.40 dan anak-anak 3-12 CAD 25.67.

Harga belum pajak dan sewaktu-waktu bisa berubah tanpa pemberitahuan, tertulis di brosur.

Masih ada hal lain lagi di downtown. Bersambung…

Semoga harinya menyenangkan dan sukses untuk semua ya…..

Wassalam.

Being Open Minded? Why not? But...

Setelah beberapa lama searching di Internet orang-orang berwajah dan bernama asia tenggara di sekitar Ottawa, akhirnya saya putuskan untuk mengirim pesan kepada mereka. Perempuan dan laki-laki, saya tidak peduli. Surat singkat saya hanya, “hello, Im Iyek, Indonesian. May I know where are you from? Thank you, have a nice day.” banyak dari mereka menjawab, tapi lebih banyak laki-laki. Yang perempuan hanya dua orang. Yang pertama ternyata orang Iran, yang kedua ada, yang menjawab dengan menggunakan Bahasa Indonesia, berada di Bahrain. Kening saya berkerut membaca balasan surat dari perempuan itu, “kenapa di profilnya ditulis lokasinya ada di Ottawa kalau ternyata dia ada di tempat lain?” tapi itulah internet. Suka-suka kita saja mau menulis apa.

Akhirnya saya dapatkan juga seorang teman sesama Indonesia, orang Surabaya tepatnya, berada di Toronto, sekitar 1 jam dari sini bila menggunakan pesawat, harga tiketnya 200 CAD sekali jalan atau sekitar 1,8 juta dengan kurs 9.000. Kalau jalan darat sekitar 4,4 jam. Kalau booking tiket jauh-jauh hari, tiket bolak-baliknya seharga 125 CAD. On the spot harganya 70 CAD, atau sekitar enam ratus ribuan sekali jalan.

Senang. Itu yang saya rasakan ketika akhirnya mendapat teman baru. setelah nomor teleponnya ada di tangan, segera saya kontak teman saya tersebut. Dia katakan bahwa dia sudah sekitar empat tahun di sini tapi tiap musim dingin, dia pasti minta pulang ke kampungnya di Surabaya karena, “saya benci salju,” katanya.

Ketika saya menceritakan hal itu pada host fam saya, mereka katakan, “all of us hate snow!” saya hanya tertawa. Well, saya kemungkinan besar akan masuk ke klub pembenci salju, karena cuaca 14 derajat saja bisa membuat saya mengutuki dingin yang membuat gigi saya bergemeretak, apalagi mereka katakan ketika salju cuacanya bisa minus 10 derajat. Kalau terlalu dingin, tempat pelarian saya adalah kamar mandi, gunakan heater, dan biarkan air hangat melelehkan emosi, walau kalau sudah keluar dari pancuran terasa lebih dingin. Yah, minimal merasakan kehangatan dunia walau sebentar.

Kenalan dari kawan saya yang seorang Caucasian mengatakan bahwa dia juga tidak suka salju, tapi membayangkan Natal tanpa salju, pasti ada yang hilang, katanya. Yah, saya setuju lah. Mungkin sama seperti kita yang merayakan Lebaran tanpa ketupat sayur.

Hanya satu orang teman asal Indonesia yang saya dapat. Dan saya sudah sangat bersyukur karena saya dapat informasi banyak darinya tentang kehidupan di sini. Kenalan lain lebih banyak yang dari asia selatan dan asia barat. Aturan yang saya buat ketika di Jakarta tentang “JANGAN pernah memberikan nomor telepon kepada orang yang di dapat dari internet” saya langgar. Urgent! Saya butuh teman. Akhirnya, lima nomor telepon kenalan baru yang bukan berasal dari Indonesia saya dapatkan. Empat orang sama-sama di Ottawa, satu orang di Toronto, tempat yang sama dengan teman sesama Indonesia.

Minggu pagi jam 7 saya sudah meninggalkan rumah host fam untuk bertemu kenalan baru saya di downtown, sasaran saya, karena downtown banyak orang dan saya merasa aman bila bertemu di tempat umum karena bagaimana pun ini bukan negara saya dan dia pun bukan sebangsa saya yang sudah saya kenal kurang lebih sifat-sifatnya. Waspadalah!!! pesan dari Bang Napi.

Saya hanya beberapa kali berkirim pesan dan hanya dua kali bertemu. Mungkin ga nyambung, jadi dia hilang begitu saja, dan saya pun tidak begitu peduli, walau sedikit heran. Apa saya melakukan hal yang salah? Pikir saya saat itu.

Kenalan yang kedua berasal dari asia selatan juga. Kami bertemu sekali, itupun saya bohong pada host fam saya. Saya katakan saya hendak membeli cabe segar di supermarket dekat sana. Keluarga itu tahu kalau saya makan roti bakar ataupun nasi pasti dengan cabe. Jawaban saya ketika mereka tanyakan hal tersebut adalah, “chilli is my appetizer.’

Kenapa saya bohong? Karena kalau saya jujur, pasti saya tidak diizinkan. Saya mengerti alasannya. Mereka bertanggung jawab penuh terhadap hidup dan keselamatan saya di sini. Apalagi kalau mereka tahu kenalan itu saya kenal dari internet, pasti NO besar akan saya dapatkan. Tapi memang dasar kepala batu, akhirnya saya berbohong karena toh saya bertemu di tempat umum, di sebuah mall besar, bukan di kuburan atau toilet umum dan lagi, kemungkinan orang itu baik atau jahat masih 50-50. Kalau baik, tetap berteman, kalau jahat, ya cukup sekali bertemu. Titik.

Sampai sekarang kami tetap berkomunikasi, walau hanya sekadar menyapa lewat profil masing-masing atau via messanger. Dan walaupun orang itu 15 tahun lebih tua dari saya, it’s okay, kita bisa berteman dengan siapa saja, apalagi saya baru di sini dan butuh orang yang mengenal daerah sini agar bisa mengantar saya dan menjelaskan hal-hal yang ada di sekitar sini (tetep, asas manfaat!)

Kenalan lain bernama Mark, katanya orang asli sini, berada di Toronto. Rajin menyapa lewat sms, seperti “good morning” atau kalau sudah sore “how was your day?” tapi jarang saya balas, karena harga pulsa di sini mahal (ngirit adalah hal nomor dua yang di pikiran saya selain asas manfaat). Tapi bukan berarti saya tidak pernah menelepon kenalan-kenalan saya. Kalau telepon, saya tidak masalah. Kok bisa? Yang bisa dong, kan kalo telepon gratis, tapi telepon via internet, karena dibuatkan account di internet oleh keluarga disini (aturan ketiga: usahakan cari yang gratisan).

Saya katakan pada Mark bahwa kemungkinan bila saya ke Toronto untuk bertemu teman sesama Indonesia, pasti saya memberitahu dia dan bisa bertemu, bersama kawan saya sesama Indonesia, tentu saja. Sekali lagi: WASPADA!

Kenalan lain, saya hanya tau lewat telepon. Sekali dia menelepon dan kami mengobrol cukup lama, dia katakan bahwa saya bisa menghubungi dia ketika saya butuh sesuatu. “Thanks a lot,” hanya itu yang bisa saya katakan. “No problem,” jawabnya. Ok, saya simpan nomornya. Tidak saya buang seperti kenalan pertama saya. Kemungkinan dia 50% baik. Kita tidak akan pernah tahu bila kita tidak mencobanya, pikir saya selalu, tapi waspada juga tetap jalan.

Beberapa hari lalu, ada sebuah nomor panggilan tak terjawab, dan sebuah sms berbunyi “hi Sarah :)” hanya itu. Tanpa nama pengirim. Tidak saya balas. Esoknya saya menerima pesan lewat profil saya “hey, why you didn’t answer my phone call?” Jawab saya, “oh, that’s you? I am sorry, I was working.”

Sebenarnya saya tidak sedang bekerja, tapi telepon yang saat itu berada tepat di sebelah saya, hanya berdering kurang dari lima detik, lalu mati. Itu artinya orang tersebut hanya berniat miscall. Demi menjaga perasaan kenalan yang belum saya kenal tersebut, saya katakan white lie.

Setelah intens mengirim sms selama beberapa hari, orang tersebut mengajak bertemu. Saya tidak bermasalah. Asalkan di tempat umum. Dan disepakati, di downtown (tetep!). Belakangan saya tahu kalau dia pernah tinggal di Malaysia selama tujuh tahun, jadilah saya lebih banyak bercakap dalam bahasa Indonesia bila dia menelepon ketika saya masih di dalam rumah, tapi ketika di luar rumah, dimana saya yakin tidak ada yang mendengar, barulah saya menggunakan bahasa Inggris, karena jujur, sulit saya memahami bahasa Melayu yang dikatakannya. Serumpun bahasa tapi tak sama, Jek!

Setelah waktu dan tempat pertemuan fixed, sms selanjutnya adalah, “im an open minded person. Are you?” Jawab saya, “I don’t know. I will let my friends asses me.” Pesan text dia selanjutnya, “ok then, we can go to downtown after you come to my place.” Saya menatap ponsel saya heran, saya putuskan untuk menelponnya.

Saya katakan saya tidak berkeberatan ketempatnya asalkan dia atau saya membawa seorang teman lagi. Penolakan yang saya dapat. Tidak masalah. Tidak jadi bertemu pun tidak masalah bagi saya, putus saya. Demi menghindari salah paham, saya coba jelaskan bahwa saya tidak akan merasa nyaman berdua dengan dia dalam satu tempat walaupun dia mencoba meyakinkan saya bahwa dia adalah orang yang “open minded.”

Saya mengolah sebentar istilah tersebut sebelum saya menjawab, “Yea, I am open minded, I can mingle and accept other people that come from different cultures, without losing my identity.” Tapi sekali lagi, demi menghindari salah paham, saya putuskan meminta penjelasan. “What do you mean by open minded?” dan jawabannya jauh dari definisi yang saya pahami.

“Open minded means we work together, we eat together, and we sleep together,” jawabnya. GUBRAK!!!!!

Itu adalah komunikasi terakhir dengan kenalan saya tersebut. Saya selalu tertawa tiap kali mengingat 'kesalahpahaman' itu. Hari itu saya mendapat pelajaran hidup yang berharga lagi dan pertanyaan kenapa kenalan pertama saya memutuskan komunikasi terjawab sudah oleh definisi tersebut: saya tidak “open minded”.

Semoga harinya menyenangkan yaa... sukses untuk semua...

Taman - Taman


Siang hari di sini lebih panjang. Matahari terbit pukul 05.15 pagi dan tenggelam pukul 08.49 sore. Subuh pukul 03.20. Adzan didapat dari software yang didownload dari internet tapi subuh pasti ga mendengar adzan, ya karena computer pasti dalam keadaaan mati. Satu-satunya jalan adalah menggunakan alarm yang menggunakan adzan sebagai pengingat. Berhubung alarm berbunyi hanya satu menit, adzannya pasti tidak lengkap. Tapi minimal panggilan untuk menghadap Yang Maha Kuasa masih tetap bisa dinikmati.

Karena siang yang lebih panjang itulah maka keluar rumah sampai jam 8 malam pun sebenarnya tidak masalah, karena di luar masih terang, apalagi sekarang musim semi, cuaca bersahabat, walau kadang hujan, tapi hujannya tidak sehebat hujan di Jakarta. Tapi kalau soal dingin, jauh lebih dingin disini karena masih banyak pohon. Kalaupun ada sedikit masalah, lebih karena masalah keamanan dan kenyamanan diri. Lingkungan aman dan nyaman sebenarnya, tapi karena disini sepi, jadi lebih baik kalau mau keluar jangan sendiri, karena kasus pemerkosaan atau pelecehan sexual lumayan banyak terjadi dan pelakunya banyak yang tidak teridentifikasi. Sekali lagi soal ‘keamanan dan kenyamanan diri.’

Hampir tiap hari minggu saya pasti keluar rumah dan berkeliling. Karena belum kenal dengan kota ini, jadi hanya dua tempat yang saya kunjungi: Orleans, tempat seorang teman tinggal, dan downtown. Sebenarnya di downtown banyak hal yang menarik. Salah satunya adalah Rideu Canal Cruise yang menawarkan pemandangan sekeliling kota dengan menggunakan kapal. Saya sendiri belum coba sih. Baru rencana dan niat.

Di sekeliling tempat tinggal host fam ini ada beberapa taman, yang terbesar adalah Goldridge Park. Sebenarnya yang disebut taman hanya sekadar lapangan besar, sebesar lapangan sepak bola. Dan di taman Goldridge ini ada dua lapangan sepak bola. Kalau sore suka dipakai buat anak-anak latihan sepak bola dan ditonton oleh keluarga yang berderet duduk manis menggunakan kursi lipat yang dibawa dari rumah. Tidak ada sorak sorai yang berlebihan. Taman ini juga suka dipakai untuk melatih anjing atau olahraga bersama anjing, bagi yang punya anjing (pastinya).

Tepat di sebelah Goldridge Park ini ada taman juga, namanya Fentimen Park. Banyak taman sekitar sini modelnya seperti Fentimen Park. Hanya jalan setapak yang panjang, dan di kanan kirinya terdapat pohon-pohon. Beberapa meter di belakang deretan pohon-pohon tersebut berjejer rumah penduduk. Rapi seperti umumnya rumah-rumah di sini.

Fentimen Park ini kalau diikuti terus sampai ujung, akan sampai di Kanata Center. Kanata Center ini seperti pusat perbelanjaan. Maksudnya, daerahnya luas dan berdiri banyak pertokoan, mulai dari Wallmart yang mempunyai moto “where you find the lowest price, always”, supermarket Loblaws yang seperti Giant atau Carrefour di Indonesia, Shoppers Drugmart yang menjual lebih banyak perawatan tubuh dan obat-obatan, walau menjual buku-buku juga dan elektronik, Chapters si toko buku, dan toko-toko lain seperti restorant pizza, starbucks, Canada Computers, fitness center, dan lain sebagainya. Dari ujung ke ujung yang belum tantu saya bisa jelajahi dalam sejam dua jam. Tapi saya lebih sering ke Wallmart. Selain karena bisa one stop shopping, juga banyak barang yang dijual di walmart lebih murah dari toko lain. Di dalam wallmart juga ada McDonald. Tapi sayang, mereka tidak menjual Paket Nasi (tetep, Nasi!!!). Jajanan yang sering saya beli di Wallmart adalah cookie sejenis oreo, chips kentang dan….. eng ing eng….. KUACI!!! Kuaci di Jakarta sangat murah bila dibanding oreo dan potato chip, tapi disini, jauh lebih mahal kuaci.

Taman-taman lain semacam Fentimen Park yang ada di sekeliling daerah ini antara lain; Tanmount Park, Judy Laughton Park, John Gooch Park, Insmill Park, dan ada beberapa lagi. Yang besar ya hanya Goldridge Park itu.

Di dalam Fentimen Park ada arena bermain anak-anak. Kecil, cuma bak pasir sekitar 5x5 meter yang ditengahnya ada rumah-rumahan dan perosotan. Di sebelahnya ada bangku taman tempat orang tua atau pengasuh bisa menunggui anak-anak tersebut.
Karena sepanjang taman itu banyak pohon, ga heran banyak binatang yang berkeliaran. Burung-burung sudah pasti. Entah apa namanya, tapi macam-macam burung ada, yang saya tahu cuma dua; burung pipit dan burung gagak. Sering juga terlihat tupai dan chipmunk. Sayangnya mereka tidak boleh diberi makan, katanya agar mereka tidak tergantung pada manusia. Iya juga sih. Mereka kan binatang liar yang tinggal di alam liar, jadi kudu bisa survive sendiri. Tapi mereka tidak takut bila ada yang melintas. Karena kontak yang terjadi sudah sejak lama, jadinya sensor bahaya mereka tidak muncul. Cinta damai.

Yah, sekian dulu yakkk, met malam dan sukses buat semua yuaaaaa.

Wassalam.



















No Comparing, Please...

No Comparing, Please…

Salah satu teman chatting asal Palestina yang telah saya kenal lewat dunia maya sejak 2009 bertanya apa yang saya suka dari negara ini dan mana yang lebih bagus: negara asal saya atau negara ini. Jawaban saya singkat tapi membuat dia sedikit keki: hard to compare. Full stop.

Dia mengejar lebih jauh. Tidak mungkin sulit dibedakan, katanya. Jawaban saya adalah: Why not? Selanjutnya saya menerima emoticon putus asa dari dia. Saya hanya tertawa. You would answer the same thing if you were me, pikir saya.

Tidak puas dengan jawaban saya, pertanyaan selanjutnya lebih mengerucut: how about the nature? Saya memberi jawaban diplomatis yang membuat dia mengirim 3 tanda tanya (???): I like them both. Tapi kalau mau jujur sih, saya belum tahu banyak tentang negara ini, apalagi alamnya, itu salah satu alasan saya memberi jawaban aman. Tapi yang pasti Indonesia menyimpan kekayaan alam yang berlimpah. Bukan minyak atau emas, tapi pemandangan alam yang membuat tiap orang berdecak kagum dan memuji pencipta-Nya.

Sekitar tiga tahun lalu saya pulang kampung, ke kampung halaman orang tua tepatnya. Kami, empat orang; saya, mama, adik saya, dan adik bapak, diuji kesabarannya selama 3 hari lebih di dalam bis. Dua kali menyeberangi lautan; selat bali dan satu lagi saya lupa namanya (maap kawan-kawan). Tapi yang pasti, pada penyeberangan ke dua, berdiri di buritan kapal selama satu jam lebih tidak masalah bagi saya dan adik. Sebabnya apalagi selain keindahan alam yang tidak akan habis dipandang. Kami mengambil gambar, tapi lensa kamera, sebagus apapun, tidak akan bisa menandingi kehebatan lensa mata ciptaan-Nya, apalagi lensa kamera kami yang hanya berada sedikit di atas rata-rata air alias cukup lah, bukan seperti yang Darwis Triyadi punya.

Balik ke teman saya. Tidak mau membuat dia makin keki, saya coba jelaskan dari berbagai sudut. Saya katakan di Indonesia alam kami sangat bagus, tapi tidak semua di handle dengan baik. Di sini objek wisata alam yang saya tahu hanya Niagara, tapi saya belum berkunjung ke sana. Well, sebenarnya dia dengan mudah bisa bertanya pada Mbah Google tentang alam di sini ataupun di Indonesia.

Membandingkan sesuatu itu pasti subjektif. Kalau saya jawab dengan vulgar betapa cintanya saya terhadap negara saya, bisa jadi dia menganggap saya chauvinism. Tapi apa salahnya? Saya toh lahir dan besar di Indonesia, Jakarta tepatnya. Sekalipun mungkin, sekali lagi MUNGKIN, ada orang Indonesia yang tidak bangga akan asalnya, bisa jadi dia tidak tahu sedikit list dari banyak kekayaan alam di Indonesia:

1. Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni.

2. Indonesia memiliki 3 dari 6 pulau terbesar didunia, yaitu Pulau Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dgn luas 539.460 km2), Pulau Sumatera (473.606 km2) dan Pulau Papua (421.981 km2)

3. Indonesia adalah Negara maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km2 atau hampir 25% panjang pantai di dunia.

4. Indonesia merupakan Negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa/etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku. Menggunakan 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa tersebut

5. Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia (20% dari suplai seluruh dunia) juga produsen timah terbesar kedua.

6. Indonesia memiliki Terumbu Karang (Coral Reef) terkaya di dunia (18% dari total dunia) dan memiliki species ikan hiu terbanyak di dunia (150 species).

7. Indonesia menempati peringkat pertama dalam produk pertanian, yaitu cengkeh (cloves) & pala (nutmeg), serta peringkat kedua dalam karet alam (Natural Rubber) dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil).

8. Indonesia adalah pengekspor terbesar kayu lapis (plywood), yaitu sekitar 80% di pasar dunia.

9. Indonesia memiliki biodiversity Anggrek terbesar didunia yaitu sekitar 6 ribu jenis anggrek, mulai dari yang terbesar (Anggrek Macan atau Grammatophyllum Speciosum) sampai yang terkecil (Taeniophyllum, yang tidak berdaun), termasuk Anggrek Hitam yang langka dan hanya terdapat di Papua.

10. Memiliki hutan bakau terbesar di dunia. Tanaman ini bermanfaat untuk mencegah pengikisan oleh air laut atau abrasi pantai

Rekor di atas sebenarnya hanya sedikit dari sekian banyak rekor-rekor berkaitan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Termasuk Burung Cendrawasih yang terkenal dengan bird of paradise dan hanya ada di Papua.

Dari 10 ini pun sudah cukup membuat kebanggaan terhadap Indonesia. Saya simpan info ini, mungkin suatu hari akan saya beri gambaran pada teman saya tersebut atau teman yang lain. Namun biar adil dan lebih terlihat objektif, saya gambarkan juga situasi yang tidak bisa saya dapatkan di Jakarta. Terutama soal transportasi dan situasinya secara umum.

Di sini, tiap rumah tertata rapi, sama seperti yang bisa di lihat di film produksi Hollywood. Belum melihat rumah yang ada pagar setinggi rumah mewah di Jakarta apalagi yang ditambah beling, walaupun rumah disini tidak kalah mewah. Juga arah rumah sama, jadi ga ada rumah yang saling bertunggingan alias teras rumah bertemu dapur rumah tetangga. Tiap rumah pun berjarak setidaknya satu meter dan di belakang rumah ada halaman cukup besar yang bisa dipakai untuk barbeque. Asik kan?

Tata kota yang bagus berasal dari pajak yang dipakai secara semestinya oleh pemerintah. Misalnya di daerah host fam saya, sampah diangkut tiap selasa. Tiap musim dingin, pasti ada mobil khusus yang menyingkirkan salju di area umum. Lebih jauh lagi, para supir digaji oleh pemerintah, jadi karena tidak ada system setoran, para bapak supir dan ibu supir focus pada keselamatan penumpang yang notabene bukan kambing. Oh iya, bis local yang di operasikan oleh OC Transpo pun ramah terhadap semua penumpang. Bila ada penumpang yang menggunakan kursi roda, pasti para supir menurunkan lempengan besi dengan satu tombol, jadi mereka bisa masuk. Dan bila ada penumpang dengan berat badan berlebih dan tidak mampu untuk mengangkat kaki, penumpang pun bisa meminta supir untuk menurunkan sedikit bisnya dan bisa dikembalikan ke posisi semula, juga dengan satu tombol.

Bangku di belakang supir bisa di lipat, gunanya untuk mereka yang membawa stroller atau khusus untuk pengguna kursi roda. Bisa juga kursi di belakang supir adalah kursi prioritas bagi orang lanjut usia, ibu-ibu yang membawa anak kecil, dan atau ibu hamil. Di bagian luar depan bis, disediakan tempat yang dipakai untuk meletakkan sepeda bila ada penumpang yang membawa sepeda. Semua serba well prepared untuk kenyamanan penduduk yang telah bekerja dan membayar pajak.

Banyak sebenarnya yang bisa diceritakan tentang tata kota di sini yang sangat berbeda dengan di sana. Tapi sebagus apapun tempat singgah, rumah adalah tempat persinggahan terbaik. Mungkin raga ada di tempat lain, toh hati tidak bisa dibohongi bahwa: saya cinta tanah air saya.

Sukses untuk semua ya……


sumber:
10 list kekayaan Indonesia diambil dari upikapik.blogdetik.com

Cerita Ringan

Ada salah satu cerita inspiratif yang saya baca beberapa tahun yang lalu. Kurang lebih seperti ini, cekidot:

Pada suatu masa, ada seorang tukang kayu yang yang telah bekerja pada sebuah perusahaan selama puluhan tahun. Si bapak telah membuat ratusan rumah yang indah bagi tiap pelanggan yang datang. Dia melakukan tugasnya selalu dengan segenap hati. Sang bos, yang juga sahabatnya, sangat sayang pada sang tukang kayu. Sang sahabat sudah menganggapnya sebagai keluarganya sendiri dan dia tidak mau kehilangan bapak tersebut. Tapi ada masa dimana seseorang butuh berhenti melakukan hal yang sama dalam hidupnya. Termasuk bapak tukang kayu tersebut.

Akhirnya pada suatu hari bapak tersebut mengatakan niatnya untuk beristirahat pada sang sahabat. Sang sahabat termangu, mencoba menanyakan hal yang membuat bapak tersebut berhenti. Dia menawarkan apa saja yang diminta oleh sang tukang kayu. Namun hal itu tidak mengubah keputusan bapak tukang kayu.

“Saya lelah.” Hanya itu jawabnya dengan senyum. Tidak ada permintaan apapun dari sang tukang kayu kepada sang sahabat.
Setelah mencoba berulang kali, sang sahabat menyerah. Akhirnya dia bisa menerima keadaan tersebut. Namun satu hal yang diminta oleh sang sahabat kepadanya, yaitu membuat sebuah rumah, untuk terakhir kalinya.

Bapak tukang kayu diam dan menimbang. Dengan segan dia lakukan permintaan sang sahabat. Tak lama, jadilah sebuah rumah mungil seadanya. Tanpa rasa dan ruh dari si pembuat rumah. Sang sahabat merasa senang karena permintaannya dikabulkan oleh bapak tukang kayu. Bapak tukang kayu pun merasa senang dan lega karena akhirnya dia tidak akan terganggu lagi dengan hal yang sama, yang selalu dilakukannya selama puluhan tahun.

Datanglah waktu memberikan kunci rumah tersebut pada sang sahabat. Sang sahabat tersenyum dan berkata, “ambilah rumah itu untukmu. Saya tidak bisa memberi sesuatu padamu dan kamu pun tidak meminta sesuatu apapun padaku. Hanya ini yang bisa aku berikan.”

Bapak tukang kayu hanya terdiam dan menatap rumah tersebut, rasa menyesal sedikit datang. “Seandainya saya membuat rumah itu dengan segenap hati saya, pasti rumah itu akan lebih baik dan terasa hidup.”

Yea, penyesalan selalu datang belakangan. Sebuah status fesbuk teman saya berbunyi “PENYESALAN itu selalu datang di akhir, kalau di depan namanya PENDAFTARAN.” Bener juga, dimana-mana meja pendaftaran memang adanya di depan, yang di belakang biasanya toilet atau lahan parkir (malah dibahas??!).

Tapi seperti kata Craig David dalam lagunya Human;

“I'm only human
Of flesh and blood I'm made
I'm only human (what what?)
Born to make mistakes (tell me whatcha gonna do?”)

Bukanya mau memaklumi setiap kesalahan yang sudah ataupun yang pasti akan dibuat, dengan sengaja ataupun tidak sengaja, tapi memang melakukan kesalahan adalah sangat manusiawi. Bukankan kita pasti selalu membayarnya setelah melakukan kesalahan? Entah dalam bentuk konsekuensi logis dari tindakan kita, atau setidaknya rasa penyesalan yang datang sudah merupakan ‘bayaran’ atas tindakan kita yang menyimpang.

Sebenarnya nilai moral dari cerita tersebut bukan cuma tentang penyesalan yang membuntuti, tapi banyak lagi, tergantung mengambil sisi yang mana.

Untuk saya itu merupakan alarm untuk bekerja secara ikhlas dan jangan banyak mengeluh kurang ini kurang itu. Kerjakan sajalah yang ada di depan mata. Enjoy every moment in this life, maka semuanya akan lebih ringan. Kalau belum bisa, tetap mencoba. Try. Paling kalau hasilnya ngaco, jadinya error. Bisa kitanya yang error, bisa keadaannya jadi error karena keadaan psikis yang buruk, mood jadi runtuh. Semua akan terasa buruk. Lolipop yang termanis pun akan terasa terasi bila mood berada dalam titik terendah

Cerita tersebut saya baca sekitar hampir delapan tahun yang lalu. Reminder yang bagus ketika saya mulai ogah-ogahan untuk melakukan sesuatu yang saya tahu jelas, hal tersebut baik untuk saya. Tapi ketika reminder itu lemah, yang datang adalah Craig David yang selalu memaklumi keadaan.

Kamu pilih yang mana?

Have a nice day…….

Rute ke Orleans

Senyum itu bahasa universal. Senyum merupakan salah satu gesture yang seharusnya tetap terpasang entah bagaimana mood kita saat itu. Seharusnya. Namun beberapa orang sulit tersenyum, saya salah satunya, apalagi tersenyum kepada orang yang tidak kita kenal.

Baru 5 hari di kota ini, saya sudah nekat pergi sendirian ke tempat teman, seorang Indonesia yang menikah dengan warga Kanada. Jaraknya sekitar 3 jam dari tempat saya tinggal. Host family dengan was-was mewanti wanti untuk berhati-hati dan dengan detail memberi tahu nomor bis dan dimana saja saya harus transfer bis. Sangat detail info yang dia dapat dari internet.

Tempat pemberhentian bis di sini hanya seperti tiang bendera. Bedanya yang terpasang bukan bendera tapi lempengan besi yang tertulis bis nomor berapa saja yang berhenti di tempat tersebut dan juga nomor telepon operator bis. Jadi tidak bisa melambai dengan santai dimana saya suka seperti yang bisa dilakukan di Jakarta. Bis pasti berhenti bila ada penumpang yang berdiri di sana.

Ketika pintu bis membuka, “good morning,” sapa supir bis ramah. Saya langsung takjub norak dan hanya nyengir kuda lalu mengatakan tujuan saya serta bertanya harga tiket daypass. Bapak supir dengan sabar memberi tahu harga tiket dan menunjukkan berapa jumlah koin 25 sen yang diperlukan selain 7 dollar yang telah saya siapkan.

Day pass ini semacam tiket terusan. Kalau membeli tiket ketengan akan lebih mahal karena jarak yang akan saya tempuh jauh dan harus berganti bis 4 kali (belum termasuk kalau nyasar). Tiket biasa seharga 3.30 dollar. Dengan day pass, saya cukup menunjukkan tiket tersebut ketika naik bis selanjutnya. Lebih irit kan?

Mengetahui bapak supir ramah, lalu saya putuskan untuk bertanya tiap kali saya ganti bis walaupun rute menuju Orleans sudah di tangan. Syaratnya dua: senyum dan “thank you.”

Bis yang pertama saya naiki bernomor 168 jurusan Katimavik. Pemberhentian pertama saya di Lord Byng/ Kanata untuk selanjutnya transfer bis bernomor 96 menuju Stasiun Hurdman. Yang dimaksud stasiun pun bukan untuk kereta api, tapi seperti terminal bis atau halte yang ditandai dengan tiang bendera atau di beberapa pemberhentian bis disediakan bangku . Bedanya bis yang datang sesuai jadwal, kalaupun telat pasti cuma beberapa menit, tapi kalau ketinggalan bis, ya harus menunggu bis selanjutnya, jaraknya bisa 15 atau 30 menit. Operator bis pun hanya satu, yaitu OC Transpo. Jadi kalau berniat menggunakan bis, lebih baik cek duku di internet jadwalnya agar tidak menunggu terlalu lama.

Turun dari bis 168, saya naik bis 96 menuju Stasiun Hurdman. sampai sana sekitar jam 8, matahari cukup cerah, tapi cuacanya dingin, sekitar 10 derajat Celsius. Saya memaki diri saya yang sempat meminum segelas teh sebelum berangkat. Karena minuman tersebut bersifat diuresis, jadilah saya sibuk menahan BAK sementara saya belum tahu berapa lama lagi perjalanan menuju kediaman teman saya tersebut.

Di stasiun Hurdman, pandangan saya tertuju oleh seorang perempuan berkulit hitam yang mengenakan jilbab. Dengan senyum pede, saya mengatakan “hallo.” Jawaban yang didapat hanya senyum sekilas. Jauh dari harapan saya. Well, ternyata jurus senyum tidak bisa selalu lancar. Harapan saya untuk mempunyai teman kandas pada langkah awal.

Bapak supir 96 mengingatkan saya untuk naik bis bernomor 95 jurusan Orleans dan berhenti di Stasiun Jeanne D’arc (baca: jandark) sebelum saya turun. Saya mengucap terima kasih dan dijawab lantang, “you’re welcome.” Cuaca dingin, tapi tanggapan hangat. So lucky.

Turun di stasiun Jeanne D’Arc 1B, sesuai yang saya salin dari internet, saya harus berjalan ke Jeanne D’Arc 3B, yang berada beberapa meter berlawanan dari 1B. dari stasiun tersebut terlihat papan reklame besar berisi pemberitahuan tentang tanggal dan suhu saat itu: 13 derajat Celsius meski matahari terlihat terik .

Hal yang selalu membuat saya takjub di tempat ini salah satunya adalah kebersihan dari tiap stasiun (sebenarnya sejauh ini dimana-mana tidak terlihat sampah yang berserakan). Memang terlihat beberapa koran yang bersebaran, tapi tak ada bungkus permen, atau sampah lain yang sangat mudah ditemui di halte-halte di Jakarta. Tak lama, seorang laki-laki dengan rompi berwarna kuning ngejreng turun dari sebuah van. Ternyata perugas kebersihan. Dalam beberapa menit stasiun bersih tanpa Koran. Wow, pikir saya takjub. Sudah tata kotanya bagus, masyarakatnya pun aware terhadap kebersihan. No comment.

Di stasiun Jeanne D’Arc saya menunggu bis bernomor 131 jurusan Charlemangne/ Valin. Agak lama, makin menyiksa, karena di stasiun besar macam Hurdman tidak ada toilet umum, apalagi di stasiun Jeanne D’Arc yang kecil.

Jarak dari Jeanne D’Arc ke Charlemangne/ Valin sekitar 30 menit. Seperti biasa, tiap kali naik bis pasti saya tanyakan pada pak supir tempat yang saya tuju. Iseng aja karena supirnya ramah-ramah dan terlihat cool dengan seragam plus topi, dasi, beberapa ada yang berkacamata hitam dan memakai sarung tangan. Supir-supir yang masih muda ada yang memakai celana selutut dan sepatu sneaker. Berseragam tapi tetap funky. Tiap bis dilengkapi dengan GPS. Canggih. Norak saya muncul. Oh iya, supirnya dari berbagai macam latar belakang dari mulai orang Caucasian, India, Sikh, China yang sempat saya lihat. Semua sama ramahnya. Selain karena Kanada adalah negara yang cukup ramah terhadap imigran, juga semua petugas dari OC Transpo ini mendapat training yang disebut “race and enthnicity training” secara konstan.

Turun dari 131, saya celingak celinguk mencari Jalan Sunland, alamat kawan saya tersebut. Dua orang perempuan paruh baya terlihat jogging berlawanan arah dengan saya. Mereka bercakap dalam bahasa Perancis, karena memang 2 bahasa yang dipakai; bahasa Inggris dan Perancis. Mereka melewati saya yang sedang bingung. Tak disangka, beberapa detik kemudian mereka berbalik dan menyapa saya, “can I help you?” Tanya salah satu dari mereka. Saya mengangguk. “Can you tell me where the Sundland is?” si Ibu memberi arah, mengulang kembali dengan lambat– dia tahu saya bukan penutur bahasa Inggris asli. Saya mengucap terima kasih lalu mencari alamat yang dituju.

Sedikit membingungkan, apalagi ditambah dengan keinginan BAK yang besar di cuaca yang sedikit dingin. Akhirnya yang sedikit-sedikit itu menjadi besar dan memusingkan. Saya putuskan untuk menelpon teman saya tersebut. Karena walaupun saya menemukan jalan Sunland, tapi nomor rumah yang saya lihat bernomor 1800an, sementara nomor rumah kawan saya 2000an dan nomor rumah di sini berurutan. Ga akan ada yang rela berjalan menyusuri sekitar 200 rumah dalam keadaan seperti itu.

Di tengah kebingungan, sebuah mobil berhenti di depan saya dan seorang laki-laki dengan riang menyapa, “hi, Sarah.” Saya melongo, tak berapa lama saya baru sadar bahwa pertolongan dalam bentuk suami dari teman saya menjemput dengan mobilnya telah datang. Dengan mudah dia mengenali saya karena, “easy, the only person who is wearing head cover like that on that street is only you.” Saya dan istrinya hanya tersenyum. Benar juga, sebenarnya pertanyaan saya dalam hati tadi, “kok dia bisa tahu?” sangat mudah dianalisa dan dijawab.

Rencana awal saya meninggalkan rumah kawan saya pukul 13.00, tapi karena senang ada teman sesama Indonesia, jadilah beberapa jam terasa cepat. Selain itu, kebetulan hari itu jatuh ulang tahun saya, ternyata Mbak Dian tau dan membuat cake. Wow. Sebelumnya satu-satunya ‘perayaan’ ulang tahun yang saya punya adalah ketika SMA, di mana beberapa teman membuat ‘perayaan’ kecil dengan memecahkan telur dan menebar terigu di kepala saya. Menjengkelkan pada saat itu, tapi kalau dikenang lagi, moment tersebut dirindukan. Yah, selain ‘perayaan’ ala anak ABG, cake pada ulang tahun pada tahun ini terasa lebih special (terima kasih banyak kepada Mbak Dian dan Hall, her lovely hubby, awet terus dan semoga diberi kelancaran menjalankan biduk rumah tangga sampai akhir. Amiiin ya rabbalalamin).

Meski saya molor beberapa jam dari jadwal saya pulang, toh saya masih tetap berniat mampir ke sebuah toko yang menjual makanan, bumbu masak, dan barang-barang rumah tangga asal Asia. Namanya Asian Store. Saya hanya membeli tiga bungkus Indomie yang baru habis dua minggu kemudian. Selain karena memang tidak menyehatkan makan mie instan bila berlebihan, niat mengirit juga ada, karena harganya berlipat dibanding di Jakarta.

Mampir di toko tersebut menimbulkan efek yang membingungkan karena apa yang tertulis di kertas, tentang stasiun mana tempat saya seharusnya menunggu bis untuk pulang, jadi kacau. Saya bahkan tidak tahu dimana saya berada – pastinya. Tapi dengan still yakin, saya yang saat itu berdua dengan Mbak Dian, berpisah di situ dan saya meyakinkan dia – dan yang pasti diri saya sendiri – bahwa saya tau jalan pulang.

Tak begitu sulit sebenarnya, karena 131, bis terakhir yang membawa saya ke Oleans lewat di sana. Naik bis, seperti biasa, langsung saya katakan tujuan saya pada Pak Supir dan minta tolong diberitahu dimana saya harus turun. Alhamdulillah saya bisa juga sampai di rumah host family meski dalam 4 jam, karena saya terlewat beberapa stasiun jadi terpaksa turun dan mengambil arah balik. Pengalaman yang menyebalkan, tapi sangat bermanfaat karena keledai pun tak akan jatuh di lubang yang sama. Apalagi saya. Lain kali, ketika saya berjalan-jalan lagi, insha Allah say No to nyasar. Well, paling tidak, tidak nyasar di rute tadi.

Dunia ini sebesar ini tak akan habis meski kita menjelajahinya sepanjang hidup kita. Walaupun berbeda dalam banyak hal, seharusnya tidak menjadikan halangan untuk berbaur. Bukankan sudah dituliskan di kitab suci bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal?

Sukses untuk semua ya….